Cari Blog Ini

Senin, 23 Februari 2009

Mengapa Gaya Hidup Merubah Perilaku?

Kepada Yang Saya Junjungi,
Rasulullah Muhammad Saw

Tembusan:
Ketum PB NU, KH. Hasyim Muzadi dan Chairman CMM, Dr. Tarmizi Taher

09-1-09/06-47

Orang awam itu bagaikan buih di lautan. Mereka gampang terombang-ambing oleh gelombang. Hal itu karena umumnya mereka tidak mempunyai pegangan hidup yang teguh. Pegangan mereka hanyalah pendapat umum. Mana pendapat yang terbanyak, meskipun itu salah, itulah yang mereka ikuti. Ideologi mereka adalah apa kata orang banyak, apa yang dilakukan oleh orang banyak. Mereka sangat tidak nyaman apabila diri mereka berbeda dengan orang banyak. Sekuat mungkin mereka akan menyesuaikan diri dengan keadaan orang banyak, meskipun itu menyulitkan mereka.

Orang awam memang orang rapuh. Tidak saja rapuh secara keyakinan hidup, tapi juga rapuh dengan pilihan hidup. Oleh karena karakter mereka seperti itu, jadilah mereka ladang yang cocok bagi manusia pemandu.

Manusia pemandu ada dua jenisnya. Pemandu kepada kesesatan dan pemandu kepada keselamatan. Para pemandu kepada kesesatan mengerti betul sifat dasar orang awam tersebut. Oleh karena itu, mereka tidak perlu menyentuh keyakinan dasar orang awam itu untuk merubah perilaku mereka. Sebab sesungguhnya orang awam itu tidaklah memiliki keyakinan yang kuat terhadap hidup mereka. Cukuplah manusia pemandu itu menyentuh soal gaya hidup, orang awam itu akan ikut dengan sendirinya. Apabila keyakinan mereka bertentangan dengan gaya hidup yang mereka minati, jangan hawatir dengan sendirinya mereka akan menyesuaikan diri. Kebenaran batin mereka akan mereka kalahkan demi sebuah gaya hidup, demi sebuah obsesi untuk tidak ketinggalan dengan apa yang dilakukan oleh orang banyak. Ketinggalan gaya merupakan kiamat kecil bagi orang awam. Mereka bisa tidak tidur hanya karena merasa ketinggalan gaya dari orang kebanyakan.

Oleh karena itu, para manusia pemandu tidak jemu-jemunya untuk mereproduksi hal-hal yang berkaitan dengan gaya hidup. Majalah dan media-media lain mereka seriusi didalam menangani soal gaya hidup ini. Ikon-ikon gaya hidup mereka bentuk sesuai dengan kriteria mereka.

Beberapa wilayah yang berkaitan dengan gaya hidup tidak mereka abaikan. Fashion, sport, song, dan seks adalah wilayah yang paling mereka rawat dan kembangkan di dalam rangka memandu gaya hidup orang awam. Panduan mereka jelas: membenamkan orang awam ke lumpur kesesatan dan mati pikiran jernih. Dengan kondisi semacam itu, orang awam yang jumlahnya banyak itu, mereka terus eksploitasi dan jadikan pasar bagi panduan-panduan mereka. Fashion yang menyuburkan perzinahan mereka produksi, lagu yang menggoda perzinahan juga, sport juga, dan media-media mereka, ikon-ikon mereka, pakar-pakar mereka telah berbaris dan siap memberikan instruksi kepada orang awam itu agar membeli ini dan itu. Orang awam itu, karena telah lama terperdaya akal pikiran dan jiwanya, manut seperti kerbau. Begitulah keadaan orang awam dewasa ini. Sayang sekali, usaha pemberantasan terhadap tipu muslihat mereka itu tidak ada yang muncul ke permukaan dan berhasil.

Bagaimana Memberantas Mereka?
Memberantas tipu muslihat mereka tidak terlalu susah. Pertama, eksposlah secara luas tipu muslihat mereka itu kepada orang awam yang menjadi korban. Kedua, pulihkanlah akal pikiran dan jiwa orang awam itu agar merdeka sebetul-betulnya. Ketiga, bekalilah orang awam dengan iman dan ilmu agar mereka lebih kritis terhadap fenomena buih yang melanda hidup mereka. Keempat,siapkanlah alternatif bagi kebutuhan batiniah sehari-hari mereka. Orang awam dengan tekanan hidup mereka yang cukup tinggi tentu memerlukan kompensasi jiwa dan hiburan untuk mengendurkan syaraf mereka. Dan para pemandu kesesatan itu tahu betul kebutuhan dan kondisi orang awam itu yang kemudian mereka jerumuskan dan setelah itu mereka eksploitasi.

Wahai Rasul,
Sekiranya para ulama dan cendikiawan di sini bersatu padu memecahkan urusan ini, kiranya umat Islam di Indonesia tidak seperti buih begini. Kami banyak, tapi tak dihitung. Kami cuma dipuji oleh musuh-musuh itu sebagai Muslim yang moderat, hanya karena kami tidak mempunyai sikap dan etos yang kuat dan tegas. Kami dipuji karena kami bukan ancaman bagi mereka. Kami dipuji agar kami terlena. Kami dipuji agar saudara-saudara kami di belahan bumi yang lain mengikuti cara kami. Padahal jelas cara kami tidak berguna sedikitpun bagi kemerdekaan hakiki kami. Kami dipuji karena kami bungkam dengan penderitaan kami. Kami dipuji karena kami tidak menentang aksi kafir mereka. Kami dipuji karena kami membiarkan mereka memperkosa kami setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap tahun, dan selamanya.

Islam versus Islam Ceramah

12-1-09/11.02

Maukah kau kuberitahu tentang Islam? Pertama, hendaklah kau terlebih dahulu mengenal perbedaan antara Islam ceramah dengan Islam. Aku tahu yang kau butuhkan adalah Islam, bukan Islam ceramah. Apakah kau tahu perbedaan di antara keduanya?

Baiklah, aku tahu kau sedikit bingung dengan pernyataan ini. Bila Islam, ya…Islam yang kau temukan dalam Alquran dan Hadits itu. Juga Islam yang hidup dalam batin dan perilaku orang-orang beriman itu. Tetapi, Islam ceramah, Islam yang disampaikan oleh para penceramah, Islam yang disampaikan oleh Kyai-kyai dan guru-guru. Pada Islam ceramah pasti kau temukan perbedaan-perbedaan, sesuai dengan tingkat perbedaan para penceramah itu. Sedangkan Islam yang kau temukan di dalam Alquran dan Hadits, tetaplah sama dan tunggal. Kecuali apabila Alquran telah pula berversi-versi. Aku kira tidak. Alquran tetaplah satu. Dari masa Nabi hingga kini, tetaplah itu. Tafsirnyalah yang bervariasi.

Saudara/saudari
Mengetahui dan mengenal Islam tidak cukup. Tetapi memeluk dan menghayatinya, itulah yang engkau butuhkan. Mengenal dan mengetahuinya, engkau tak akan merasakan manisnya. Tetapi memeluk dan menghayatinya, engkau akan rasakan gelora dan tantangannya.

Oleh karena itu, cara terbaik memasuki gerbang Islam, pertama-tama agar engkau tak salah masuk, kenalilah ia dengan seluas-luas dan sedalam-dalamnya melalui keterangan-keterangan yang kau peroleh dari buku-buku dan guru-guru. Nah setelah itu, engkau jangan berhenti sempai di situ, lalu mulailah memeluk dan menghayatinya dengan rasa terbuka dan sungguh-sungguh. Bagaimana engkau memeluk dan menghayatinya?

Pertama engkau harus ingat , urusan memeluk dan menghayati adalah urusan jiwa dan hati. Bukan lagi urusan akal atau logika. Setiap aturan, anjuran dan cara yang disajikan Islam terhadap dirimu dengan tanpa ragu dan ikhlas hendaklah engkau reguk. Ibarat seorang pengembara yang haus, engkau mereguknya dengan penuh suka cita. Setelah itu barulah kau tahu betapa berhikmahnya Islam.

Shalat rutin tiap hari, puasa Ramadan, berprilaku seperti yang ditetapkan Islam, hingga haji, engkau tak boleh tunda lagi, hendaklah engkau tunaikan itu. Saat sebelum, sedang, dan sesudah engkau tunaikan aturan Islam itu, kurasa engkau akan merasakan getaran dan rahasianya. Tetapi jika dalam pikiranmu ada ragu, hanya sekedar coba-coba untuk mencicipi, maka yang kau dapatkan hanyalah keraguan itu sendiri. Memeluk Islam haruslah dimulai dengan kesadaran murni. Lalu bukalah jiwamu untuk menerimanya agar bejana jiwamu tertuang dengan manisan Islam. Janganlah engkau memeluknya laksana pembeli buah di pasar, dicoba dulu, manis apa tidak, baru dibeli. Islam bukanlah buah belian di pasar. Islam adalah wahyu dari Sang Khaliq. Jalan kebenaran di dunia agar manusia tidak terjerumus.

Melaksanakan dengan tulus segala aturan hidup Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ruang lingkup Islam. Sebab aturan itu berasal dari-Nya dan juga milik-Nya, maka sudah barang tentu baik untuk kehidupanmu. Kini engkau punya kesempatan: memilihnya atau mengabaikannya. Kedua-duanya sudah tentu kau tahu risiko dan manfaatnya.

Bung Presiden Terhormat

20-1-09/07.37

Telah lama saya mengamati kebijakan bung, terutama kebijakan mengenai perekonomian. Sejauh yang saya lihat, bung presiden berusaha untuk melayani dan merangsang kemajuan dua area ekonomi secara serentak dan sekaligus yang sebetulnya antara keduanya saling kontradiksi. Kedua area yang saya maksudkan itu adalah perekonomian para rakyat jelata dan perekonomian para konglomerat. Tahukah bung Presiden bahwa keberadaan dan kelangsungan para konglomerat di dalam menjalankan sistem operasi perusahaannya bertumpu pada penghisapan dan penginjakan pada para rakyat jelata? Sebagai terpelajar tentu bung Presiden mengerti, konglomerasi hanya akan berkembang dalam iklim kapitalisme, sementara apabila kapitalisme dibiarkan apalagi dilindungi pula, sudah barang tentu mengambil korban dalam bentuk penghisapan atas rakyat jelata.

Oleh sebab itulah saya risau dengan tuntutan dari kaum pengusaha dan konglomerat agar pemerintah menciptakan iklim yang kondusif kepada mereka. Yang mereka maksudkan iklim yang kondusif itu sendiri adalah iklim pasar bebas minim dan bila perlu nihil intervensi pemerintah. Dan nyatanya mereka telah berhasil.

Pada saat yang bersamaan, bung presiden menggelontorkan anggaran yang bertujuan mengikis kemiskinan lewat PNPM mandiri. Tapi apakah hal itu akan signifikan mengikis kemiskinan? Sejauh ini saya masih belum sepenuhnya yakin akan keampuhan program yang menjangkau rakyat jelata tersebut. Sebab masalah kemiskinan yang menghimpit mereka, tidak saja oleh faktor-faktor akses dana dan keterampilan berwirausaha seperti yang diasumsikan dalam pemikiran dasar program tersebut. Pertanyaan sederhana saja, bagaimana mungkin para rakyat jelata yang disentuh PNPM Mandiri itu secara massal dan serentak akan tumbuh berkembang tetap di hadapan keadaan status quo gurita bisnis konglomerat yang juga dalam keadaan tetap? Sudah barang pasti sistem bisnis konglomerat akan mengunyah bisnis-bisnis rakyat jelata. Kalau pun ada yang lolos, hal itu lebih karena konglomerat belum bermain di arena itu, atau juga tidak merasa perlu bermain di arena itu. Tapi siapakah yang mampu menghalangi sifat dasar ekspansif untuk mengakumulasi keuntungan dan modal sebesar-besarnya dari sistem kapitalisme yang dianut oleh para konglomerat?

Apabila pemerintah atau bung Presiden ambigu di dalam mendudukkan diri dalam konstelasi kepentingan dan posisi politik para rakyat jelata dan para konglomerat sudah barang tentu kemiskinan tidak akan pernah terkikis dari para rakyat jelata secara tuntas. Sebagai seorang pemimpin dan pengatur negara, bung Presiden harus lebih mementingkan dimensi dan soliditas kenegaraan. Konglomerat hanya bagian kecil dari komponen negara. Karena itu mereka tidak diperkenankan mendikte bung Presiden sesuai kepintingan sektoral mereka. Sebagai komponen, wajib diatur dan disesuaikan dengan kepentingan visi negara yang solid.

Saya kira, sudah jelas maksud surat saya ini kepada bung Presiden. Bung Presiden harus berdiri di luar kepentingan para pengusaha dan merapatkan diri kepada para rakyat jelata di dalam rangka membela meraka. Aturlah para pengusaha itu agar agenda mereka tidak mengangkangi agenda negara yang lebih luas dan besar.

Indonesia

26-1-09/20.36

Indonesia?
Negri Lalai!!

Keadaan Umat Sudah Di Titik Nol

Kepada Junjungan Kami Muhammad SAW
Tembusan:
Para Kyai Haji di seluruh penjuru tanah air

Bekasi, 1-1-09/00.30 WIB

Rasulullah, perkenankan aku melaporkan berita yang mungkin tidak membuatmu gembira. Lima hari terakhir ini, Jalur Gaza diserbu dan porak-poranda. Dan siapa lagi yang melakukan, kalau bukan sebuah umat yang sudah paduka kenal sejak lama. Ironis ya Rasulullah, tak seorang pun yang mampu menghentikannya dari semilyar umatmu yang mengaku beriman kepadamu itu. Bahkan bangsa Arab yang terkenal punya harga diri tinggi itu, tak berbuat apa-apa, meskipun penghinaan itu berlangsung di beranda rumah mereka.

Kini, rasanya tidak sanggup lagi untuk berkata: masih adakah harga diri pada umatmu. Dan aku pun tak mampu lagi untuk berkata: masih adakah itu eksistensi umat Rasulullah. Keadaan umat yang disebut umat Islam dewasa ini, tak lebih sekedar mayat belaka. Jasad-jasad umat Islam memang mencapai lebih dari 1,3 milyar banyaknya. Tetapi sesungguhnya mereka berserak dan tak punya nyali. Kesetiaan mereka tertumpah kepada ikatan politik yang mereka buat-buat sendiri. Kesetiaan padamu hanya dibibir, tetapi di hati mereka sangat meragukan. Keberadaan ulama-ulama mereka tidak membantu memurnikan kesetiaan kepadamu, bahkan justru mempertebal keraguan kepadamu.

Ya, Rasul. Betapa tidak terperinya kehidupan umatmu dewasa ini. Kekayaan mereka, akal pikiran mereka, dan jiwa mereka telah dirampas dari diri mereka. Mereka tak ubahnya seperti mayat. Maka wajarlah jika Bani Israel sekarang ini dengan mudah menjadikan mereka sebagai rusa buruan untuk memahirkan ketangkasan mereka di dalam mempergunakan senjata.

Aduhai Rasul, salawat dan salam bagimu. Semoga paduka berkenan menerima kabar duka ini dengan tanpa kehilangan kebahagiaan.

Menyongsong Indonesia Yang Kami Impikan

Kata Pengantar

Sudah lama saya bermaksud menyusun sebuah buku yang dapat menjadi pegangan sederhana bagi aktivis mahasiswa atau siapa pun yang memerlukan hal yang sama di dalam memandu energi aktivisme yang didedikasikan bagi Indonesia tercinta. Dahulu, Tan Malaka menyusun sebuah brosur berjudul Menuju Republik kemudian disusul oleh yang lainnya semisal Soekarno dengan judul Mencapai Indonesia Merdeka. Buku-buku semacam itu begitu berguna sebagai pegangan di dalam mengarungi samudra masa depan yang hendak dicapai oleh seorang penggiat politik. Kenyataan menunjukkan, terkadang sikap politik seseorang begitu gampang terombang-ambing ke kanan dan ke kiri akibat tiadanya pegangan yang kuat dan cakrawala yang terang mengenai gambaran masa depan sebuah masyarakat yang ia hendak tuju. Buku ini diharapkan membantu memacahkan masalah semacam itu.
Mungkin kedua nama besar tersebut terlalu tinggi untuk dibandingkan dengan saya, tetapi semangat dan inspirasinya begitu kuat mempengaruhi maksud penulisan buku kecil ini.
Saya berharap, karya kecil ini dapat bermanfaat, tidak saja bagi saya pribadi tetapi juga bagi orang-orang yang memiliki harapan yang sama seperti saya terhadap perjalanan Republik dewasa ini.
Terima kasih kepada semua orang yang turut membantu penyelesaian karya kecil ini. Khususnya kepada keluarga kecilku, ananda Muslih Hanief Dasopang beserta bundanya, Delni Irawati Djamalus.

Jakarta, 10 November 2008



















Daftar Isi

Kata pengantar …..…………………….………..……….……….…………….h. i
Bab I: Indonesia dalam Lintasan Sejarah………….. …..…………………..………h. 1
1. Indonesia Pra Kolonial……………….………..……….……….…………….h.5
2. Indonesia Era Kolonial …..…………….……….………..……………………h.5
3. Indonesia Pasca Kolonial………….……………………………...….………..h.7
a. Indonesia 1945-1959…………..……………………………………….….h.8
b. Indonesia 1959-1966 …..……….…………….……………………….....h.11
c. Indonesia 1966-1998……………..………………………………………..h.12
d. Indonesia 1998-Sekarang………….……………………………………….h.17
e. Era Kepresidenan SBY…………….……………………………………….h.21

Bab II: Diskursus Dasar-dasar Bermasyarakat dan Bernegara……..…….……..….…h.24
Konteks Kemunculan Kapitalisme dan Sosialisme di Eropa ..................................h.25
Tinjauan Terhadap Kapitalisme dan Sosialisme……………………………………..h.28
1. Kapitalisme………………………………………………………………....h.29
Bencana-bencana Yang Tak Terelakkan dari Kapitalisme ...............................h.30
Perkembangan Mutakhir Kapitalisme ......................................................h.30
Selubung-selubung Kapitalisme .............................................................h.32
2. Sosialisme …....…………………….………..…………………………….h.34

Bab II: Tujuan Spritual Pembinaan Sebuah Negara.…………………………………h.40
Lampiran …………………….………..…………………………………..…...h.43
Rukun Islam Membawa Pesan Gerakan Pembebasan Sejati ……………………..….h.43
Lima Langkah Penanggulangan Kemiskinan ...…………………………..………...h.49











Menyongsong Indonesia Yang Kami Impikan



Ah… Indonesia…
Sebuah nama yang pernah dikenang sebagai bintang penunjuk jalan pembebasan berbagai bangsa di dunia
Kini… Indonesia…
Sebuah nama yang menyesakkan dada para pemiliknya yang sejati
Indonesia…
Ternoda oleh para pemerkosa yang bengis
Sebelum ia sempat mekar dan menjadi di tahun 1966
Kini dalam langkah yang gontai dan gamang
Ia mencoba tegak dan meraih pegangan
Sayang seribu sayang
Anak-anaknya telah berpaling dari hadapannya
(SED)



BAB I
Indonesia dalam Lintasan Sejarah

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau kurang lebih 17.508 pulau. Sejatinya Indonesia merupakan negara maritim karena wilayahnya lebih banyak berupa perairan. 70% berupa perairan dan 30% daratan. Panjang garis pantai 81.000 km, setingkat di bawah Kanada sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Kenyataan geografis yang khas ini telah lama menjadi kesadaran bagi penduduk yang berdiam diri di kepulauan ini. Oleh karena itu, gugusan kepulauan di Indonesia dinamakan dengan Nusantara.
Nusantara terdiri atas dua suku kata: nusa, yang berarti pulau; dan antara, yaitu hubungan. Maksud lazim dari nusantara adalah kepulauan yang saling berhubungan. Faktanya, sejak dahulu, kontak antar pulau tersebut telah berlangsung, baik berupa kontak dagang, kekuasaan, maupun kebudayaan dan agama.













1. Indonesia Pra Kolonial
Di Nusantara, sebelum kekuasaan politik Indonesia berdiri (faktual), tidak ada satu kekuasaan politik pun yang hegemonik yang dapat dikatakan sebagai pusat kekuasaan yang mengontrol secara penuh kekuasaan-kekuasaan politik yang bertebaran di berbagai kepulauan. Kekuasaan-kekuasaan politik besar yang pernah muncul di masa silam seperti Kerajaan Sriwijaya di Sumatera bagian selatan ataupun Kerajaan Majapahit di Jawa bagian timur, lebih tepat disebutkan sebagai kekuasaan politik supremasi saja, tetapi secara administratif dan hukum, kerajaan-kerajaan lain dapat berkembang secara mandiri tanpa harus tunduk secara penuh kepada kerajaan-kerajaan besar tersebut. Kalaupun ada betuk ketundukan kepada supremasi kerajaan besar tersebut, lebih nyata sebagai ketundukan simbolik. Bentuknya adalah pemberian upeti dari kerajaan tertentu kepada kerajaan-kerajaan besar tersebut.
Inilah sebabnya mengapa kebudayaan-kebudayaan yang eksis di berbagai kepulauan di nusantara itu berkembang dan membentuk ciri-ciri dan wataknya secara khas dan mandiri. Kebudayaan Jawa berkembang sendiri, kebudayaan Sunda berkembang sendiri, Batak, Minangkabau, Bugis, dan sebagainya. Demikian juga setelah masuknya pengaruh Islam ke wilayah Nusantara, ciri kemandirian dari berbagai kebudayaan yang hidup di Nusantara tidak dirusak, tetapi berdialektika membentuk kekhasannya sendiri. Oleh karena itu, kentara sekali perbedaan antara ciri Islam di Jawa dan Islam di Aceh, meskipun terdapat persesuaian yang banyak di antara budaya-budaya yang sudah dipengaruhi Islam tersebut. Maka dengan pemandangan semacam itu, tidak mengherankan jika kerajaan-kerajaan Muslim yang terdapat di Nusantara, tidak satupun yang menjadikan kekuasaannya sebagai pusat dan model bagi kekuasaan-kekuasaan politik Muslim yang sudah berdiri di berbagai wilayah Nusantara. Hubungan antara kerajaan Demak dengan kerajaan-kerajaan Muslim lainnya, misalnya lebih banyak sebagai hubungan kultural belaka ketimbang hubungan dominatif.

2. Indonesia Era Kolonial
Namun setelah datangnya orang-orang Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris, mulailah terjadi pergeseran watak kekuasaan di Nusantara. Orang-orang Eropa ini, selain bermaksud meraup hasil-hasil bumi Nusantara yang kaya, seperti emas, perak, hingga rempah-rempah, lewat perdagangan yang dipaksakan, mereka juga mengombinasikan misinya dengan merubah keyakinan para penduduk setempat di Nusantara. Saat itu masyhurlah slogan mereka yang berbunyi: Gold, Glory, Gospel, yang artinya Emas, Kejayaan, Injil.
Penjelajahan orang Eropa ke berbagai belahan dunia kemudian berubah menjadi aksi penjajahan. Penjajahan ini didorong oleh berbagai faktor. Pertama, faktor eksternal, yaitu persaingan memperebutkan barang-barang komoditi dengan imperium Islam Turki Utsmani. Apalagi ditambah ingatan tentang beratnya akibat yang ditanggung oleh Eropa saat perang Salib yang panjang sehingga menyebabkan Eropa sadar bahwa tidak selamanya harus bergantung kepada jalur perairan yang dikontrol oleh Turki Utsmani untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan ekonomi Eropa. Maka dirintislah jalur-jalur baru yang lebih bebas dari kontrol imperium Turki Utsmani. Lautan Atlantik ditembus hingga mencapai tanah Inca dan Maya. Demikian juga dengan jalur ke Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara hingga tiba di benua yang didiami oleh orang-orang berkulit hitam (Australia).
Faktor kedua, pertumbuhan ekonomi Eropa yang pesat akibat perkembangan industri. Masyarakat Eropa membutuhkan bahan-bahan baku dan komoditi. Bahan-bahan baku dan komoditi tersebut tentu jauh lebih melimpah dan murah jika Eropa berhasil memutus mata rantai distribusi dan mendapatkan secara langsung dari produsen pertama. Demikianlah Eropa berburu komoditi mulai emas, sutra, hingga rempah-rempah sampai ke Maluku.
Sejak bangsa Eropa menemukan rute ke Nusantara, mulailah secara besar-besaran aksi penguasaan secara sistematis terahadap Nusantara. Dengan kedok perdagangan dan keamanan bangsa Eropa, di setiap bandar yang menjadi basis orang-orang Eropa, dibangunlah benteng-benteng. Benteng-benteng ini disamping berfungsi sebagai gudang penyimpanan komoditi-komoditi yang akan dibawa pulang ke Eropa, juga merupakan markas untuk aksi perang.
Perlahan tapi pasti, bangsa Eropa menancapkan kekuasaannya di wilayah Nusantara. Seperti yang masyhur kita ketahui, bangsa Eropa menerapkan metode ekspansi kekuasaannya, di samping devide et impera, juga dengan ungkapan yang terkenal kita dengar, Belanda minta tanah. Maksud ungkapan ini adalah, tanah yang mereka peroleh dari kebaikan penguasa setempat mereka alihkan sebagai basis aksi ekspansi mereka selanjutnya. Kemudian mereka akan terus menambah kepemilikan mereka atas tanah dengan cara menipu dan menekan secara politik dan ekonomi para penguasa setempat. Selain itu, bangsa Eropa juga melakukan tipu daya politik degan cara mengadu domba antar penguasa setempat dan juga antar warga (devide et impera). Tujuannya adalah pelemahan terhadap sendi-sendi sosial yang telah terbangun. Jika masyarakat yang mereka hadapi lemah, bangsa Eropa tidak segan-segan melakukan aksi militer untuk merebut kekuasaan. Demikianlah yang mereka terapkan selama mereka bercokol di bumi Nusantara.
Selama bangsa Eropa berkuasa di Nusantara, mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk melanggengkan kekuasaannya. Metode yang mereka gunakan sungguh canggih untuk ukuran di masa itu. Mereka tidak saja mendepak golongan penguasa pribumi dari panggung kekuasaan, tetapi juga menguasai rakyatnya dengan menerapkan hukum ciptaan mereka dengan cara menggantikan hukum tradisonal yang berlaku. Kalaupun hukum tradisional diijinkan berlaku, wilayah pemberlakuannya hanya sebatas wilayah-wilayah yang tidak dapat mengancam eksistensi kekuasaan penjajah itu. Sementara hukum yang bersifat publik sepenuhnya dikontrol oleh penjajah.
Pada saat yang sama, bangsa Eropa juga menggalakkan pertentangan-pertentangan antar hukum Islam dan hukum adat. Tujuannya adalah untuk melemahkan pengaruh hukum Islam di tengah-tengah masyarakat sehingga dengan demikian terbuka kesempatan untuk mengontrol dinamika masyarakat jajahannya.
Di dukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Eropa yang telah menguasai wilayah tertentu, secara terencana menerapkan sistem administrasi yang terkontrol. Untuk mendukung pengontrolan tersebut, mereka membangun jalan pos, jaringan rel kereta api, telekomunikasi dan transfortasi darat, udara dan laut. Dengan cara itu, bangsa Eropa dapat secara cepat mengendalikan daerah kekuasaannya.
Kalau kita periksa sistem pemerintahan era kolonial, tampaklah bahwa bangsa Eropa tidak pernah melewatkan pembangunan sarana perhubungan seperti pelabuhan, kantor-kantor pos, jalan, rel kereta api. Motifnya sangat jelas untuk mempercepat dan memperlancar kontrol wilayah kekuasaan. Bangsa Eropa diuntungkan dengan perkembangan teknologi yang mereka miliki, sedangkan penduduk pribumi tertinggal jauh secara teknologi dan ilmu pengatahuan.
Maka yang membedakan secara signifikan antara era kolonial dengan pra kolonial di Nusantara adalah corak dan sistem kekuasaan. Sistem kekuasaan era kolonial jauh lebih massif dan hegemonik ketimbang era pra kolonial. Kekuasaan hukum pada era kolonial menjangkau hingga wilayah privat dengan sanksi-sanksi yang terperinci. Demikian juga dengan alat-alat kekuasaan hukum pada era kolonial jauh lebih terorganisir dengan sepenuhnya mengabdi pada proyek kolonialisme. Pengendalian terhadap proyek kolonialisme tersebut dirancang dengan rapi dan didukung pula oleh keilmuan dengan berbagai disiplin ilmu. Antropologi, etnografi, linguistik, dan disiplin-didiplin ilmu lainnya dikerahkan untuk proyek kolonialisme.
Setelah era kolonialisme secara administratif berakhir di Nusantara, aspek-aspek lain warisan kolonial itu mulai dari mindset hingga tradisi protokoler kenegaraan tidak sepenuhnya dapat dilenyapkan. Meskipun terdapat upaya untuk melenyapkan secara bertahap peninggalan-peninggalan era kolonial itu, tetap saja tidak ada pilihan lain kecuali merevisi sedikit demi sedikit warisan budaya kolonial tersebut dalam berbagai aspek kenegaraan dan kemasyarakatan. Misalnya yang paling mencolok adalah dalam tata hukum, mulai dari hukum pidana, perdata, hingga hukum dagang. Semuanya tidak bisa dilepaskan dari kitab undang-undang yang disusun di era kolonial.
Peralihan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia tetap menyisakan tradisi kolonial yang sudah berakar. Indoensia mewarisi juga corak dan sistem kekuasaan yang massif dan hegemonik dari Belanda tersebut.

3. Indonesia Pasca Kolonial
Pada tanggal 17 Agustus 1945, secara terbuka telah diumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Proklamasi tersebut merupakan ungkapan tekad politik yang mendalam bangsa Indonesia terhadap diri dan masa depannya. Proklamasi tersebut menandai berakhirnya era kolonial di Indoensia.
Meskipun kemerdekaan telah dideklarasikan, namun tidak berarti terjadi peralihan kekuasaan politik dengan mulus dan tuntas. Piha Belanda masih berusaha untuk menggagalkan jalan sejarah yang sudah diretas oleh seluruh rakyat Indonesia. Sampai dengan perjanjian terakhir antara Indonesia dnegan Belanda pada tahun 1949 (KMB), tercatat telah dua kali pihak Belanda melancarkan aksi militer untuk membasmi gerakan kemerdekaan yang menjalar ke seluruh pelosok Nusantara. Dalam tahun-tahun mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia itu, telah terjadi dengan massif proses pembentukan kebangsaan Indonesia dan kesatuan aspirasi secara nasional. Dari tahun 1945 hingga 1949 merupakan tahun terbakarnya nasionalisme dan patriotisme rakyat Indonesia, terutama di kalangan pemuda.
Para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia terkemuka, seperti Soekrano, hatta, Syahrir dan sederet pemimpin-pemimpin lainnya, mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Mereka tergabung di dalam BPUPKI dan kemudian menjadi PPKI menyusun hukum dasar Indonesia yang berjiwa anti kolonial dengan apa yang dikenal dengan UUD 1945. Dalam pembukaan UUD 1945, betapa spirit kecintaan terhadap kemerdekaan dan penolakan terhadap kolonialisme itu terpantul dengan gamblang.
Untuk melihat secara proporsional arti proklamasi bagi negara baru Indonesia, sesungguhnya peristiwa besar tersebut tidaklah lahir tiba-tiba. Sebagai sebuah cita-cita politik, ia telah hadir di bumi nusantara sejak masa-masa awal pergerakan. Pada tahun 1905, Sarekat Islam berdiri dengan motif politik yang jelas yaitu mengusir penjajahan dari Hindia Belanda—nama lain dari Indonesia di masa kolonial. Kemudian menyusul pada tahun 1928, cita-cita politik tersebut diwujudkan dalam Sumpah Pemuda. Bertahun sebelumnya, Tan Malaka telah menulis sebuah brosur legendaris berjudul Ke Arah Republik Indonesia. Di Belanda, pada tahun 1920-an, telah berdiri pula Perhimpunan Indonesia dengan tujuan politik yang jelas: Indonesia yang merdeka dari penjajahan belanda. Dan tidak boleh dilupakan pada pledoinya di dalam sidang pengadilan atas dirinya pada tahun 1933, Soekarno menulis pembelaan dengan judul Mencapai Indonesia Merdeka.
Demikianlah cita-cita kemerdekaan tersebut mengalami dinamika yang hebat tanpa henti hingga mencapai wujudnya pada tahun 1945. dalam perjalanannya, pihak Belanda melakukan segala cara meredam dan mematikan benih-benih kemerdekaan tersebut. Tetapi sebagai sebuah perkembangan alamiah, ia tidak bisa dicegah. Sebab keberadaan Belanda di bumi Nusantara sama sekali tidak mendapatkan alasan logis. Hanya dengan manipulasi dan kekerasan saja, kekuasaan Belanda tersebut dapat bertahan. Begitu kedok manipulasi dan kezaliman itu tersingkap, ia pun tidak punya pilihan kecuali menyingkir dan kembali ke negerinya di benua Eropa.

a. Indonesia 1945-1959
Seperti yang sudah disinggung di lembar sebelumnya, meskipun kemerdekaan Indonesia telah dideklarasikan, tidak serta-merta kekuasaan politik dapat diambil alih sepenuhnya dari penjajah. Dengan berbagai cara Belanda mencoba menahan arus sejarah kemerdekaan Indonesia. Tercatat ada tiga strategi yang dilakukan belanda untuk menggagalkan kemerdekaan penuh Indonesia.
Pertama, strategi militer. Belanda dengan cerdik menyusup dalam gerbong sekutu masuk ke Indonesia dengan kedok melucuti tentara Jepang. Terbukti, setelah eksistensi militer Belanda semakin kuat, ia pun melancarkan aksi militer pada tahun 1947. aksi itu dapat digagalkan oleh segenap pejuang kemerdekaan Indonesia. Setelah tentara Belanda terdesak, mereka menawarkan solusi perundingan. Kelak perundingan itu dikenal dengan nama perundingan Linggar Jati.
Setelah perundingan tercapai, tidak serta merta belanda menghentikan kegiatannya merusak perdamaian dan proses kemerdekaan. Pada tahun 1948, kembali belanda melancarkan aksi militer. Serupa dengan modus sebelumnya, aksi militer yang mulai tersudut itu dialihkan dengan usul perundingan. Perundingan itu dikenal dengan perundingan Renville, karena diperundingan tersebut digelar di dalam kapal perang Amerika Serikat bernama Renville.
Kedua, strategi diplomasi. Strategi diplomasi merupakan paket strategi yang dilakukan oleh Belanda di dalam rangka menggagalkan proses kemerdekaan Indonesia. Dalam kancah internasional, Belanda memanipulasi informasi pergolakan dan perang yang sedang berkecamuk di Indonesia. Belanda berusaha membentuk opini dunia bahwa perang yang terjadi di Indonesia bukanlah perang kemerdekaan nasional. Oleh karena itu, dengan segala cara Belanda menggagalkan setiap gerakan diplomasi yang dilakukan oleh pihak Indonesia di dalam menghimpun dukungan dan pengakuan dari negara-negara lain. Selain itu, Belanda pun aktif sekali melakukan strategi diplomasi perundingan dengan tujuan mematikan perluasan gerak kemerdekaan Indonesia.
Ketiga, strategi perongrongan dari dalam. Dalam upaya membunuh kemerdekaan Indonesia, Belanda juga menerapkan strategi prongrongan dari dalam. Lewat van Mook, belanda mengiatkan pembentukan negara-negara bagian yang mengabdi kepada kepentingan politik Belanda. Tetapi karena kuatnya tekad kemerdekaan 100% dari segenap rakyat Indonesia, rencana Belanda tersebut akhirnya dapat dipadamkan. Tidak saja perongrongan secara damai, Belanda juga menerapkan metode terorisme melalui peristiwa Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Kapten Westerling. Pembantaian dilakukan oleh agen Belanda untuk menakut-nakuti penduduk yang menginginkan jalan kemerdekaan. Anehnya, segala cara Belanda tersebut dapat dihentikan
Banyak orang berpendapat, Belanda baru benar-benar hengkang dari bumi Nusantara setelah ditandatanganinya kesepakatan yang berisi pengakuan Belanda kepada Indonesia lewat KMB.padahal di wilayah Papua—minus Papua Nueginie—Belanda masih bercokol. Karena itulah, operasi militer Indonesia untuk membebaskan Papua sepatutnya dipahami sebagai pembersihan terhadap kekuasaan belanda dari bumi Indonesia. Pertanyaannya, apakah dengan angkat kakinya belanda dari bumi Indonesia dengan serta-merta berakhirnya pengaruh belanda? Secara administratif, kekuasaan Belanda telah dapat disingkirkan. Tetapi secara ekonomi dan kebudayaan, pengaruh Belanda sulit dihilangkan hingga 100% dari Indonesia.
Dalam hal ekonomi, untuk kompensasi pengakuan Belanda terhadap Indonesia, Indonesia harus mewarisi utang-utang Belanda selama berkuasa di Indonesia sebesar 4 milyar dolar AS. Utang tersebut baru lunas pada tahun 2003 (Kusfiardi, Pemetaan Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia, tt). Demikian juga, Belanda pernah ikut ambil bagian mendanai proyek-proyek pembangunan zaman Soeharto lewat perhimpunan negara-negara donor (IGGI). Selain itu, meskipun pada tahun 1950-an pernah terjadi nasionalisasi aset-aset asing, namun hingga kini banyak perusahaan Belanda bebas beroperasi di bumi Indonesia. Yang terkemuka di antaranya adalah Unilever.
Selain usaha besar-besaran membersihkan pengaruh kolonialisme dalam tubuh negara Indonesia yang baru berdiri, era 1945-1959 juga ditandai dengan trial and error penerapan sistem demokrasi liberal. Di era ini terdapat 17 kali pergantian susunan kabinet. Ciri dari era ini adalah setiap partai mempunyai kesempatan untuk menyusun kebijakan-kebijakannya secara liberal tanpa ada batas-batas yang sudah ditetapkan. Misalnya, jika Partai Masyumi yang menang dan berkuasa, maka dia dapat menyusun kabinet dan menentukan garis kebijakan pembangunan sesuai misi partainya. Bahkan pada masa itu dasar negara belum dipandang sebagai sesuatu yang final dan masih tersedia kesempatan untuk merubahnya dengan cara-cara konstitusional lewat konstituente.
Oleh karena itu, konstituante di masa itu sangat panas dengan perdebatan mengenai dasar negara. Jabatan presiden lebih tampak sebagai jabatan kekuasaan simbolik dan yang berpengaruh secara nyata adalah Perdana Menteri. Tetapi patus dicatat, prestasi yang ditorehkan oleh era demokrasi liberal adalah terselenggaranya Pemilu pertama pada tahun 1955 yang dinilai banyak pihak sebagai Pemilu yang sukses dan bermutu. Pemilu tersebut diselenggarakan pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap dari Partai Masyumi.
Namun demikian, era demokrasi liberal diterpa banyak kekurangan. Banyak pihak menilai demokrasi liberal tersebut tidak efektif dan efesien. Saat parlemen berperang kata-kata, di saat yang sama di dalam negeri stabilitas keamanan terancam akibat munculnya pemberontakan. Pemberontakan yang paling menonjol ketika itu adalah DI/TII yang berlangsung kurang lebih sepuluh tahun.
Melihat situasi tersebut, Presiden Soekarno merasa sudah tiba waktunya untuk mengeluarkan dekrit pembubaran konstituante. Dasarnya adalah bahwa konstituante gagal melaksanakan tugasnya untuk menyusun Undang-undang Dasar baru sebagai pengganti Undang-undang Dasar Sementara. Hal ini dibuktikan dengan adanya pernyataan sebagian besar anggota konstituante yang tidak lagi akan menghadiri sidang. Hal ini akibat dari deadlock yang terjadi saat pemungutan suara untuk mengembalikan legalitas Piagam Jakarta sebagai Undang-undang Dasar Negara Indonesia pada tanggal 29 Mei 1959. Hasilnya dalam dua kali pemungutan suara: 210 setuju, 268 tidak setuju; dan 210 setuju dan 265 tidak setuju (B.J. Boland, 1985). Lantas pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno pun mengumumkan Dekrit Presiden yang menyatakan pembubaran konstituante.

Keputusan Presiden Republik Indonesia No.150 tahun 1959
Dekrit
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Tentang
Kembali Kepada Undang-undang 1945

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Kami Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Dengan ini menyatakan dnegan khidmat:
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Dasar Sementara; (1)
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar Anggota-angota Sidang Pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan Rakyat kepadanya; (2)
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan Kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi; (3)

Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Kami Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
(1) Menetapkan pembubaran Konstituante
(2) Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tupah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya Undang-undang Dasar Sementara.
(3) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Sementara yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Juli 1959
Atas nama Rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Soekarno (Ridwan Saidi, 2007)

b. Indonesia 1959-1966
Sejak diumumkannya dekrit presiden tersebut, praktis kehidupan bernegara berubah. Kekuasaan Presiden menjadi sangat kuat dan tanpa ada tandingan. Sebenarnya, dekrit tidak akan efektif jika tidak mendapat dukungan politik. Salah satu pendukung utama dari dekrit tersebut adalah Angkatan Darat.
Pada saat yang sama PKI, PNI, dan NU turut mendukung perubahan politik yang digulirkan oleh Presiden Soekarno. Sedangkan Masyumi dan PSI harus menelan pil pahit dengan dibubarkan. Melalui Kepres No.200/1960 pada tanggal 17 Agustus 1960, Masyumi dan PSI resmi dibubarkan. Pembubaran ini selain untuk membersihkan penghalang-penghalang kekuasaan Presiden Soekarno, juga mendapatkan alasan dengan terdapatnya dakwaan keterlibatan para pemimpin Masyumi dan PSI di dalam pemberontakan PRRI.
Era ini disebut sebagai era demokrasi terpimpin. Presiden Soekarno sebagai pemimpin tertinggi mengendalikan peta kekuatan politik riil yang berlomba merapat kepada dirinya dan berlomba menguasai politik nasional. Konsep demokrasi terpimpin diumumkan oleh Soekarno pada tanggal 21 Februari 1957 di istana negara sebagai respon terhadap diamika praktik demokrasi liberal yang ia sebutkan sebagai ”penyakit” yang menyebabkan perpecahan bangsa (Syahrul Efendi D, FPI dan Perjuangan Pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia (Skripsi), 2002).
Konsep ini terdiri atas dua bagian: pembentukan sistem pemerintahan baru, yaitu kabinet gotong-royong yang akan melibatkan semua partai yang diwakili di DPR dan; pembentukan Dewan Nasional yang terdiri atas wakil-wakil golongan fungsional dan dipimpin oleh Presiden Soekarno (Adnan Buyung Nasution, 1995).
Di era ini terkenallah istilah Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme). Soekarno mempunyai teori dan keyakinan yang dapat menyatukan ketiga aliran politik tersebut. Memang di atas kertas ketiga aliran tersebut dapat dipersatukan, tetapi pada kenyataannya, ketegangan dan konflik terjadi sewaktu-waktu, terutama antara golongan agama dan komunis.
Tatkala PKI mendapatkan momentum politik dengan kondisi demokrasi terpimpin tersebut, Angkatan Darat hawatir dengan keadaan membesarnya peranan PKI. Angkatan Darat bersaing memperebutkan kekuasaan. Jika PKI membangun organisasi-organisasi underbouw, demikian juga dengan Angkatan Darat. Walhasil situasi yang mencuat pada era itu ialah persaingan kekuatan dengan berbagai cara show of force di antaranya modus apel akbar memperingati hari ulang tahun organisasi masing-masing. Persaingan ”di bawah ketiak Soekarno” tersebut ada manfaatnya bagi upaya mobilisasi dukungan politik bagi program-program nasional, speerti pembebasan Irian Barat pada tahun 1962. Akan tetapi seberapa jauhkah Presiden Soekarno dapat mengendalikan persaingan semacam itu pada saat perekonomian nasional semakin merosot akibat program politik yang mahal? Selain program pembebasan Irian Barat, obsesi kemegahan seperti proyek-proyek mercu suar dan kegiatan internasional untuk mewujudkan Presiden Soekrno sebagai pemimpin dunia alternatif telah menelan biaya yang sangat besar. Walhasil perekonomian nasional turun dan akibatnya ketidakpuasan terhadap situasi pun merebak dan berkembang menjadi kebencian terhadap personality Soekarno yang glamour.
Dua kekuatan politik yang sejak semula bersaing (AD dan PKI) menyiapkan diri pasca Soekarno. Akhirnya huru-hara yang kejam itu pun terjadi. Tanggal 30 Sepetember 1965 dengan didahului aksi penculikan terhadap sejumlah Jenderal Angkatan Darat, maka gemparlah isu perebutan kekuasaan dengan apa yang disebut dengan G30S/PKI atau Gestok. Aksi itu dibalas reaksi yang lebih kejam, pembasmian unsur-unsur PKI secara nasional dan berlarut hingga benar-benar dapat dikendalikan. Banyak pertanyaan di balik misteri peristiwa tersebut yang hingga kini tidak seorang pun dapat menjawabnya dengan jelas. Misalnya, jika memang PKI bersengaja merebut kekuasaan, mengapa pertahanan mereka tampak lemah dan tidak ada perlawanan berarti saat Angkatan Darat membasmi mereka?
Sejak meletusnya huru-hara tersebut, praktis keadaan tanpa hukum. Kekuasaan Soekarno mengalami delegitimasi yang parah. Tiba-tiba seorang perwira tinggi bernama Soeharto mencuat sebagai pahlawan. Pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno memberikan surat tugas kepada Soeharto untuk mengendalikan keadaan. Namun surat perintah tersebut dapat berguna juga untuk memaksimalkan kekuasaan Soeharto terhadap situasi yang berkembang. Tidak berapa lama, keadaan sudah benar-benar berada di tangan Soeharto. Tetapi yang aneh, surat perintah tersebut tidak diserahkan pertanggungjawabannya kepada Presiden Soekarno. Justru berkembang menjadi pamkzulan Soekarno sebagai Presiden melalui sidang MPR yang sudah dikendalikan oleh Angkatan Darat.

c. Indonesia 1966-1998
Secara defakto, kekuasaan Soekarno telah berakhir sejak 11 Maret 1966. Sejak itu, yang berkuasa adalah Soeharto. Tidak butuh waktu lama bagi Soeharto untuk meraih kekuasaannya secara konstitusional. Pada tahun 1967, MPRS yang dipimpin oleh Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil melegitimasi secara konstitusional kepresidenan Soeharto. Maka dimulailah apa yang dinamakan era baru atau Orde Baru.
Orde Baru pada tataran ideal merupakan upaya koreksi fundamental terhadap tatanan sebelumnya. Para pengggiat Orde baru mejuluki era sebelumnya sebagai Orde lama yang berkonotasi negatif. Secara faktual, Orde Baru sarat dengan misteri atau penyembunyian informasi yang valid. Terutama sekali saat-saat transfer kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto yang kental dengan intrik dan rekayasa.
Apabila dianalisa, Orde Baru hanya dapat tegak karena dipilari oleh empat golongan. Keempat golongan itu adalah Angkatan Darat, Golongan politik yang berorientasi pragmatis dan bardasarkan kekaryaan (Golkar), dan segolongan penganut keagamaan yang mempunyai sentiman anti ateisme. Sentimen anti ateisme ini meningkat sebagai reaksi terhadap PKI yang dicerminkan sebagai penganut ateisme di penghujung kekuasaan Soekarno. Selain tiga pilar yang disebut di atas, tegaknya Orde Baru juga didukung secara penuh oleh Blok Barat, terutama diperankan oleh Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Australia dan lain-lain. Blok Barat ini sangat berperan pentng di dalam menjamin tegaknya Orde Baru pimpinan Soeharto. Konsesi dari dukungan maksimal Blok Barat tersebut tentulah tidak sedikit.
Penancapan kuku-kuku kekuasaan ekonomi dan politik Blok Barat pun merambah ke sekujur tubuh Indonesia. Yang melegenda adalah konsesi yang diberikan kepada Amerika Serikat berupa kawasan pertambangan emas di Papua dengan apa yang mereka sebut Freeport (pangkalan bebas). Mungkin yang tepat bukanlah pangkalan bebas tetapi pangkalan penjajahan. Hingga wafatnya Soeharto, kuku kekuasaan ekonomi Amerika Serikat tersebut tidak kunjung dapat dicabut dari bumi Papua.
Telah banyak pakar yang berusaha mendefenisikan dan mencirikan Orde Baru. Satu ciri yang tidak diperselisihkan adalah bahwa Orde Baru merupakan rezim otoritarianisme yang mengabaikan demokrasi. Andaipun di masa Orde Baru berlangsung pemilu, hal itu sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai indikator bekerjanya sistem demokrasi. Sebab pemilu pada masa Orde Baru lebih sebagai lipstik belaka. Tidak ada pemilu yang fair dan bersih dari intervensi kotor pemerintah yang berkuasa saat itu.
Meskipun pemerintah Orde baru mengabaikan bekerjanya sistem demokrasi, tetapi dalam satu hal pemerintah dapat meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat. Selain itu, di masa Orde Baru tercapai swasembada pangan.
Tiga strategi pembangunan Orde Baru yang dinamakan dengan trilogi pembangunan yang terdiri atas stabilitas politik dan keamanan, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan dengan konsisten diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru. Stabilitas politik dan keamanan merupakan modal dasar di dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi juga dipandang sebagai syarat utama terjadinya pemerataan ekonomi. Rezim Orde Baru percaya, jika pertumbuhan ekonomi tercapai dengan baik, maka dengan sendirinya akan menetes menjadi sumber rezeki bagi rakyat jelata. Dalam bayangan sederhana para penganut Orde Baru itu adalah jika pabrik-pabrik telah tumbuh di Indonesia akibat kondusifnya iklim usaha yang dijamin oleh negara melalui peran besar ABRI, maka dengan sendirinya terseraplah penganggur-penganggur yang berjubel tersebut menjadi buruh-buruh yang diharapkan mampu membiayai kebutuhan hidupnya.
Melihat tiga strategi dasar pembangunan Orde Baru tersebut, wajarlah jika kedudukan politik Angkatan Darat yang menjadi komponen utama ABRI saat itu sangat menentukan di dalam menjamin terlaksananya strategi pertama, yaitu stabilitas politik dan keamanan. Dalam sudut pandang rezim Orde Baru, keamanan berasal dari berperannya ABRI di dalam mengatasi konflik kepentingan di dalam masyarakat. Konflik kepentingan itu bisa berupa konflik kepentingan antara warga dengan warga dan konflik kepentingan antara warga dengan pemerintah. Nah, ABRI bekerja mengatasi konflik tersebut, terutama konflik antara warga dengan pemerintah dengan cara-cara persuasif maupun represif untuk upaya mengamankan program-program yang dicanangkan oleh pemerintah. Implikasi dari model manajemen keamanan semacam itu akhirnya menempatkan pemerintah sebagai patron dan warga hanya sebagai klien dan subordinasi dari pemerintah. Karena model manajemen keamanan semacam itu berlangsung lebih dari satu generasi (32 tahun), maka wajarlah jika kemudian hal itu telah diserap oleh warga menjadi nilai yang patut diinternalisasi hingga kemudian menjadi habit warga.
Saya sendiri berpandangan bahwa strategi dasar pembangunan Orde Baru tersebut adalah keliru. Kekeliruannya tidak saja karena telah dikoreksi oleh sejarah pada tahun 1998 (reformasi), tetapi secara gagasan bahwa sumber keamanan yang benar bukanlah berasal dari peranan ABRI yang hegemonik semacam itu. Keamanan dan kedamaian hanya dapat dicapai apabila kesejahteraan lahir dan batin setiap warga dapat dipenuhi oleh negara. Penuhi dahulu secara beradab kebutuhan lahir dan batin setiap warga, maka engkau akan menuai keamanan. Bukan paksakan dulu ketertiban dan keamanan, baru mulai mengupayakan pemenuhan kebutuhan lahir dan batin warga seperti metode yang dipraktekkan Orde Baru. Akibat dari metode sesat Orde Baru tersebut yang miskin dialog subtantif, warga dipandang tidak lebih sebagai binatang ekonomi semata. Padahal warga adalah manusia yang mempunyai naluri hewaniah sekaligus naluri ilahiah.
Telah banyak dibuktikan bahwa konflik kepentingan lebih banyak bersumber dari tidak kunjung terjangkaunya kesejahteraan lahir dan batin rakyat. Oleh karena itu, sesungguhnya strategi dasar Orde Baru yang menempatkan pemerataan ekonomi di urutan terakhir benar-benar salah. Yang benar adalah urutan terbalik dari strategi dasar Orde Baru tersebut.
Misalnya, pemerintah terlebih dahulu mengusahakan pemerataan pembagian hasil-hasil ekonomi kepada rakyat. Pembagian (distribusi) hasil-hasil ekonomi tersebut tentulah tidak saja pembagian ekonomi yang bersifat konsumtif tetapi juga yang bersifat produktif. Ekonomi yang bersifat produktif itu misalnya, modal kerja, akses, teknologi, dan sebagainya. Setelah itu barulah diusahakan peningkatan perekonomian negara (pertumbuhan ekonomi) tanpa harus mengganggu proses pemerataan ekonomi rakyat yang sudah berjalan. Dan selanjutnya proses yang berjalan simultan tersebut, diimbangi pula dengan penguatan stabilitas politik dan keamanan. Sesungguhnya, jika rakyat telah terpenuhi kebutuhan dasarnya baik lahir maupun batin, soal keamanan dalam negeri dengan sendirinya dapat dengan mudah diatasi. Dengan demikian, ancaman keamanan lebih banyak datang dari unsur luar atau kepentingan asing ketimbang dari unsur dalam negeri. Sayangnya, hal ini tidak banyak mendapat perhatian dari para pemimpin politik dewasa ini.
Selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, segala reaksi rakyat yang mencoba menentang kebijakan Orde Baru, ditangani secara represif melalui alat-alat kekuasaan. Akibatnya, perbedaan pendapat sulit berkembang, daya proaktif rakyat lumpuh, dan yang tumbuh adalah kemunafikan (asal bapak senang). Sangat langka menemukan pribadi-pribadi yang berintegritas kuat. Yang ramai adalah pribadi-pribadi yang lain di mulut lain di hati dan tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempiskan. Walhasil Orde Baru membikin kondisi yang kondusif bagi berkembangnya aktivitas korupsi di berbagai lini masyarakat. Hingga hari ini, perilaku korup tersebut jelas amat sulit diberantas karena telah mengakar dan menjadi perilaku umum masyarakat Indonesia.
Contoh kecil saja, apabila seseorang berkeinginan diterima di instansi pemerintah, seperi PNS, Polri, atau tentara, sudah bukan rahasia lagi harus menyetor sejumlah uang ke oknum tertentu di instansi tersebut untuk menjamin terwujudnya keinginan yang bersangkutan. Hal ini tidak pernah diakui secara jantan oleh instansi terkait, dan justru jika dikemukakan fakta-fakta semacam ini, malah menuduh balik dengan mengatakan hal itu sebagai upaya mendeskriditkan. Akibat pembelaan membabi buta yang dilatari semangat koorps yang ngawur, dengan sendirinya praktik ilegal semacam itu terlindungi dengan aman sentosa.
Demikianlah suasana yang berkembang selama Orde Baru berkuasa. Stabilitas semu yang terjadi selama 32 tahun tersebut, terjamin karena faktor aliansi pilar-pilar Orde Baru dengan Blok Barat yang dikomandani oleh Amerika Serikat. Begitu persaingan Blok Barat dnegan Blok Timur berakhir pada tahun 1990-an awal, sesungguhnya Orde Baru telah kehilangan sumber legitimasinya yang utama. Kemudian secara beruntun mengemukalah isu HAM yang kemudian sangat memukul fondasi kekuasaan Orde Baru. Orde Baru yang penuh dengan praktik pelanggaran HAM, tidak lagi bisa tidur nyenyak disebabkan oleh rongrongan isu HAM, mulai dari kasus Timor Timur, Aceh, Papua, orang-orang Muslim (Tanjung Priok, Lampung, dan seterusnya), hingga golongan PKI yang dihapus dari peta politik nasional.
Anehnya, belajar dari pengalaman Orde Baru yang mencadangkan legitimasinya dari dukungan barat tersebut, masih saja ditiru oleh penguasa-penguasa politik nasional, meskipun legitimasi dari barat tersebut penuh dengan ketidakpastian. Kita bertanya-tanya, apakah ini bagian dari perwujudan mental inlander yang mengungkung pikiran elit-elit negara ini?
Pernah dalam satu pertemuan dengan menteri energi dan sumber daya mineral (2008) untuk menampung masukan dari organisasi-organisasi kepemudaan di Indonesia mengenai kebijakan minyak dan gas. Saat itu, sedang hangat-hangatnya penolakan rakyat terhadap inisiatif pemerintah yang menaikkan harga BBM hingga mencapai 28% lebih dari harga semula Rp 4.000 per liter untuk premium menjadi Rp 6.000 per liter. Saya mengajukan pertanyaan kepada menteri tersebut: mengapa Indonesia selalu geger dengan persoalan BBM, padahal Indonesia termasuk penghasil minyak. Mengapa hasil-hasil minyak kita banyak dikuasai asing? Jika saja sumber-sumber minyak tersebut dikuasai oleh negara, tentu Indonesia akan beruntung dengan melambungnya harga minyak. Apakah tidak mungkin kita menasionalisasi sumber-sumber minyak yang telah dikuasi asing tersebut?
Mengagetkan jawaban yang diberikan oleh menteri tersebut. ”Jika kita menasionalisasi aset-aset asing di sektor migas tersebut, apakah kita mau seperti Venezuela yang diisolasi internasional? Isolasi semacam itu jauh lebih berbahaya dampaknya,” katanya.
Yang saya pikirkan saat itu, mengapa menteri tersebut begitu yakin dengan dampak yang masih spekulatif tersebut? Bukankah Indonesia sudah berkali-kali menderita saat harga BBM naik di pasaran dunia, di dalam negeri kita juga ikut-ikutan naik? Andai saja semua bisnis BBM tersebut dari hulu hingga hilir dikuasai oleh negara, tentu Indonesia akan beruntung dengan membubungnya harga BBM di pasaran dunia seperti yang dinikmati oleh Arab Saudi.
Itulah salah satu bentuk ”keberhasilan” Orde Baru. Orde baru berhasil meracuni (brainwashing) isi pikiran warganya hingga bersih dari mental dan cara berpikir revolusioner yang sejatinya merupakan mental dan tradisi berpikir para pendiri republik ini.
Hingga setelah satu dasa warsa lebih runtuhnya kekuasaan Soeharto, mental dan cara berpikir Orde Baru yang tidak merdeka dan selalu menggantungkan diri kepada kekuatan luar dirinya, masih berkembang subur di dalam masyarakat dewasa ini. Penghambaan terhadap materi dan pemujaan terhadap kebudayaan Barat masih menjadi tabiat masyarakat.
Gejala ini dapat disaksikan secara telanjang melalui program-program favorit di berbagai stasiun televisi. Kontes-kontes idola, baik yang melibatkan remaja, kanak-kanak, hingga sekeluarga komplit, mengacu pada trend hiburan yang berkembang di Barat yang melandaskan pada harapan menggapai kepuasaan materi.
Trend hiburan yang berdimensi massal semacam ini, tentulah sangat efektif sebagai sarana pengiklanan produk. Program televisi yang meyedot pemirsa dari kanak-kanak hingga dewasa ini semata-mata dilatari oleh semangat kapitalisme yang kental. Tidak peduli program tersebut dapat merugikan perkembangan mental warga, yang dikejar semata-mata keuntungan material. Masyarakat diperas angan-anagn dan jiwanya oleh program yang materialistik tersebut menjadi masyarakat yang lumpuh secara sosial dan spritual.
Demikian juga yang terjadi pada tayangan-tayangan infoteinment yang berkembang hingga sekarang. Tayangan-tayangan tersebut hanya akan mendidik warga untuk memercayai gosif dan gunjingan. Sayangnya, tayangan-tayangan yang merusak tersbeut tidak kunjung ditutup oleh pemerintah.
Sebagai sunnatullah, Orde Baru pun tidak luput dari hukum mutlak kemakhlukan. Ada masa pertumbuhan, masa mekar, dan ada juga masa layu dan gugur. Demikianlah, setelah 32 tahun merawat Orde Baru, Soeharto dan kroninya tidak sanggup menahan desakan zaman yang menuntut adanya keterbukaan dan demokratisasi. Aspirasi keterbukaan dan demokratisasi itu telah berkali-kali dituntut, namun senantiasa dibungkam oleh rezim Soeharto.
Tetapi setelah pihak Barat bergeser mendukung aspirasi demokratisasi dan keterbukaan, rezim Orde Baru pun tidak bisa lagi bertahan. Pada 21 Mei 1998, Soeharto dengan resmi mengundurkan diri.
Proses pengunduran diri Soeharto, dilatari oleh desakan rakyat yang dipimpin oleh kalangan mahasiswa. Pada saat yang sama, kondisi perekonomian nasional yang ambruk, telah meruntuhkan wibawa Soeharto. Krisis moneter yang melanda Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia pada 1997, merembet dengan cepat menghantam struktur perekonomian nasional yang rapuh. Soeharto panik mengatasi krisis yang laten dalam sistem ekonomi kapitalisme pilihannya tersebut.
Masih terkenang dalam ingatan kita bagaimana Soeharto mencoba merangsang partisipasi kaum kapitalis di Indonesia agar tidak membiarkan harga tukar rupiah anjlok terhadap dollar AS dengan aksi yang kita kenal dengan Gerakan Cinta Rupiah (Genta). Tetapi seperti yang sudah dapat ditebak, kaum kapitalis tentu lebih memilih kepentingan dirinya ketimbang kepentingan nasionalnya. Walhasil, Genta yang dikomandani putri Sulung Soeharto, Mbak Tutut, gagal total.
Tampaknya, setelah mempelajari secara matang kondisi yang berkembang dan semakin merosotnya dukungan terhadap kepresidenan dirinya, Soeharto akhirnya mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Beginilah akibatnya jika sumber legitimasi kekuasaan diperoleh bukan dari aspirasi murni masyarakat. Tidak ada komentar yang menyayangkan atas pengunduran diri Soeharto ketika itu dari negara-negara Barat pendukung rezimnya. Hal ini membuktikan bahwa negara-negara Barat tersebut memang menunggu dan menginginkan runtuhnya rezim Soeharto. Runtuhnya rezim Soeharto, jauh lebih menyenangkan dan menguntungkan bagi negara-negara Barat di dalam upaya menancapkan kuku kekuasaannya di Indonesia yang jatuh menjadi negara lemah. Lepasnya Timor-Timur merupakan bukti nyata efektifnya pengaruh Barat pasca Soeharto.

d. Indonesia 1998-Sekarang
Soeharto turun, kemudian kepresidenan dilanjutkan oleh Wakil Presiden BJ habibie. BJ Habibie yang berciri pikir liberal dan logis, membuat terobosan-terobosan kebijakan yang kemudian merubah secara dramatis sejarah Republik Indonesia.Di masanya, kehidupan pers yang bebas dilembagakan. Demikian juga kebijakan desentralisasi kekuasaan lewat undang-undang otonomi daerah. Namun di masanya juga, provinsi Timor-Timur lepasa dari tangan Indonesia.
Sebetulnya banyak kemajuan yang dicapai oleh pemerintahan BJ Habibie. Kurs rupiah terhadap dollar AS dapat dikoreksi ke level yang cukup baik, setelah pada 1997-1998 mengalami penurunan yang sangat tajam. Sayangnya, karena BJ Habibie masih dipandang sebagai bagian dari kroni Soeharto di tengah tuntutan reformasi total, maka secara dukungan politik terhadap pemerintahannya sangat tipis. Akhirnya, BJ Habibie pun turun lewat Sidang Istimema MPR.
Sepeninggal BJ Habibie, pemerintahan dilanjutkan oleh Abdurrahman Wahid lewat sebuah manuver politik Amin Rais sebagai ketua MPR saat itu dengan apa yang disebut dengan poros tengah. Poros tengah merupakan aliansi politik yang dipelumasi oleh sentimen Islam. Aliansi ini berfungsi untuk menghadang laju Megawati sebagai calon presiden setelah turunnya BJ Habibie yang terdiri atas PAN, PKS, PBB, PPP, PKB, dan juga Golkar. Aliansi politik dadakan ini berhasil menggolkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden meskipun harus menyisakan sakit hati politik bagi Megawati terhadap Abdurrahman Wahid. Namun demikian, Megawati berhasil menjadi Wakil Presiden lewat pengumpulan suara anggota MPR.
Seperti yang sudah lazim diketahui, Abdurrahman Wahid merupakan pribadi yang snagat independen. Meskipun ia terpilih lewat jasa politik poros tengah yang dikendalikan oleh Amin Rais, ia tidak bisa dikendalikan sedikit pun oleh Amin Rais. Kebijakan-kebijakannya terkadang banyak merugikan kelompok poros tengah.
Di samping itu, karena merasa terpilih secara demokratis, ia berusaha memaksimalkan kekuasaannya untuk mengefektifkan reformasi militer yang memang berjalan sangat lamban. Walhasil, ia pun berbenturan kepentingan politik dengan Menkopolkam Jenderal Wiranto. Wiranto yang sudah mempunyai pijakan kekuasaan yang kuat di internal TNI, khususnya Mabes TNI, melakukan perlawanan terhadap upaya Presiden Abdurrahman Wahid untuk menggusur posisinya. Target gusuran bukan saja Wiranto, tetapi juga seluruh perwira tinggi pengikut-pengikut Wiranto di internal TNI. Akhir dari pertarungan tersebut, Wiranto kemudian meletakkan jabatannya sebagai Menkopolkam.
Tetapi pertarungan politik tersebut tentulah tidak berakhir final sampai di situ. Dukungan politik Wiranto tentulah tidak sedikit. Di samping itu, Abdurrahman Wahid semakin susah untuk ditebak. Ia kemudian mewacanakan kebijakan yang sangat sensitif bagi TNI maupun umat Islam, yakni rencana pencabutan TAP MPR tentang pelarangan Partai Komunis Indonesia.
Melihat trackrecord ideologi politik Abdurrahman Wahid yang dianggap kiri oleh banyak pihak, tentu saja wacana tersebut bukan main-main. Walhasil bersatulah berbagai kepentingan: umat Islam yang dipersonifikasi oleh poros tengah; TNI oleh fraksi TNI/Polri; kekecewaan PDIP yang berkali-kali terhadap Abdurrahman Wahid—di antaranya pemberhentian Laksamana Sukardi, menteri dari unsur PDIP—dan juga Golkar yang diberhentikan menterinya, Jusuf Kalla, mengakibatkan jatuhnya pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Meskipun Abdurrahman Wahid telah mengambil jurus penerbitan Maklumat Presiden yang di antaranya membekukan MPR RI dan DPR RI, namun maklumat tersebut tidak lebih dari macan ompong belaka. Sebab, tiadanya dukungan politik yang signifikan dari TNI dan Polri seperti yang terjadi di masa Soekarno (1959).
Maklumat Presiden Republik Indonesia:
Setelah melihat dan memperhatikan dengan seksama perkembangan politik yang menuju kepada kebuntuan politik akibat krisis konstitusional yang berlarut-larut yang telah memperparah krisis ekonomi dan menghalangi upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang disebabkan oleh pertikaian politik kekuasaan yang tidak mengindahkan lagi kaidah perundang-undangan, apabila hal ini tidak dicegah akan segera menghancurkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maka dengan keyakinan dan tanggung jawab untuk menyelamatkan negara dan bangsa serta berdasarkan kehendak sebagian terbesar masyarakat Indonesia, kami selaku Kepala Negara Republik Indonesia terpaksa mengambil langkah-langkah luar biasa dengan memaklumkan :
1.Membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggaran Pemilu dalam waktu satu tahun. 3. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golongan Karya sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung, untuk itu kami memerintahkan seluruh jajaran TNI dan Polri untuk mengamankan langkah penyelamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang serta menjalankan kehidupan sosial dan ekonomi seperti biasa.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridloi negara dan bangsa Indonesia.
Jakarta, 22 Juli 2001, Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang KH Abdurrahman Wahid (http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/07/22/0026.html)
Tumpulnya konsekwensi hukum dari Maklumat Presiden tersebut pertanda bahwa realitas yang berlaku di Indonesia memang bukanlah negara hukum tetapi yang nyata hanyalah negara kekuasaan. Jika negara hukum yang berlaku, tentu maklumat tersebut telah dapat membekukan MPR, DPR dan Partai Golkar. Inilah fondasi bagi merebaknya korupsi di lapangan hukum di Indonesia.
Abdurrahman Wahid kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri (2001). Dalam perjalanannya, kepresidenan Megawati tidak sepi dari rongrongan politik DPR dari fraksi non PDIP. Tetapi bagaimana pun, sejarah telah mencatat, di masa kepemimpinannyalah pemilu langsung legislatif dan eksekutif untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia diselenggarakan. Sekali lagi, perubahan dramatis sejarah perjalanan Republik Indonesia terjadi. Melalui pemilu langsung, rakyat dapat menguji sendiri sejauhmana kemampuan dan wawasan kenegaraan calon-calon presiden dan wakil presiden yang akan ia pilih.
Kebijakan pemilu yang diambil di masa kepridenan Megawati tersebut, telah mengikis feodalisme kepemimpinan yang dirawat selama Orde Baru berkuasa. Sayang di akhir masa jabatannya, Megawati kehilangan popularitas karena terjebak ke dalam perseteruan dengan salah satu menterinya, Menkopolkam Susilo Bambang Yudoyono.
Perseteruan ini bermula dari ketidaksenangan Megawati melihat gelagat Susilo Bambang Yudoyono yang berpotensi menjadi rival politiknya. Gelagat itu terlihat dari upaya Susilo Bambang Yudoyono membuat iklan yang mengajak perdamaian di tengah-tengah masyarakat. Reaksi dari ketidaksenangan Megawati tersebut, Megawati akhirnya pernah tidak mengikutsertakan Susilo Bambang Yudoyono dalam satu rapat kabinet. Susilo Bambang Yudoyono yang kala itu belum membuat nama alias sebagai SBY meminta penjelasan melalui surat alasan dibalik tidak diikutsertakannya dia dalam rapat kabinet.
Tanpa diduga, Taufik Kiemas, suami Presiden Megawati ikut ambil komentar dengan mengatakan Susilo Bambang Yudoyono kekanak-kanakan. Logikanya, mengapa sebagai menteri harus mengirim surat untuk mengajukan keberatan. Walhasil, perseteruan yang mulanya kecil ini, bertambah besar dan berdimensi sensasional oleh bumbu-bumbu pers.
Karena merasa tidak ditanggapi dan diberikan kedudukan sewajarnya sebagai menteri, alhasil Susilo Bambang Yudoyono pun mengundurkan diri. Secara opini publik, Susilo Bambang Yudoyono telah diuntungkan dengan sorotan media yang meletakkan dirinya sebagai korban. Akhirnya, ia pun menuai simpati yang luas dari publik yang dilanda histeria.
Sejak semula, sebelum ia mengundurkan diri secara resmi, gerakan politik di dalam rangka mencalonkan Susilo Bambang Yudoyono sebagai presiden, sebetulnya telah dilakukan dengan sistematis oleh Partai Demokrat yang didirikan oleh Susilo Bambang Yudoyono.
Akhirnya, pada saat digelar pemilu langsung presiden dan wakil presiden, pasangan Susilo Bambang Yudoyono – Jusuf Kalla (SBY-JK) yang mencerminkan perpaduan TNI dan dunia usaha, memenangi pertarungan.
Karena dukungan politik yang tidak signifikan, maka SBY-JK harus realistis di dalam menyusun kabinet dengan mengikutsertakan unsur Partai Golkar di samping partai pendukung seperti PBB, PKP, PKS, dan PKB. PDIP sendiri menempatkan diri sebagai pihak oposisi loyal. Belakangan, Partai Golkar jatuh ke tangan Jusuf Kalla.
Akibat dari jatuhnya Partai Golkar ke tangan Wakil Presiden Jusuf Kalla, posisi pemerintahan SBY-JK pun semakin kuat. Kini Partai Golkar secara perlahan telah bergeser menjadi The Ruling Party. Keberadaan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden tidak lagi sebagai pelengkap pasangan SBY di dalam pemerintahan. Kini Jusuf Kalla menjelma menjadi penentu kebijakan dan tidak jarang menjadi rival politik SBY. Hal ini menjadi pelajaran yang berharga bagi setiap pengamat bahwa jati diri Partai Golkar memanglah pragmatis.
Gejala terakhir, kabinet SBY-JK adalah kabinet Partai demokrat dan Partai Golkar. Hal ini tercermin pada respon fraksi-fraksi di DPR menyangkut isu hak angket kebijakan menaikkan harga BBM. DPR terbelah menjadi dua blok: blok yang menyetujui hak angket yang terdiri atas PDIP, PAN, PBB, PKS, PKB, PBR, PDS, dan lain-lain; blok yang tidak menyetujui hak angket yang terdiri atas Partai Golkar dan Partai Demokrat.
Meskipun blok yang setuju menang secara jumlah, namun yang tidak diperhitungkan banyak orang, gejala pengkristalan blok politik ini merupakan tahap kemenangan bagi Partai Golkar di dalam upaya merapatkan barisan yang jauh lebih erat dengan Partai Demokrat. Hal ini merupakan tiket yang berharga untuk merancang pencalonan kembali duet SBY-JK.
Apa yang diulas di atas merupakan gambaran singkat pergulatan internal elit-elit politik di Indonesia. Watak pergulatan elit politik di Indonesia sepanjang era pasca reformasi (1998-sekarang) sama sekali tidak menampakkan semangat ideologis. Yang menonjol justru pergulatan di dalam memperebutkan apa dan kapan atau dalam ungkapan lain: politik praktis yang egois. Dengan demikian, pergulatan di tingkat elit nasional, sering tidak beresonansi dengan kesadaran politik di akar rumput. Karena tidak beresonansi dengan kesadaran politik di akar rumput, maka pergantian elit sama sekali tidaklah merupakan pergantian sebuah era. Hal ini wajar saja, seperti yang sudah diungkap di atas, pergulatannya sama sekali tidak berwatak ideologis.
Kerugian besar bagi rakyat dan bangsa Indonesia akibat watak pergulatan politik yang non ideologis ini adalah terkungkungnya rakyat sebagai tawanan elit politik. Rakyat sama sekali tidak merasa terpanggil secara sadar di dalam melakukan aksi-aksi politik seperti yang acapkali diminta dan diinstruksikan oleh elit-elit partai mereka. Kalau pun mereka turut berpartisipasi memenuhi panggilan elit-elit mereka, lebih karena dilatari oleh ketundukan terhadap kharisma atau yang sering karena suapan sejumlah bantuan materil.
Pergantian Presiden yang telah berlangsung sebanyak empat kali, hampir tidak ada satu pun yang berhasil merubah secara drastis watak politik ekonomi yang merupakan urusan mendasar di dalam upaya memecahkan masalah utama negara Indonesia. Pada saat Abdurrahman Wahid menjadi Presiden, terlihat ada gelagat untuk mereposisi peran geostrategis Indonesia di dalam kancah percaturan politik global. Saat itu ia mencoba membangun poros Jakarta (Indonesia)- New Delhi (India)- Peking (China). Namun karena tidak mendapat dukungan yang berarti, rencana itu gagal.
Nah, saat Megawati menjabat Presiden, terbersit harapan akan adanya kesanggupan dirinya di dalam merubah watak politik ekonomi Indonesia, setidaknya berharap ia berhasil meletakkan dasar untuk mencapai tujuan tersebut. Disokong oleh basis partai yang memadai dengan tradisi nasionalisme yang kuat, tentu saja wajar muncul ekspektasi semacam itu. Tetapi nyatanya, di masanya pula BUMN strategis Indosat dijual kepada asing, Temasek, Singapura. Program penjualan BUMN-BUMN tersebut merupakan anjuran pihak asing lewat IMF di dalam upaya memastikan gerak sejarah Indonesia agar berada di atas rel neoliberalisme. Pihak asing tersebut ingin melihat Indoensia menjadi negara yang dilucuti kekuatan ekonominya dan rakyatnya yang tergantung permanen dengan kekuasaan swasta. Atas nama efesiensi dan pengelolaan negara yang baik (good governance) serta pemberantasan korupsi, maka dipaksalah negara menjual aset-aset pentingnya. Hingga hari ini, program penjualan BUMN-BUMN tersebut masih terus diupayakan, meskipun telah berganti Presiden.
Sebenarnya, sejak reformasi dicanangkan, saat itu pula agenda asing yang dinamakan sebagai agenda neoliberalisme ikut masuk sebagai penumpang gelap. Kepentingan mereka hanya satau: memastikan Indonesia sebagai negara yang ditawan oleh kaum kapitalis hingga tak berkutik, meskipun untuk membela rakyatnya sendiri yang diperas oleh kaum kapitalis tersebut. Mereka selalu membungkus agendanya dengan ungkapan-ungkapan yang indah. Misalnya, dibutuhkan Indonesia yang friendly terhadap investor, dan setelah Indonesia benar-benar terbenam dalam perangkap mereka, lalu mereka pun mengatakan: suasana bisnis di Indonesia kini telah berada di track yang benar seperti ungkapan terkenal dari kapitalis Putera Sampoerna saat menjual perusahaannya kepada Philip Morris.
Kenyataannya, mereka kini telah berhasil membenamkan Indonesia ke dalam genggaman kaum kapitalis yang tidak terkontrol oleh negara. Supremasi kekuasaan kaum kapitalis ini terbantu pula dengan dilembagakannya sistem demokrasi liberal sebagai prosedur di dalam memilih pemimpin formal kenegaraan. Laiknya demokrasi liberal yang menelan ongkos politik yang besar, di titik inilah kaum kapitalis itu menikmati perannya yang besar di dalam menentukan pemimpin.
Setiap upaya perubahan untuk keluar dari kerangkeng kekuasaan kaum kapitalis ini, segera akan terbentur dengan kelembagaan politik yang sudah terbangun mapan. Misalnya saja, jika seseorang ingin mewujudkan agenda keluar dari program ekonomi yang berlandaskan kapitalisme yang memuja pasar bebas, setidaknya ia harus menempuh persaingan mendapatkan kursi kekuasaan lewat mekanisme pemilu. Untuk ikut dalam pemilu, seseorang harus memiliki modal yang tidak kecil. Selain itu, cita-cita semacam itu yang dapat mengancam eksistensi kapitalisme, akan bertarung dengan media yang hampir seluruhnya sudah dikuasai oleh kaum kapitalis. Jangan berharap bahwa program yang berpotensi merugikan kaum kapitalis dalam jangka panjang akan mendapat blow up, justru sebaliknya akan mereka kuburkan dengan berbagai isu rekaan. Inilah kenyataan yang dihadapi oleh rakyat hari ini. Pada saat yang sama, lewat institusi pendidikan dan media massa seperti televisi, mereka mendidik rakyat agar menganut baik secara sadar maupun tidak nilai-nilai materialistik dan mengubur jauh-jauh nilai-nilai idealistik.

e. Era Kepresidenan SBY
Diakui, di masa Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), stabilitas politik relatif lebih baik ketimbang masa presiden-presiden sebelumnya. Meskipun banyak tantangan, seperti bencana alam, terorisme, dan krisis energi, tetapi ia dapat mengatasinya dengan berhasil. Sepanjang lima tahun masa kepresidenannya yang pertama ini, tidak ada gerakan yang berhasil menurunkannya secara mendadak seperti yang dialami oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Ada tiga hal yang patut mendapat sorotan dalam masa kepemimpinan SBY. Pertama, adalah semakin membaiknya kepercayaan masyarakat terhadap KPK. KPK telah tumbuh menjadi lembaga yang efektif di dalam memberantas korupsi.
Sepak terjang KPK di bawah kepemimpinan Antasari Azhari yang direstui oleh SBY telah menyeret banyak pejabat penting di Indonesia ke penjara. Akan tetapi yang tidak banyak disorot oleh orang adalah langkah KPK menangkapi sejumlah anggota DPR yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi mengakibatkan surutnya wibawa DPR di mata publik secara drastis. Walhasil DPR telah kehilangan kepercayaan diri saat berhadapan dengan Presiden. Penyelenggaraan hak angket oleh DPR menyangkut kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, diprediksi tidak akan efektif dan seberwibawa saat DPR menjatuhkan Presiden Abdurrrahman Wahid.
Kedua, rekonsolidasi TNI di bawah kontrol pengaruh politik SBY. Abdurrahman Wahid pernah mencoba mengganti pimpinan-pimpinan TNI, seperti Panglima TNI dan Pangkostrad, akan tetapi tidak berhasil membuat TNI tunduk di bawah pengaruh Presiden sipil tersebut. Bahkan usaha politik Abdurrahman Wahid tersebut membawa dirinya jatuh dari tampuk pemerintahan. Demikian juga ketika Megawati memilih Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai calon Panglima TNI yang kemudian diajukan ke DPR, lagi-lagi gagal.
Namun tatkala SBY melakukan penggantian Panglima TNI, dari Jenderal Endriartono Sutarto kepada Marsekal Djoko Suyanto, ia berhasil dengan mulus. Demikian juga ketika ia mengganti Panglima TNI, Marsekal Djoko Suyanto kepada Jenderal Djoko Santoso, sekali lagi ia berhasil tanpa penentangan. Lalu perlahan tapi pasti, belakangan terjadi mutasi yang cukup mengejutkan di tubuh Angkatan Darat. Mutasi itu menunjukkan gejala bahwa kini posisi strategis kepemimpinan di tubuh Angkatan Darat berada dalam kendali kerabat dan teman-teman dekat SBY. Latihan Gabungan (Latgab) pada 2008, tampak sebagai perayaan atas keberhasilan rekonsolidasi TNI di bawah komando SBY.
Ketiga, rekonsolidasi kapitalisme dalam sistem perekonomian nasional. Perekonomian nasional di masa Orde Baru, pernah berhasil memancangkan sokogurunya berupa kapitalisme perkoncoan. Ketika reformasi berlangsung, sokoguru perekonomian yang berasas kapitalisme tersebut mengalami krisis. Akan tetapi kapitalisme tersebut dapat dengan cepat merekonsolidasi diri dalam bentuk yang berbeda. Semangat perkoncoan dalam bisnis mulai mengendur berganti dengan semangat yang sedikit mengedepankan fairness dan transparansi. Tetapi asasnya tidak pernah berubah: kapitalisme!
Bekerjanya kapitalisme yang percaya terhadap mekanisme pasar bebas, tentu saja merupakan jangkar bagi supremasi Barat di Indonesia. Memastikan eksistensi sistem kapitalisme di Indonesia oleh SBY, merupakan kredit yang besar bagi pemerintahan SBY untuk meraih dukungan dunia Barat.
Jadi sebetulnya, operasi pemberantasan korupsi secara terbatas dan terukur melalui tangan KPK adalah strategi mendapatkan legitimasi atas pemerintahannya yang berkesan pro reformasi. Kedua, rekonsolidasi TNI merupakan modal yang ampuh di dalam menstabilkan politik dan keamanan. Saat SBY melakukan hal yang kedua ini, sebetulnya ia telah kembali meletakkan TNI sebagai kekuatan sosial politik setara dengan partai-partai politik. Walhasil, semangat dan amanat reformasi untuk menghapuskan dwi fungsi ABRI, tidak terpenuhi.
Ketiga, rekonsolidasi kapitalisme dalam sistem perekonomian nasional dewasa ini merupakan bahaya yang besar bagi kemandirian dan cita-cita kesejahteraan yang merata bagi rakyat. Nampaknya, SBY bukan tidak menghitung bahaya yang ditimbulkan akibat rekonsolidasi kapitalisme itu. Tetapi SBY memilih pragmatis demi meraih dukungan dunia barat dan dunia bisnis yang agresif dan egois.
Akhirnya kita menilai, di bawah kepemimpinan SBY, Indonesia tengah dibawa ke dalam tawanan para kapitalis, baik domestik maupun global. Hal inilah yang menjelaskan mengapa sumber daya alam Indonesia semakin habis di masa kepemimpinannya dan setiap kali ditiupkan isu nasionalisasi senantiasa mendapatkan tantangan yang sengit. Dan pokok yang ketiga inilah yang akan menjadi faktor penghambat bagi usaha pemandirian bangsa. Tentu para kapitalis itu lebih suka melihat Indonesia kehilangan kemandirian di hadapan penguasa-penguasa pasar tersebut.








































BAB II
Diskursus Dasar-dasar Bermasyarakat dan Bernegara

Pada bab sebelumnya telah diulas secara umum mengenai hasil-hasil dan pengalaman yang kita peroleh mulai dari masa pra kolonial, masa kolonial, hingga pasca kolonial. Catatan kita, tidak ada satu pun dari ketiga era tersebut yang mampu melahirkan sebuah masa gemilang yang pantas dijadikan sebagai acuan bagi usaha perbaikan tata kemasyarkatan dan tata kenegaraan di masa mendatang seperti yang menjadi tantangan besar Indonesia dewasa ini.
Tiga nilai utama yang kita maksud sebagai acuan keberhasilan tata kenegaraan dan tata kemasyarakatan, yaitu berlangsungnya keadilan, kesejahteraan dan ketentraman di dalam kehidupan masyarakat. Hingga dewasa ini, ketiga parameter tersebut belum dapat kita capai sebagai pengalaman yang pernah hidup dalam sejarah kita.
Indonesia didirikan tentu saja untuk mencapai ketiga hal di atas. Indonesia yang sejatinya lahir pada 1945, telah mencoba menerapkan berbagai sistem di dalam usaha mencapai tiga nilai utama tersebut. Pada awal-awal pasca kemerdekaan (1945-1959), dapat dikatakan para pemimpin Indonesia berkompetisi menerapkan berbagai paham yang mereka yakini untuk dijadikan sebagai landasan filosofis kebijakan kenegaraan. Puncaknya terjadi pada 1959 ketika deadlock di tingkat konstituante yang kemudian mendorong almarhum mantan Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan kemudian mengimplementasikan demokrasi terpimpin di bawah kendali Presiden.
Demokrasi terpimpin bertahan dari 1959 hingga 1966. Sosio-nasionalisme merupakan spirit yang melandasi demokrasi terpimpin ala Soekarno. Tetapi meskipun di tingkat paradigmatik sosio-nasionalisme sangat pro rakyat jelata, namun tujuan mencapai keadilan, kesejahteraan dan ketenteraman di dalam kehidupan masyarakat tidak kunjung tercapai. Kemudian Orde Baru berdiri di bawah kepemimpinan almarhum Jenderal Soeharto. Di atas kertas, Orde Baru bertujuan menerapkan Pancasila secara konsisten dan konsekwen. Tetapi yang terjadi sebenarnya adalah implementasi sistem kapitalisme terpimpin. Kapitalisme sudah barang tentu bertentangan dengan spirit Pancasila yang berwarna sosialisme. Selama 32 tahun kapitalisme terpimpin diterapkan di Indonesia dengan tangan besi melalui kekuatan tentara dan polisi. Walhasil kesenjangan kemakmuran pun terjadi. Alih-alih mencapai keadilan, kesejahteraan dan ketenteraman di dalam kehidupan masyarakat, justru yang terjadi sebaliknya. Perbedaannya dengan masa almarhum Presiden Soekarno, bahwa di masa Orde Baru lahir segelintir warga yang memonopoli aset-aset ekonomi (konglomerat), sementara sebagian besar lainnya tetap berada dalam kemiskinan.
Pada tahun 1998, Orde Baru ambruk diterjang krisis kapitalisme yang melanda kawasan Asia. Kita tidak tahu apakah krisis tersebut sengaja diciptakan oleh para pemilik kapital untuk fondasi sebuah era tertentu atau merupakan gejala alamiah saja dari sistem kapitalisme yang memang membawa cacat bawaan. Yang pasti, krisis kapitalisme tersebut telah mengambil korban hancurnya kredibilitas kekuasaan Soeharto dan kemudian benar-benar memaksa mantan Presiden Soeharto meletakkan jabatan. Lantas datanglah era reformasi yang berintikan kebebasan politik dan demokrasi politik minus demokrasi ekonomi. Satu dekade setelah reformasi, yang dicapai dari demokrasi politik ini hanyalah kesibukan pemilu dan muka-muka baru yang tidak dikenal oleh rakyat yang mengisi lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif.
Akan tetapi, sistem kapitalisme tetap berjalan dan malah mengalami perkembangan yang lebih semarak lagi. Apabila di zaman mantan almarhum Presiden Soeharto, para kapitalis masih dapat dikoordinir dan diatur oleh pemerintah, kini telah terbalik justru Pemerintahlah yang diatur oleh para kapitalis tersebut. Hal itu dapat dipahami karena pemerintah yang lahir dari pemilu-pemilu dibiayai oleh para kapitalis tesebut saat memperebutkan jabatan-jabatan publik. Sementara rakyat mayoritas tetap berkubang dalam kemiskinan.
Belakangan ini (September 2008 hingga entah kapan) krisis kapitalisme mulai menghantui dan mencemaskan dunia. Pusat gempanya mulai bergetar dari Amerika Serikat kemudian merembet ke Eropa dan sudah pasti akan menjangkau ke berbagai negara yang telah terintegrasi dengan sistem kapitalisme global. Bursa Efek Indonesia yang menjadi arena utama implementasi sistem kapitalisme sempat terjadi suspensi (8-9 Oktober 2008).
Apa pun yang sesungguhnya terjadi, krisis ini disengaja atau alamiah, seharusnya membangunkan kita, terutama para intelektual negeri ini, untuk menyadari betapa besarnya risiko yang akan ditimbulkan oleh kapitalisme terhadap keselamatan negara dan ketentraman dan kesejahteraan rakyat. Kinilah saatnya bangsa ini untuk keluar dari jebakan sistem kapitalisme dan mengambil sistem ekonomi politik yang sesuai dengan fitrah umat manusia yang tidak hanya menguntungkan segelintir manusia tetapi merugikan mayoritas rakyat.
Sebelum lebih jauh membicarakan sistem apa yang tepat dan selaras dengan fitrah manusia, ada baiknya terlebih dahulu kita kenali dua sistem dominan yang berkembang dewasa ini, yaitu kapitalisme dan sosialisme.

Konteks Kemunculan Kapitalisme dan Sosialisme di Eropa
Mendiskusikan kapitalisme maupun sosialisme haruslah terlebih dahulu melacak asal-usul konteks kemunculannya di Eropa. Kemunculannya terkait erat dengan semangat pemberontakan kaum intelektual Eropa saat itu terhadap dominasi gereja. Dari pemberontakan itu lahirlah modernisme yang mengasaskan kepercayaannya di atas supremasi doktrin ilmiah (empirisme dan logika).
Sejarah kemanusiaan di berbagai belahan dunia dewasa ini nyaris tidak ada satu negara pun yang tidak terkena pengaruh oleh peradaban modern. Peradaban modern berasal dari dinamika sosial politik dan ekonomi yang berlangsung di Eropa. Ketika itu, bangsa-bangsa Eropa menjajah ke berbagai benua, lalu turut pula mereka bawa gagasan-gagasan yang berkembang di negeri asalnya. Kemudian gagasan-gagasan tersebut mereka paksakan untuk diterapkan di negeri-negeri jajahan.
Telah diketahui secara luas bahwa Eropa sebelumnya hanyalah sekumpulan bangsa yang sangat terikat dengan aturan-aturan keagamaan yang ketat. Aturan-aturan keagamaan tersebut diciptakan dan dilembagakan oleh otoritas gereja yang sangat kuat. Ketatnya aturan tersebut dalam berbagai segi telah menyebabkan keterkungkungan jiwa masyarakat. Sedemikian dominannya institusi gereja hingga gereja telah memerankan diri sebagai penjelmaan Tuhan dalam arti yang sesungguhnya. Gereja saat itu berkuasa menerbitkan surat pengampunan dosa (aflaat) kepada jemaatnya.
Dalam waktu yang bersamaan pengaruh kebudayaan Islam yang berada di Spanyol saat itu tidak sedikit memberikan goncangan terhadap kemapanan institusi gereja. Para pelajar Eropa yang sedang belajar di Spanyol memperoleh gagasan-gagasan liberal yang secara intrinsik berkembang dalam kebudayaan Islam. Ibnu Rusyd (Averos) merupakan tokoh intelektual yang sangat dikagumi oleh para pelajar Eropa kala itu. Gagasan-gagasan liberal ini kemudian mereka kembangkan dalam masyarakat Eropa. Walhasil pertentangan gereja dengan sekolompok intelektual liberal menjadi tidak terelakkan. Doktrin gereja yang dipandang tidak berdasarkan logika dan empirisme patah oleh argumen-argumen baru yang dikembangkan oleh para intelektual liberal tersebut. Doktrin geosentris dan permukaan bumi datar yang dipercayai oleh gereja tergusur oleh doktrin heliosentris dan bumi bulat yang dipercayai oleh para intelektual yang memang selaras dengan penelitian ilmiah. Dalam perkembangan selanjutnya, gereja kehilangan wibawa di hadapan masyarakat dan untuk mempertahankan kewibawaannya, gereja tidak sungkan melakukan kekerasan dengan membunuh dan membakar para para intelektual subversif tersebut.
Pertentangan yang keras antara kaum intelektual liberal dengan gereja menjelma menjadi pemberontakan horizontal terhadap kekuasaan gereja. Di sinilah titik berseminya demokrasi. Demokrasi sesungguhnya merupakan anti tesa dari teokrasi yang ditopang oleh gereja. Pada saat yang sama di dalam internal gereja sendiri belangsung gerakan koreksi dan reformasi yang kemudian melahirkan aliran Calvinisme dan Protestan. Ketegangan antara kaum intelektual liberal dengan gereja sampai pada ambang batas tertentu dimana kemudian dipandang perlu demi kemaslahatan untuk memangkas otoritas gereja pada wilayah politik. Gereja tidak lagi diperkenankan secara legal mengurusi wilayah publik dan politik. Cukuplah gereja mengurusi wilayah ritual keagamaan dan sosial. Di titik inilah diletakkannya dasar-dasar sekularisme dalam politik di Eropa saat itu. Sekularisme jelas terkait secara historis dengan dinamika politik Eropa di masa silam. Lama kelamaan sekularisme dipandang sebagai basis etika pengelolaan politik dan kenegaraan yang modern.
Setelah lepasnya cengkeraman gereja pada wilayah politik dan publik, maka terbukalah era baru. Wilayah publik dan politik yang ditinggalkan oleh gereja, kemudian diisi oleh kekuatan-kekuatan baru di dalam masyarakat yang berbasiskan nilai-nilai sekuler. Tentu saja kekuatan-kekuatan baru tersebut terdiri atas unsur-unsur yang beragam.
Dua unsur utama yang membentuk era baru pasca kekuasaan gereja tersebut adalah kekuatan politik para pemilik modal dan rakyat jelata yang sebagian berasal dari kaum buruh dan petani. Kedua unsur inilah yang menjadi tulang punggung bagi terkristalnya pandangan politik yang dikotomik: kapitalisme-liberalisme dan sosialisme. Unsur pertama mengimpikan sebuah orde dimana mekanisme pasar bebas menjadi tumpuan penataan masyarakat. Kedudukan negara sendiri dalam pandangan kapitalisme-liberalisme haruslah terbatas pada wilayah regulasi untuk memastikan peraturan permainan dapat berjalan baik. Apabila negara bertindak lebih jauh dari itu, sudah dipandang tidak tepat. Logika ini dapat dimaklumi karena para pemilik modal tersebut hanya membutuhkan kehadiran negara pada batas-batas yang mereka butuhkan. Sedianya mereka telah kuat secara finansial dan politik, tetapi karena dalam dinamika persaingan antar mereka di dalam memperebutkan pasar diperlukan pihak ketiga sebagai regulator, maka kehadiran negara diperlukan dalam batas-batas kebutuhan tersebut.
Sedangkan unsur kedua mengimpikan sebuah orde dimana negara dapat membela nasib mereka, menjamin kesejahteraan dan meningkatkan derajat hidup mereka. Oleh karena itu, pada tingkat tertentu diperlukan negara yang benar-benar representasi dari kaum buruh dan rakyat jelata untuk memastikan agar negara betul-betul dapat melayani aspirasi mereka. Hal ini dapat dipahami karena realitas hidup yang dialami oleh rakyat jelata yang terdiri atas kaum petani dan kaum buruh tersebut tidak sepi dari penindasan kaum pemilik modal. Walhasil kebutuhan antar kedua unsur pembentuk peradaban modern tersebut terhadap kehadiran negara memanglah berbeda. Oleh karena itu wajar pulalah bila kedua unsur masyarakat tersebut selalu dalam keadaan kontradiksi. Di dalam realitas politik pun kedua unsur tersebut membentuk barisan politik yang dikotomik.
Di dalam usaha menyalurkan aspirasi warga negara, termasuk di dalamnya menentukan penguasa, dibentuklah mekanisme pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan instrumen kekuasaan rakyat sekaligus merupakan cara meruntuhkan lembaga monarki yang sebelumnya didukung oleh gereja. Jika monarki memilih penguasa berdasarkan keturunan, maka pemilihan umum yang merupakan instrumen demokrasi, memilih penguasa berdasarkan pilihan rakyat semata.
Di dalam proses pemilihan umum ini terdapat banyak celah bagi kekuatan manapun di dalam masyarakat untuk mencoba meraih kekuasaan. Meskipun di atas di atas kertas berlaku prinsip vox populi vox dei, namun penyaluran suara itu dapat dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang bersaing di dalam masyarakat. Nyaris tidak ada suasana yang benar-benar bebas bagi pemilih. Setidaknya ia dipengaruhi oleh pembentuk opini, seperti media, aksi kampanye, dan sebagainya. Dan yang paling ekstrem adalah berupa modus intimidasi, bujukan dan politik uang.
Dalam perkembangannya, demokrasi tampil dalam berbagai watak dan corak. Keragaman watak dan corak ini ditentukan oleh tulang punggung yang menyokong sistem demokrasi itu sendiri. Sebab demokrasi hanyalah sebuah sistem mekanisme sirkulasi kekuasaan sebagai alternatif dari sistem kekuasaan monarki yang bersifat turun-temurun dan absolut.
Memperhatikan apa yang diuraikan di atas menjadi jelas bahwa sesungguhnya sistem politik, sosial dan ekonomi yang berlaku di Eropa mencerminkan dinamika yang berlangsung di dalam masyarakatnya. Karena itu tidak dapat dikatakan bahwa sistem yang lahir dari rahim masyarakat Eropa tersebut bersifat mutlak dan menjadi ukuran satu-satunya bagi kemajuan sistem untuk berbagai bangsa. Sayangnya dewasa ini, Eropa dan bangsa turunan mereka (Amerika Serikat) memaksakan baik secara diplomatik maupun perang satu ukuran kemajuan sistem sosial, ekonomi dan politik ke berbagai belahan dunia. Gejala ini menunjukkan bahwa sejatinya sistem sosial, ekonomi, dan politik yang mereka promosikan tersebut terkait langsung dengan eksistensi keyakinan, prinsip dan filosofi subjektif Eropa dan bangsa turunannya. Muhammad Baqir Shadr menyatakan: ”Kenyataannya adalah: Sistem sosial yang dipercayai Eropa, prinsip-prinsip sosial yang diyakini dan dicanangkannya, sebenarnya bukanlah hasil dari suatu studi ilmiah eksprimental; malah ia lebih bersifat teoritis tinimbang eksprimental, lebih merupakan prinsip-prinsip filosofis dari pada ide-ide eksprimen ilmiah, lebih merupakan hasil dari suatu pengertian mental dan kepercayaan akan prinsip-prinsip intelektual yang terbatas (relatif-pen) dari pada suatu hasil pertimbangan pemikiran yang derivatif atau suatu riset eksprimental mengenai kebutuhan-kebutuhan manusia, karakteristik-karakteristik psikologis, fisiologis serta karakteristik-karakteristik alamiah.
....Dalam lapangan sosial, pikiran manusia Barat lebih didasarkan pada ide-ide teoritis dari pada atas ide-ide ilmiah. Umpamanya, ia menyerukan hak-hak manusia yang dideklarasikan dalam revolusi sosialnya, dan sangatlah jelas bahwa ide tentang hak-hak tidaklah bersifat ilmiah, karena hak manusia akan kemerdekaan, umpamanya, bukanlah subtansi yang dapat diukur dan dieksprimenkan, dan dengan demikian ia berada di luar jangkauan riset ilmiah; sebaliknya, kebutuhan itu sendiri adalah gejala subtansial yang dapat dipelajari secara ilmiah” (Muhammad Baqir Shadr, 1984)
Dewasa ini terdapat dua corak yang paling menonjol dari demokrasi: corak kapitalis liberal dan sosialis. Apabila yang berkuasa adalah kaum kapitalis dan tuan tanah, meskipun mereka memperoleh kekuasaannya lewat pemilu yang dianggap demokratis, maka dapatlah menjadi indikator bahwa demokrasi tersebut merupakan demokrasi kapitalis liberal. Demokrasi semacam ini misalnya terjadi di Indonesia dewasa ini.
Di Indonesia untuk menjadi calon legislatif atau calon kepala pemerintahan, dalam praktiknya seseorang harus mengeluarkan biaya ekstra, baik untuk biaya administratif penentuan nomor urut maupun biaya promosi diri. Hal semacam itu hanya mampu dilakukan oleh kalangan yang memiliki modal.
Adapun demokrasi dengan corak sosialis merupakan dimensi demokrasi yang lebih dekat pada arti demokrasi sesungguhnya. Sebab demokrasi sejatinya bercorak sosialis. Corak sosialis indikatornya adalah kepentingan umum berada di atas kepentingan pribadi. Demokrasi semacam ini mulai bergeliat di kawasan Amerika Latin belakangan ini. Apabila program pemerintah selaras dengan aspirasi rakyat kebanyakan atau setidaknya tingkat deviasi yang tipis antara program pemerintah dengan kehendak umum rakyat mayoritas, maka itulah indikator berjalannya demokrasi yang sehat.
Sekarang tibalah saatnya kita bahas kapitalisme dan sosialisme sebagai faktor pembentuk corak demokrasi yang bekerja di dalam masyarakat. Hal ini berguna agar kita tidak keliru membaca demokrasi yang sungguh-sungguh bekerja di dalam masyarakat kontemporer.

Tinjauan Terhadap Kapitalisme dan Sosialisme
Seperti yang sempat penulis sebutkan sebelumnya, bahwa di dunia modern dewasa ini, terdapat dua asas masyarakat yang dominan membentuk kesadaran dan sejarah masyarakat kontemporer. Kedua asas tersebut adalah kapitalisme dan sosialisme. Penulis sengaja tidak akan mengupas komunisme. Sebab komunisme dapat dikatakan sebagai varian yang lebih ekstrem dari sosialisme. Komunisme sendiri merupakan proyeksi kemasyarakatan dari para pemikirnya untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas. Dalam kenyataannya, hampir tidak satu negara pun yang berhasil menerapkan asas komunisme secara konsisten.
Indonesia merupakan negara yang kaya dengan pergulatan dan dialektika pemikiran-pemikiran politik dan ekonomi, oleh karena tentu tidak terlepas dengan pengaruh kapitalisme dan sosialisme. Kedua paham politik dan ekonomi tersebut, memiliki penganut-penganut yang tidak sedikit jumlahnhya dan juga meninggalkan bekas-bekas pengaruhnya dalam berbagai lapangan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pernah dalam satu waktu (1959-1966), pemikiran sosialisme yang berbalut nasionalisme mendominasi falsafah kebijakan politik dan ekonomi Indonesia. Tapi pernah juga dalam waktu yang lebih lama (1966-sekarang), kapitalisme menjadi falsafah kebijakan dan praktik politik dan ekonomi Indonesia. Walaupun tampak silih berganti, bukan berarti kedua falsafah politik dan ekonomi tersebut, punah dari kesadaran masyarakat saat salah satu dari padanya berkuasa.
Yang mengherankan adalah mengapa seolah-olah tidak ada elternatif selain dari dua paham tersebut? Apakah perkembangan intelektual manusia untuk menemukan sistem yang tepat di dalam mengatur peri kehidupannya telah sampai di garis final seperti yang diyakini oleh Francis Fukuyama? Garis final itu adalah kemenangan kapitalisme atas sistem-sistem lainnya.
Sebelum beralih kepada pembahasan kemungkinan adanya sistem alternatif atas sistem kapitalisme maupun sosialisme, baiklah kita kupas dahulu masing-masing paham ini.

1. Kapitalisme
Kapitalisme pada hakikatnya adalah sistem perekonomian yang dibangun di atas pembebasan hawa nafsu dan secara terus menerus dilindungi baik oleh kekuasaan langsung para penganut kapitalisme itu juga melalui undang-undang yang dibuat oleh kekuasan mereka agar kapitalisme itu tetap berdiri dan terlembagakan dengan baik. Kapitalisme menciptakan kondisi yang terbaik bagi kenyamanan hidup elit-elit manusia yang rakus, zalim dan pincang hati. Pincang hati yang kita maksud adalah jika hatinya menyuarakan antara mengejar keuntungan sendiri dengan konsekwensi mengorbankan nasib orang lain atau tidak, ia lebih memilih untuk memenuhi kepentingan keuntungan pribadinya dan membiarkan mengorbankan nasib orang lain akibat pilihan tindakannya itu. Demikianlah misalnya dalam praktik hidup, tatkala seorang kapitalis dirundung masalah menurunnya omset perusahaannya akibat permintaan terhadap produk yang dihasilkannya menurun. Penurunan permintaan itu sendiri bukanlah karena salah karyawannya dan bukan pula karena salah alat-alat produksinya. Letak masalahnhya adalah semakin banyaknya pesaing yang bermain di bisnis yang sama sehingga persentase permintaan terhadap produknya semakin menurun.
Dalam situasi semacam ini, si kapitalis akan berpikir, antara mempertahankan keadaan yang ada dengan risiko keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan semakin merosot akibat keuntungan yang harus terbagi untuk biaya gaji karyawan dan perawatan alat-alat produksi atau melakukan tindakan efesiensi. Tindakan efesiensi ini sendiri bisa dalam bentuk merampingkan jumlah karyawan, mengurangi gaji mereka, bahkan yang ekstrem menutup perusahaannya sama sekali dan dipindahkan ke tempat yang lebih murah dan menguntungkan seperti gaya perusahaan-perusahaan Jepang akhir-akhir ini di Indonesia.
Sampai di sini biasanya si kapitalis jauh lebih sayang terhadap nasib perusahaannya ketimbang nasib karyawannya. Sebab perusahaannya itu tentulah merupakan bagian dari dirinya dan masa depannya. Adalah tidak masuk akal dalam realitas kontemporer terdapat perusahaan yang mempertahankan keadaan yang ada di saat ia mengalami penurunan omset akibat kelesuan permintaan atau pun biaya produksi yang semakin meningkat akibat, misalnya, harga BBM yang naik di pasaran. Kalau ada perusahaan yang bertindak semacam itu, tentulah perusahaan itu dibangun bukan di atas motif mencari keuntungan tetapi mungkin di atas motif menolong sesama (charity).
Hal yang lazim adalah motif mencari keuntungan dan dengan keuntungan itu diharapkan si kapitalis mendapatkan tambahan modal selain dari kredit yang diajukan kepada bank tertentu, untuk mengembangkan volume produksi dan juga untuk membuka perusahaan baru.
Nah dalam situasi pelik seperti yang dilukiskan di atas itu, hal yang lumrah dilakukan oleh si kapitalis adalah efesiensi. Efesiensi yang umum dilakukan oleh si kapitalis adalah perampingan tenaga kerja dalam bentuk PHK di dalam rangka menekan biaya produksi. Tetapi mengapa tindakan ini yang banyak dilakukan oleh si kapitalis? Mengapa bukan menurunkan pendapatan karyawan secara serentak tanpa pilih kasih dengan cara memotong tunjangan kesehatan, makan dan transfortasi? Atau juga mengurangi gaji elit-elit di perusahaan itu, seperti CEO, direktur utama, vice president, dan manager? Atau juga penghematan pada bahan baku dan biaya-biaya yang bersifat administratif? Atau juga menjual aset-aset perusahaan yang dapat dikapitalisasi untuk menutupi kekurangan pendapatan perusahaan?
Alasan masuk akal bagi si kapitalis lebih memilih tindakan mem-PHK tenaga kerjanya adalah karena tindakan itu lebih mudah dan menguntungkan bagi dirinya dan posisi tenaga kerja di hadapan si kapitalis berada dalam situasi yang lemah secara politik serta dalam sudut pandang si kapitalis, si tenaga kerja tidak lebih dari pada orang lain yang saling mengambil manfaat dalam hubungan ekonomi dan produksi dengan dirinya sebagai pemilik mutlak perusahaan. Sedangkan aset-aset perusahaan dan pejabat-pejabat perusahaan merupakan hal yang penting bagi kelanggengan kepentingan dirinya ketimbang tenaga-tenaga kerja tersebut. Dalam pikirannya, toh tenaga-tenaga kerja dapat direkrut setiap hari. Tidak sesulit merekrut para direktur yang mempunyai skill, kepemimpinan dan networking. Esensi dari semua itu adalah faktor egoisme yang menguasai sudut pandang si kapitalis. Pendeknya, beginilah sistem dan logika hidup perekonomian yang dibangun di atas dasar kapitalisme yang eksis dewasa ini.

Bencana-bencana Yang Tak Terelakkan dari Kapitalisme
Baqir Shadr mengingatkan terdapat lima bencana yang ditimbulkan akibat implementasi sistem kapitalisme dalam perekonomian sebuah negara.

· Memaksa berjuta-juta buruh untuk menganggur demi investasi suatu mesin baru yang mengakhiri pekerjaan mereka seperti yang terjadi pada masa revolusi industri di Eropa.
· Memaksa si kapitalis untuk menghancurkan sejumlah besar barang-barang hasil produksinya supaya ia dapat mempertahankan harganya dan memilih kemewahan dan pemborosan dengan mengorbankan kebutuhan orang-orang miskin.
· Mendorong si kapitalis untuk menumpuk kekayaannya menjadi suatu modal yang mendapatkan keuntungan berlipat ganda melalui riba, yang menyerap hasil kerja manusia tanpa berproduksi atau bekerja sendiri.
· Mendorong si kapitalis memborong barang-barang konsumsi dari pasar supaya dapat memonopoli dan menaikkan harga-harganya.
· Memaksa si kapitalis untuk membuka pasar-pasar baru, sekalipun dengan demikian kemerdekaan dan hak-hak berbagai bangsa akan diperkosa serta harga diri (dignity) dan kebebasannya dilumpuhkan.

Perkembangan Mutakhir Kapitalisme
Dewasa ini, perkembangan kapitalisme tidak saja semakin kompleks dan canggih tetapi juga semakin mengancam ketentraman hidup masyarakat. Integrasi sistem kapitalisme secara global telah mengaburkan batas-batas kedaulatan ekonomi setiap negara. Lalu lintas modal berjalan sedemikian kencang. Krisis finansial di AS secara langsung dapat merembet menjadi krisis serupa di Indonesia. Krisis finansial akibat praktik spekulatif di bursa saham setiap saat bisa saja terjadi tanpa ada satu otoritas pun yang mampu menghentikannya kecuali para kapitalis itu sendiri.
Kriris finansial di AS (2008) meledak akibat tidak terkendalinya praktik riba berantai untuk mengeruk untung yang sebesar-besarnya. Riba berantai ini secara sempurna dipraktikkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan bisnis subprime mortgage di AS. Mulai dari konsumen yang motifnya bukan untuk memakai rumah, tetapi untuk memperdagangkan harga yang sewaktu-waktu bisa turun naik, hingga keterlibatan lembaga bank investasi semacam Lehman Brothers.
Secara sederhana penjelasan modusnya sebagai berikut:
1. Penduduk Amerika Serikat dengan kredit rating yang relatif buruk membeli rumah melalui subprime mortgage. Terjadi transaksi individual antara peminjam dan pemberi mortgage (subprime lenders);
2. Subprime lenders mengumpulkan berbagai mortgage dan menjual sekumpulan mortgage tersebut kepada bank komersial. Bank komersial kemudian menjual sebagian portofolio mortgage tersebut kepada investment bank;.
3. Subprime mortgage itu bisa juga dikumpulan dan dikemas ulang dalam bentuk Mortgage-Backed Securitites – (MBS). MBS merupakan aset yang memiliki pendapatan: yaitu ketika peminjam mortgage membayar bunga mortgage dan ketika mereka melunasi hutangnya. Pendapatan ini bisa dipilah-pilah menjadi beberapa tranches dengan tingkat senioritas yang berbeda. Semua bunga dari peminjam mortgage pertama kali akan dibayar sebagai bunga kepada pemilik MBS dengan senioritas paling tinggi. Kalau ada sisa, baru pendapatan itu masuk ke pemilik dengan senioritas lebih rendah. Demikian seterusnya. Bisa dilihat bahwa semakin rendah tingkat senioritasnya, semakin tinggi resiko dari MBS ini. Karena resikonya yang paling rendah, maka MBS paling senior harganya juga paling mahal;
4. Rating agencies semacam Standard & Poor’s (S&P) memberikan rating terhadap MBS ini. Ternyata, rating AAA untuk MBS lebih besar resiko gagal bayarnya dibanding dengan surat hutang dengan rating AAA juga;
5. Beberapa MBS ini, bersama instrumen utang lainnya, kemudian dikemas ulang lagi menjadi Collateralized Debt Obligations (CDOs). Sama seperti MBS, CDO juga merupakan aset dengan berbagai sumber pendapatan: dari pendapatan MBS, dan dari pendapatan instrumen hutang lainnya. CDOs juga dipilah-pilah lagi menjadi beberapa tranches dengan tingkat senioritas yang berbeda. Diperkirakan ada 100 milyar dollar AS aset CDOs yang kalau dirunut balik dijamin oleh subprime mortgages (dari perkiraan total CDOs sebesar 375 milyar dollar AS);
6. CDOs ini kemudian dijual ke berbagai bank, perusahaan asuransi, hedge funds, reksa dana (mutual funds), dan lain-lain baik di Amerika Serikat maupun di luar. Jadilah resiko subprime mortgage tersebar ke mana-mana.

Tampak sekali pada perkembangan sistem kapitalisme mutakhir seperti yang ditunjukkan dalam kasus subprime mortgage, modal sungguh-sungguh tidak lagi riil berbasis aset. Modal dapat sewaktu-waktu dikonversi menjadi sebuah surat utang. Surat utang itulah yang kemudian diperdagangkan antar berbagai pihak. Praktik dagang surat utang ini dilakukan pula oleh negara Indonesia di dalam rangka membiayai operasi pembangunannya dengan apa yang dikenal dengan istilah Surat Utang Negara (SUN). Praktik semacam ini semata-mata mengejar selisih harga dari dagang surat utang tersebut. Inilah praktik kapitalisme mutakhir yang paling gila dan penuh dengan spekulasi. Agaknya dapatlah disebut wujud kapitalisme semacam ini sebagai kapitalisme derivatif—meminjam istilah praktik dagang di sektor keuangan.
Apabila kapitalisme asal mencari laba berdasarkan volume penjualan dan efesiensi modal kerja yang berwujud secara riil, maka kapitalisme derivatif mengincar laba dari bunga dan permainan pasar yang dapat distel turun naik oleh para kapitalis raksasa dengan wujud lembaran kertas yang diklaim berharga. Sesungguhnya yang diperdagangkan hanyalah ilusi dan risiko-risiko yang ukurannya spekulatif. Walhasil pasar finansial tidak ubahnya seperti permainan judi lotere. Sialnya,kapitalisme derivatif ini terkoneksi (interdependensi) secara global lewat mekanisme pasar modal di berbagai belahan dunia. Begitu pangkalannya (AS) mengalami guncangan, maka pos-pos operasinya di berbagai belahan dunia pun otomatis terpengaruh.
Tidak diragukan lagi, kapitalisme derivatif ini lebih batil dari kapitalisme asal. Sebab kapitalisme asal masih mencucurkan ”keringat” dan lebih jelas asal-usul pemilik dan penanggungjawabnya, sedangkan kapitalisme derivatif selain mewarisi dosa-dosa kapitalisme asal yang eksploitatif dalam operasi usahanya, juga mempermainkan nasib banyak orang di lantai judi bursa saham akibat pemilik dan penanggungjawab perusahaan dapat berpindah-pindah tangan sewaktu-waktu akibat jual-beli hak (saham). Lantai judi bursa saham dapat sewaktu-waktu membangkrutkan berbagai perusahaan akibat aksi agen perusak yang berkedok investor di mana dengan hal itu sekian banyak orang yang hidupnya bergantung pada perusahaan ikut menanggung bencananya.

Selubung-selubung Kapitalisme
Kapitalisme terbugkus dalam berbagai kedok. Misalnya, kedok kebebasan (freedom). Namun apabila diselami secara seksama, nyatalah bahwa aspirasi yang terkandung di dalamnya, tidak lain adalah kapitalisme.
Freedom, sekilas memang nilai yang mulia. Tetapi telah terbentuk pandangan bahwa freedom yang dimaksudkan adalah kebebasan untuk menyalurkan hasrat pribadi. Sesekali dan bahkan terlalu sering, freedom dijadikan landasan moral untuk melepaskan instink hewani (hawa nafsu) meskipun harus melanggar suara hati. Umpamanya, bagaimana orang melakukan hubungan seksual secara bebas atau peyimpangan seksual seperti yang berlangsung umum di negara-negara penganut kapitalisme. Perilaku hubungan seksual secara bebas (free sex) dan penyimpangan seksual seperti homoseks dan lesbian merupakan tindakan yang lebih didorong oleh instink hewani yang tidak terkendali demi memuaskan dorongan dari dalam dirinya dari pada didorong oleh suara hati yang mempertimbangkan kebaikan bersama dan tatakrama sebagai makhluk yang memiliki tangung jawab ibadiah yang melekat pada dirinya.
Bentuk-bentuk penerjemahan menyimpang dari asas freedom tersebut banyak sekali terdapat di dalam masyarakat. Terutama hal ini berlangsung kuat di kalangan remaja.
Remaja yang sedang mengalami peralihan jiwa, dari periode kanak-kanak ke periode dewasa, dan pada saat yang sama mulai mencari jati diri di tengah-tengah pengalaman hidup yang masih hijau dan tantangan lingkungan yang sangat dinamis yang belum sepenuhnya dikenali secara tuntas dan lengkap, jelas rentan sekali mengakibatkan penyelewengan penerjemahan freedom dalam kesadarannya. Freedom kadang-kadang dimaknai apabila berani menentang kehendak orang tua meskipun kehendak orang tua tersebut secara logis lebih dapat diterima, atau menentang norma-norma agama dan sosial yang berlaku, pun apabila berani menantang segala risiko fisik untuk menguji nyali dan kemampuan diri dalam berbagai aksi yang ekstrem yang dapat membahayakan keselamatan dirinya.
Penerjemahan freedom seperti ini masih tidak berubah dan tidak mengalami koreksi hingga hari ini di kalangan remaja. Hal ini sangat merusak dan merupakan lahan yang subur bagi berkembang biaknya semangat materialistik dan anti ketuhanan di tengah-tengah tunas masyarakat. Keadaan ini pulalah yang menjamin kelangsungan sistem kapitalisme maupun sosialisme yang dua-duanya bertumpu pada etika materialisme di dalam masyarakat.
Pemaknaan freedom yang membabi buta hingga menjadi lahan subur bagi berkembangnya dua cabang ideologi materialisme—kapitalisme dan sosialisme—dapat dijelaskan sebagai berikut: seorang remaja yang sepi dari kesadaran ketuhanan, dihadapkan pada pergaulan yang mendewakan asas dan aspirasi freedom (kebebasan), maka hanya ada dua kemungkinan pada perkembangan dirinya. Pertama, ia benar-benar bergumul intens dan menginternalisasi semangat freedom yang merupakan instink purba hewani dalam diri manusia hingga suatu ketika dalam perjalanan hidupnya, ia tersadar bahwa kenikmatan hidup yang ia peroleh berkat jasa freedom tersebut. Maka jelas ia akan melindungi asas freedom tersebut agar berkembang di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, pengalaman seperti ini terjadi pada para pengusaha yang tumbuh di atas asas free market. Atau seniman dan intelektual yang mendewakan kebebasan. Dan tipe orang semacam inilah yang merupakan pembela yang gigih terhadap kapitalisme.
Kedua, dilatari oleh penghayatan yang dalam terhadap arti kebebasan dalam hidup, tetapi pada satu waktu ia menemukan kontradiksi dalam perjalanan hidupnya hingga ia menyadari bahwa freedom dalam kehidupan yang nyata akan berujung pada kemenangan yang kuat atas yang lemah. Lalu kemudian ia merenung, untuk apa freedom kalau hasilnya demikian? Ia lalu mengoreksi pendiriannya, bahwa sekarang bukan freedom yang diperlukan sebab nanti yang kuat akan mengambil korban yang lemah demi mencapai freedom si yang kuat. Lantas? Kini yang dibutuhkan adalah menjamin agar freedom si lemah terlindungi. Tetapi bagaimana caranya? Si lemah harus bersatu untuk mengalahkan ancaman laten eksploitatif dari yang kuat di dalam rangka mencapai tujuan freedomnya. Wahasil dalam pandangan semacam ini, karena dua-duanya didasarkan pada motif hasrat hewani berupa usaha untuk memuaskan dahaga kehidupan masing-masing, berlakulah pertentangan abadi antara dua kelompok: kelompok kuat versus kelompok lemah. Inilah yang mendasari pertentangan abadi antar kelas seperti yang disinyalir oleh Karl Marx. Lalu apakah ada jalan keluar?
Jalan keluar bagi penganut marxisme adalalah dengan menggulung kelas berkuasa (borguis) oleh persatuan kelas tertindas (proletar). Berdirinya kekuasaan kelas proletar di dalam negara adalah jalan keluar satu-satunya. Untuk mencapai tujuan itu, jalan revolusi merupakan metode yang tak terhindarkan. Namun dalam kenyataannya, berdirinya kekuasaan kelas proletar tidak menjamin tercapainya kebahagian dan kesejahteraan hidup kelas tertindas tersebut. Yang riil berkuasa hanyalah pejabat-pejabat partai, sementara rakyat kembali terperangkap dalam ketertindasan baru oleh sebuah partai tunggal yang sangat hegemonik. Pengalaman Rusia di masa Uni Sovyet telah membuktikannya.
Lalu adakah jalan keluar lain? Tentu. Jalan keluar yang hakiki hanya bisa diperoleh bilamana berhasil keluar dari reasoning terdalam pembentukan kelas tersebut, yaitu kriteria hidup. Kriteria hidup yang dimaksud adalah ukuran-ukuran etik dalam pencapaian kemajuan kualitas hidup. Sampai dimana sesungguhnya batas kualitas hidup yang hendak dicapai? Hidup, apakah benar untuk memuaskan instink hewani semata, seperti cukup makan, kenyamanan tempat tinggal dan sejenisnya? Dimanakah seharusnya kita letakkan instink hewani dalam proses pengaturan hidup kita? Apakah ia diletakkan sebagai dasar utama sekaligus tujuan utama di dalam mengembangkan peradaban manusia?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak pernah diungkapkan baik oleh sudut pandang kapitalisme maupun sosialisme hingga komunisme. Sebab kedua paham tersebut berhenti pada kepercayaan bahwa yang dimaksud kebutuhan manusia yaitu kebutuhan materi. Dengan demikian kedua paham tersebut sedari awal di tingkat paradigmatik telah menjatuhkan martabat manusia sebagai makhluk pengejar materi semata.
Kesalahan paradigmatik dalam hal memandang manusia inilah yang menjadi akar cacatnya peradaban yang dibangun oleh kedua paham tersebut dewasa ini. Sosok peradaban yang dihadirkan oleh Barat dan kemudian dicangkok oleh bangsa-bangsa lain di seluruh dunia hanya merupakan sesosok peradaban yang agresif terhadap materi. Sosoknya laksana Qabil dalam riwayat Qabil dan Habil anak turunan Nabi Adam.

2. Sosialisme
Ide dasar sosialisme yang paling utama adalah pelaziman peranan negara sebagai pemilik, perancang dan pengelola sektor-sektor ekonomi yang berkaitan dengan sumber-sumber hajat hidup orang banyak. Satu hal yang banyak dilupakan orang bahwa ide sosialisme sesungguhnya sudah berkembang maju ribuan tahun yang lampau. Orang banyak mengira bahwa ide sosialisme murni lahir dari rahim peradaban Barat sebagai reaksi atas kapitalisme. Para penganut marxisme juga meyakini bahwa sosialisme hanya mungkin terjadi apabila basis struktur mencukupi syarat seperti adanya kelas buruh yang berhadap-hadapan dengan kelas kapitalis akibat pola hubungan kerja industrial modern yang mengandalkan mesin. Padahal Woo-Di, kaisar Cina yang terbesar dari Dinasti Han, telah mempraktikkan sosialisme pada masa sekitar tahun 140-87 SM. Ia menjadikan seluruh sumber-sumber alam sebagai kekayaan bangsa. Selain itu ia pun menasionalisasi industri-industri pembuatan garam, pertambangan besi dan pembuatan anggur, untuk mengakhiri kekuasaan para pedagang dan kaki tangannya.
Ia mendirikan sistem transfortasi dan pertukaran barang di bawah pengawasan negara, yang dengan cara itu ia berusaha mengontrol perdagangan untuk memungkinkan dia menghindari perubahan-perubahan harga yang mendadak. Para karyawan negara sendiri mengangkut dan menyerahkan barang-barang kepada para pemilik masing-masing di seluruh negara, dan pemerintah sendiri menyimpan barang-barang kebutuhan rakyat yang tersisa, menjualnya apabila harga naik melampaui batas harga yang telah ditetapkan dan membelinya apabila harga-harga menurun. Ia mendirikan lembaga-lembaga umum yang besar untuk menciptakan pekerjaan bagi jutaan orang yang tidak dapat diserap oleh industri-industri swasta.
Selain Woo-Di, terdapat tokoh lain bernama Wang Mang yang hidup pada permulaan zaman Masehi. Tatkala Wang Mang naik tahta, ia antusias pada ide-ide untuk membebaskan budak-budak dan megakhiri perbudakan maupun feodalisme, tepat sebagaimana keyakinan orang-orang Eropa dengan tindakan-tindakan mereka pada permulaan zaman kapitalis. Ia membebaskan perbudakan, mengambil tanah dari kelas feodal, menasionalisasi tanah-tanah yang dapat ditanami dan membagi-bagikannya di kalangan para petani, melarang pembelian atau penjualan tanah untuk menghindarkan pemilikan kembali. Ia juga menasionalisasi tambang-tambang serta sebagian dari industri-industri yang besar.
Maka dapatkah dikatakan bahwa Wo-Di atau Wang Mang mengambil inspirasi sosial serta sikap politik mereka dari tenaga uap, listrik atau atom, kekuatan-kekuatan yang dipandang oleh Marxisme sebagai dasar-dasar pemikiran sosial (basis struktur)? Atau dalam kata lain, mengapa basis struktur dan mode of production yang berbeda pada masa Woo-Di atau Wang Mang dengan masa Karl Marx dan sesudahnya justru melahirkan suprastruktur (umpamanya, sikap politik) yang sama? Di mana kebenaran hukum Karl Marx yang menyatakan basis struktur dan mode of production menentukan suprastruktur sebuah masyarakat pada kasus Woo-Di atau pun Wang Mang?
Terlepas dari kritik di atas, Islam pun sesungguhnya pada batas-batas tertentu lebih dekat kepada ide sosialisme ketimbang kapitalisme. Islam sejalan dengan sosialisme yang menentang keras sistem kapitalisme. Sebab sistem kapitalisme yang mengizinkan beredarnya kekayaan pada segelintir orang, bertolak belakang secara diametral dengan diktum Islam sendiri yang menyatakan: agar supaya harta jangan beredar di lingkaran orang-orang kaya (likayla takuunu dauratan bainal aghniya).
Bahkan dalam praktik historis pengelolaan perekonomian di pasar, Islam memperkenalkan lembaga hisbah hal mana bagi kapitalisme pasar merupakan area suci dari intervensi negara. Tugas spesifik hisbah adalah mengawasi berbagai kegiatan ekonomi di pasar, menjaga mekanisme pasar berjalan normal dan tidak terdistorsi, dan melakukan tindakan korektif ketika terjadi distorsi pasar. Rasulullah sendiri adalah muhtasib (petugas hisbah) pertama dalam Islam. Dalam sebuah riwayat diceritakan, pernah suatu hari Rasul berjalan ke pasar dan menghampiri penjual makanan, beliau lalu memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan, beliau terkejut mendapati tangannya basah, dan berkata: ”Apa ini wahai penjual makanan?”, penjual itu menjawab: ”makanan itu terkena hujan ya Rasulullah.” Beliau berkata: ”Mengapa tidak kamu letakkan di atas, agar bisa dilihat orang. Barang siapa menipu maka ia bukan dari golongan kami!” (Riwayat Muslim) (Isefid Review, vol.2, Nomor 1 Tahun 1424 H/2003 M, hlm. 61).
Sosialisme dalam sejarah praktiknya memang tidak luput dari kekurangan. Di antara yang menonjol dari kekuarangan sistem ini hilangnya aspek kebebasan individu akibat semakin dominannya aspek komunalisme. Dan pada titik tertentu, sistem ini rentan sekali jatuh menjadi sistem diktator oleh karena usaha konsolidasi kekuasaan secara berlebihan dari para pemimpinnya. Pengalaman di Rusia di masa Stalin menunjukkan hal ini. Lalu, apakah akibat praktik sosialisme ini yang berujung pada terancamnya kebebasan individu—apabila dapat dikatakan demikian—merupakan dampak yang tak terhindarkan dari sistem sosialisme? Apabila memang demikian halnya, maka manakah yang prioritas menjamin kebebasan individu atau mengutamakan kepentingan umum (rakyat)?
Demokrasi liberal yang banyak dianut negara-negara kapitalis telah memilih prioritas kebebasan individu di atas segala-galanya. Di atas landasan kebebasan individu itulah dibangun kepentingan umum. Oleh karena itu, pertama-tama negara menjamin dan memfasilitasi kebebasan individu lalu dengan itu dianggap dengan sendirinya akan tercipta keseimbangan di dalam masyarakat. Paradigmanya adalah apabila kebebasan individu terjamin, maka sudah barang pasti kepentingan umum akan tercipta dengan mantap. Kebebasan individu membuka jalan kemajuan dan kreativitas-kreativitas yang dapat memicu dan memacu pertumbuhan, tidak saja dalam wilayah budaya politik, termasuk wilayah ekonomi.
Karena itulah, negara yang menganut demokrasi liberal menjamin kebebasan berekonomi warganya dengan mengijinkan seluas-luasnya hak kepemilikan terhadap aset-aset hingga aset-aset strategis sekalipun dan juga membiarkan mekanisme pasar bebas sebagai penentu aturan main di dalam kompetisi di bidang perekonomian. Kehadiran negara lebih berfungsi sebagai fasilitator dan regulator pada aspek-aspek terbatas saja yang tidak sampai mengganggu kelangsungan mekanisme pasar bebas tersebut.
Perdebatan batas-batas peran negara dalam wacana demokrasi liberal dengan sosialisme amatlah panjang. Menurut hemat penulis, masalah mana yang terbaik, sistem sosialisme atau demokrasi liberal yang menaungi kapitalisme, tergantung perkembangan tipikal dari masyarakat dan negara yang bersangkutan. Masyarakat atau negara dengan komponen kelas menengahnya yang berbentuk gelas piala dimana kelas menengahnya berjumlah sangat besar, tentulah demokrasi liberal lebih relevan untuk diterapkan. Sebab masyarakat atau negara dengan tipologi semacam itu, tidak lagi membutuhkan secara mendesak kesetaraan ekonomi (demokrasi ekonomi), sebab secara ekonomi, pencapaian kemakmuran relatif lebih merata. Yang dibutuhkan adalah kesetaraan politik (demokrasi politik). Sedangkan masyarakat atau negara dengan komponen masyarakatnya yang berbentuk piramid dimana kelas bawahnya sangat besar sementara kelas menengahnya tidak signifikan, tentu saja sistem sosialisme yang berusaha mengimplementasikan demokrasi ekonomi sangat dibutuhkan.
Kasus Indonesia di mana kelas menengahnya tidak terlalu signifikan dan kelas bawahnya amat besar, maka wacana sistem sosialisme dan optimalisasi peranan negara tentulah masih sangat dinantikan. Di era Orde Baru, peranan negara yang besar memang sudah terjadi. Akan tetapi peranan negara tersebut menyimpang dari cita-cita sosialisme Indonesia. Negara yang diperkuda oleh militer lebih tampak melayani kepentingan elit pemerintahan dan bertindak sebagai komprador dari kepentingan kapitalisme. Maka amat wajar, meskipun peranan negara begitu kuat di era Orde Baru, tetapi aspek pemerataan ekonomi tidak terjadi sama sekali. Negara sibuk mengamankan strategi pertumbuhan ekonomi dengan menggandeng konglomerat-konglemerat binaan rezim di masa itu. Sementara kelas bawah sama sekali tidak mengalami emansipasi ekonomi dan politik.
Sekarang setelah era kediktatoran militer tersebut berakhir, Indonesia langsung menerapkan sistem demokrasi liberal. Demokrasi liberal sama sekali tidak beresonansi positif dengan problem kemiskinan kelas bawah yang masih berlanjut. Demokrasi liberal lebih banyak dinikmati oleh elit-elit lama dan yang baru muncul dikarenakan kekuatan finansial dan jaringan politik yang mereka miliki. Sejak Orde Baru hingga dewasa ini (satu dekade Reformasi), yang menikmati dan memainkan negara terbatas pada kaum elit semata. Perubahan sistem yang diharapkan berefek terjadinya emansipasi yang luas di kalangan kelas bawah sama sekali tidak terjadi.
Oleh karena itu, sesungguhnya amat sulit merelevansikan kasus Indonesia dalam perdebatan antara memilih jalan sosialisme atau kapitalisme. Sebab penerapan sosialisme belum sempat selesai, tiba-tiba diinterupsi secara paksa oleh rezim militer yang kemudian membelokkan jalan sejarah dari sosialisme Indonesia menjadi kapitalisme tangan besi.
Dewasa ini, kebutuhan Indonesia sesungguhnya belum kunjung berubah sejak pertama kali Indonesia diproklamasikan. Kebutuhan itu adalah emansipasi ekonomi dan politik secara luas yang berlangsung pada kelas bawah yang mayoritas. Hemat saya, karena tujuan itulah negara ini didirikan dengan cara bahu-membahu oleh para pemimpin yang beragam latar belakang kepercayaan dan aliran politik di masa silam. Jadi, tujuan mereka sesungguhnya belum kunjung tercapai hingga hari ini.
Jika Indonesia hendak mengevaluasi jalan sosialisme, pertanyaannya, bagaimana mungkin Indonesia dapat melakukannya sementara implementasi sistem sosialisme belum pernah secara tuntas dan utuh dilaksanakan. Demikian pun, jika Indonesia bermaksud mengevaluasi kapitalisme, pertanyaan yang sama akan muncul, bagaimana mungkin Indonesia berhak melakukannya sementara implementasi kapitalisme belum pernah secara utuh dan tuntas diterapkan. Yang dapat penulis katakan, kapitalisme di masa Orde Baru bukanlah kapitalisme yang sebenarnya, sebab tidak ada mekanisme pasar bebas yang menentukan dinamika ekonomi. Barangkali, baru beberapa tahun belakangan ini saja selepas reformasi Indonesia tanpa banyak disadari mulai bergerak pelan-pelan menuju sistem kapitalisme yang mencoba menerapkan mekanisme pasar bebas. Yang jelas, jalan semacam ini di tengah belum terbebasnya kelas bawah mayoritas dari jeratan kemiskinan, sudah barang tentu merupakan jalan yang sesat bagi arah sejarah Indonesia. Di kemudian hari dengan segera kita akan menyaksikan mayoritas warga kelas bawah akan menjadi budak-budak dari bangsa lain dan bangsa sendiri akibat kemiskinan sistemik yang mendera kehidupan mereka.
Keluar dari konteks Indonesia, perdebatan antara pilihan jalan sosialisme dengan liberalisme-kapitalisme tampaknya tidak mengalami kemajuan yang berarti. Satu waktu, sosialisme lebih menonjol sebagai acuan, pada waktu yang lain liberalisme-kapitalisme mengemuka sebagai acuan. Di saat-saat negara diterpa krisis ekonomi, orang kembali menoleh kepada jalan sosialisme. Tetapi pada saat krisis itu telah reda dan kehidupan ekonomi sudah kembali normal, orang menuntut agar negara menyingkir dari area pasar.
Pada masa resesi (1930-1940-an), konsepsi ekonomi berupa negara kesejahteraan dari John Maynard Keynes yang mempunyai roh sosialisme yang kental, menjadi jalan keluar. Namun setelah itu, orang kembali mengkritik relevansi konsepsi tersebut terhadap keadaan mutakhir.
Pada awal tahun 1970-an, pemikiran ekonomi liberal mengajukan sebuah kritik terhadap negara kesejahteraannya Keynesian dan kritik ini telah diringkaskan dengan amat baik oleh Pierson kepada empat elemen berikut. Yang pertama, konsep negara kesejahteraan itu bersifat tak ekonomis karena menggantikan proses alami dan insentif-insentif yang diperlukan pasar dan mengganggu insentif kapital untuk berinvestasi dan insentif tenaga kerja untuk bekerja. Yang kedua, konsep tersebut tak produktif karena mendorong semakin cepatnya pertumbuhan birokrasi publik dan memaksa sumber kapital dan sumber daya manusia keluar dari sektor ekonomi yang bersifat privat. Pada saat yang bersamaan, monopoli pengelolaan tunjangan negara kesejahteraan telah memungkinkan pekerja-pekerja dalam sektor publik untuk meningkatkan upah inflasionernya. Yang ketiga, konsep itu dianggap sebagai tak efesien karena monopoli negara atas pengelolaan tunjangan tersebut dan pemberian dukungan terhadap kepentingan-kepentingan khusus serikat-serikat buruh telah menyebabkan tak efesiennya pelayanan jasa, dan sistem akan bergerak ke arah kepentingan-kepentingan produsen yang terorganisir ketimbang konsumen. Hal ini dikarenakan tak adanya proses alami pasar. Yang keempat, konsep itu juga dicela sebagai tak efektif karena gagal untuk menghapuskan kemiskinan dan kepapaan, meskipun sumber daya yang ada telah dialokasikan untuk kesejahteraan.
Walhasil banyak negara meninggalkan konsep negara kesejahteraan model Keynesian dan beralih pada sistem ekonomi yang menganut neo liberalisme. Namun nyatanta neo liberalisme hanya bertahan sebentar, dan sekarang dengan munculnya krisis keuangan global yang bermula dari Amerika Serikat, tiba-tiba disiplin terhadap paham neo liberalisme yang ”mengharamkan” negara turut campur dalam area pasar dengan serta-merta ditinggalkan. Amerika Serikat sendiri menggunakan sumber daya negara untuk menalangi perusahaan-perusahaan yang bangkrut akibat krisis finansisal. Dengan demikian sesungguhnya neo liberalisme telah berakhir dewasa ini, tetapi tetap terbuka kemungkinan untuk kembali.
Melihat hal itu, sangat aneh kenyataan yang diperoleh bahwa seakan-akan hanya ada dua pilihan secara siklikal: antara sosialisme atau liberalisme-kapitalisme. Apakah benar demikian? Tidak adakah alternatif dari keduanya?
Walhasil sekarang kita mendapati kekurang mantapan ideologi-ideologi yang berpengaruh besar terhadap situasi hari ini. Hal ini tidak saja pada liberalisme-kapitalisme tetapi juga pada Marxisme. Sebabnya adalah perubahan-perubahan sosial-ekonomi-politik yang terjadi di kemudian hari yang tidak terpotret secara utuh oleh penggagasnya sewaktu ideologi tersebut diciptakan. Barangkali inilah kelemahan mendasar dari sebuah ideologi yang diciptakan oleh manusia yang tidak terbebas dari ruang dan waktu. Teori Marxis misalnya, dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada kelas buruh kontemporer, teori ini telah mengalami kesulitan di dalam upaya membasiskan teorinya sebagai sebuah kekuatan dan sentimen politik yang menjanjikan di hadapan masyarakat.
Kita ketahui, teori Marxis sangat bergantung dengan keadaan kelas buruh sebagai basis teorinya. Padahal kelas buruh industrial di sektor manufaktur lama-kelamaan semakin menipis digantikan oleh sektor jasa dan penghasil pengetahuan. Tentu saja watak buruh pada dua sektor yang disebut belakangan sangat berbeda dengan buruh yang bekerja di sektor manufaktur. Selain itu pun, sistem paruh waktu dan kemajuan kualitas independensi buruh melahirkan watak politik kaum buruh kontemporer berbeda jauh dari watak politik kaum buruh pada penghujung abad 19 dan awal abad 20. Dengan demikian ikatan politik berbasiskan sentimen kelas buruh dewasa ini menghadapi tantangan dari basis struktur buruh itu sendiri.
Hal inilah mengapa dapat dipahami apa yang diucapkan oleh Eric Hobsbawm pada tahun 1978 di dalam Marxisme Today berjudul The Forward March of Labour Waited, seorang anggota Partai Komunis yang memiliki reputasi internasional:
Kita tak bisa lagi bergantung pada sebuah bentuk sederhana dari paham determinisme historis untuk membangkitkan gerak maju dari buruh Inggris yang telah mulai terhuyung-huyung tiga puluh tahun yang lalu...[Jika] gerakan buruh dan sosialis ingin memulihkan jiwanya, dinamikanya, dan prakarsa historisnya, maka kita sebagai Marxis harus melakukan apa yang pasti akan dilakukan oleh Marx: yaitu memahami situasi baru dimana kita berada saat ini, menganalisanya secara realistis dan kongkret, menganalisa pola-pola, baik yang bersifat historis maupun yang lainnya, yang menyebabkan kegagalan-kegagalan dan keberhasilan-keberhasilan gerakan buruh, dan untuk merumuskan bukan hanya apa yang ingin kita lakukan, namun juga apa yang harus dilakukan.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa dewasa ini tersedia tantangan untuk mengajukan tesis-tesis dan teori-teori ekonomi politik yang lebih kaya dan banyak lagi di samping kedua narasi besar di atas yang telah bercokol berabad-abad lamanya dalam kesadaran politik berbagai bangsa di dunia.






































BAB III
Tujuan Spritual Pembinaan Sebuah Negara

Gagalnya atau dalam kata lain kekurang mantapan sistem liberalisme-kapitalisme dan saingannya sistem sosialisme di dalam mewujudkan pembinaan negara yang ideal, hal itu disebabkan luputnya wacana tujuan spritual dari pembentukan negara. Tujuan spritual yang penulis maksudkan dalam tulisan ini bukanlah spritual dalam pengertian Andre Comte Sponville yang menulis tentang kemungkinan spritual tanpa Tuhan, atau pun spritual seperti yang dipahami oleh penganut kebatinan. Spritual yang dimaksud adalah spritual dalam pengertian agama Islam. Konsep spritual Islam memahami bahwa kehidupan sepenuhnya didedikasikan kepada Tuhan. Wujud dedikasi kepada Tuhan itu adalah mewarnai dan mengelola karunianya baik yang ada di bumi, lautan maupun angkasa dalam koridor dan batas-batas yang telah digariskannya pada aturan-aturan yang diwahyukan-Nya melalui kitab yang terjaga, Al-Quran. Di dalam Al-Quran terdapat aturan-aturan dan prinsip-prinsip pengelolaan karunia Tuhan agar tetap memberi berkah dan kemaslahatan yang berkelanjutan untuk umat manusia. Tentu saja sangat dilarang untuk melampaui batas-batas eksploitasi dan penimbunan untuk kepuasan egoistik orang per orang. Justru yang dianjurkan adalah berbagi atas karunia Tuhan dan terus memacu kreativitas dan inovasi sebagai bentuk tanda syukur kepada Sang Pemilik Mutlak karunia tersebut.
Pembentukan negara dalam wacana sistem liberaisme-kapitalisme maupun sistem sosialisme melulu hanya melingkar pada persoalan pemenuhan kesejahteraan material warga negara. Kalau pun ada wacana pemenuhan kebutuhan spritual warga negara, hanya menjadi tujuan komplementer atau bahkan derivat saja, bukan sebagai tema utama. Dan pada praktiknya demikianlah yang terjadi pada kedua sistem tersebut. Kedua sistem itu berpadu dalam satu pendapat bahwa soal spritual bukanlah urusan negara, tetapi merupakan urusan pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh negara. Bahkan moralitas liberalisme-kapitalisme menyatakan bahwa haram hukumnya negara membawa urusan spritualilitas menjadi persoalan kenegaraan. Sementara komunisme sebagai varian yang lebih keras dari sosialisme bahkan memandang negatif spritualitas tersebut. Spritualitas bagi pandangan komunisme hanya akan menyuburkan feodalisme dan kapitalisme saja di dalam masyarakat.
Memang ada benarnya pandangan liberalisme-kapitalisme maupun komunisme tersebut dalam konteks peradaban Barat. Seperti yang sudah diulas dalam halaman sebelumnya, spritualitas dalam praktik seperti yang diterapkan geraja pada abad pertengahan, memanglah sangat buruk dan meninggalkan trauma yang mendalam dalam memori peradaban Barat kontemporer. Akan tetapi, spritualitas dalam praktik di Barat tersebut tidak seharusnya menjadi acuan bagi negara-negara yang baru tumbuh di dunia Timur, terutama dunia Islam. Sebab dunia Timur tidak pernah mengalami praktik buruk spritualitas seperti yang tejadi di dunia Barat. Bahkan spritualitas telah menjadi penolong yang besar bagi usaha pengobaran semangat perlawanan di kalangan rakyat terhadap usaha pengusiran penjajahan Barat di dunia Timur di masa yang baru saja lewat. Hal ini berarti, pengalaman dan penerjemahan Barat dan Timur terkait spritualitas memanglah berbeda.
Berangkat dari kepincangan wacana tujuan negara dalam sistem liberalisme-kapitalisme maupun sosialisme tersebut, membawa konsekwensi yang fatal dalam dinamika manajemen kenegaraan. Mengambil salah satu pilihan dari sistem tersebut (liberalisme-kapitalisme atau sosialisme) telah terbayang risiko-risiko yang akan diakibatkannya. Jika sistem liberalisme-kapitalisme yang diambil, telah terbayang munculnya elit-elit ekonomi swasta yang akan segera menelan sumber daya alam dan memarjinalkan sebagian besar warga negara dan tinggal menunggu waktu, negara pun akan menjadi korban berikutnya oleh elit-elit ekonomi yang tidak puas-puas akan kekayaan tersebut. Tetapi persaingan memperebutkan pasar yang dianggap sebagai motor kemajuan antar sesama warga memang dapat berjalan, walaupun pada akhirnya persaingan itu segera berubah menjadi hukum rimba: siapa yang kuat dialah yang akan berkuasa. Sebaliknya jika sosialisme yang akan diambil untuk diterapkan, telah terbayang pula elit-elit pejabat pemerintah yang bertindak mempersonifikasi negara sebagai dirinya (korup) dan pada saat yang sama terlihat warga yang malas untuk berpacu memperbaiki nasib akibat moral hazard yang melanda mereka di mana mereka berpikir bekerja keras atau tidak tetap saja akan mendapatkan subsidi dari negara.
Apabila hendak membina negara yang tidak akan dihadapkan pada musibah-musibah kronis seperti yang dialami dunia kontemporer, umpamanya perang memperebutkan pasar, kebejatan moral sebagai konsumsi dan komodifikasi (kapitalisme), pemimpin diktator dan korup, kebebasan sejati dan martabat kemanusiaan diinjak-injak (sosialisme dan komunisme), maka sudah sepatutnya mendudukkan kembali tujuan spritual sebagai kerangka utama pendirian dan pembinaan sebuah negara, bukan tujuan spritual sebagai komplementer atau derivat dari tujuan kesejahteraan materialistik negara seperti yang banyak dipraktikkan dewasa ini.
Tujuan spritual yang dimaksud adalah membawa warga negara menjadi insan yang menyadari tujuan penciptaannya di muka bumi ini. Sebab dewasa ini, yang menjadi dasar peliknya masalah sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya dan aspek-aspek lainnya adalah alpanya tujuan spritual tersebut dari keseluruhan aspek tersebut. Adalah pantas negara mengambil peran pendorong dan pembudaya bagi bersemi dan berkembangnya kesadaran kolektif spritual seperti yang diungkapkan di atas. Dan tujuan spritual itu hendaknya menjadi kerangka etik dan sentral filosofi kebijakan publik bagi negara. Tidak sepantasnya warga dibiarkan liar mencari jalan spritualnya dengan dalih kebebasan warga negara.
Persoalan kesejahteraan material warga tentu tidak ditinggalkan dari tujuan negara, tetapi diletakkan dalam bingkai tujuan spritual negara. Sebab kesejahteraan material yang tidak dibingkai dalam tujuan spritual hanya akan melahirkan kehausan kesejahteraan yang tidak habis-habisnya. Kesejahteraan material yang tidak dibingkai dalam tujuan spritual selamanya akan bersifat relatif (tergantung subjektivitas orang per orang) dan pada akhirnya jatuh menjadi konflik kepentingan untuk memperebutkan kesejahteraan material antar sesama warga. Karena pada dasarnya, kebutuhan kesejahteraan material tidak pernah cukup-cukup apabila lepas dari kerangka spritual.
Ada baiknya dapat direnungkan bait-bait syair dari Rabiah Al Adawiyah berikut. Inilah ekspresi spritual yang mendalam yang sejiwa dengan apa yang penulis maksudkan dari tujuan spritual tersebut.

Tuhan
Apapun karunia-Mu
Untukku di dunia
Ibahkan pada musuh-musuh-Mu
Dan apapun karunia-Mu
Untukku di akhirat
Persembahkan pada sahabat
Sahabat-Mu
O bagiku cukuplah Engkau
O bagiku cukuplah Engkau

Bila sujudku pada-Mu
Karena takut neraka
Bakar aku dengan apinya

Bila sujudku pada-Mu
Karena damba surga
Tutup untukku surga itu
Hooi

Namun bila sujudku
Demi Kau semata
Jangan palingkan wajah-Mu
Aku rindu menatap keindahan-Mu
Aku rindu menatap keindahan-Mu






















LAMPIRAN

Rukun Islam Membawa Pesan Gerakan Pembebasan Sejati[1]

Bismillahirahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Salawat dan salam kepada Nabi Muhamad Saw yang mengajari kita untuk dapat menjadi hamba yang pantas di hadapan Allah SWT.
Yth jajaran MSO, Sekjen, Ketua-ketua PB HMI, Ketua-ketua Badko, dan seluruh staff PB HMI
Yth Ketua-ketua Cabang seluruh Indonesia
Yth Kader-kader HMI
Yth SC dan OC yang bekerja keras menyukseskan acara ini

Ijinkanlah saya pada kesempatan ini menyampaikan pikiran-pikiran yang sederhana. Jika pikiran-pikiran ini dimengerti sebagai sesuatu yang tidak berkenan, maafkanlah dan maklumilah, karena hal itu merupakan keterbatasan saya sebagai hamba yang daif. Tetapi jika buah pikiran ini dirasa sebagai yang dinantikan, maka sambutlah dan bantulah untuk menanamkan kembali buah pikiran ini dan kemudian bersama-sama kita rawat dan sirami agar kelak berkembang di kebun-kebun pemikiran yang akan kita bangun.
Sebab belakangan ini, dalam situasi yang serba hiruk-pikuk, kita berada seolah-olah berada di tengah gerombolan kafilah besar yang sedang menuju entah ke arah mana. Sedangkan orang-orang terkemuka dari kita saling bersaing dengan sengit ingin tampil sebagai pemimpin di depan yang menunjuki arah perjalanan panjang kita sebagai kafilah yang letih. Ironisnya para terkemuka yang berebut memimpin itu, dia sendiri tidak mengerti hendak kemana seharusnya kafilah besar ini diarahkan. Ia hanya berpuas diri dengan menduduki unta terdepan sebagai pusat kendali perjalanan. Lain dari itu, tidak ada sama sekali. Lantas, bagaimanakah nasib kita dan orang-orang banyak yang berada dalam kafilah itu, jika komando dan kompas perjalanan berada di genggaman tangan pemimpin-pemimpin yang hanya mengejar kedudukan semata dan melupakan nasib kafilah yang sedang terlempar dalam ketidakpastian arah perjalanan?
Pada kesempatan yang berharga ini, saya bermaksud menyampaikan buah pikiran yang relevan dengan apa yang baru saja saya gambarkan di atas.
Hadirin yang saya hormati,
Dewasa ini, karena begitu gelapnya keadaan, kita sudah sulit berhasil untuk melihat secara jernih keadaan sekeliling kita dengan mata yang jernih, apalagi jika untuk menilai dengan benar keadaan dan memberikan pemecahan-pemecahan yang konkret. Sejumlah teori sosial, ekonomi, politik dan budaya yang dikoleksi oleh lembaga-lembaga ilmiah kita, saat dipergunakan sebagai pisau operasi, tampak tidak mampu mengangkat “tumor sosial” yang sudah kronis menggerogoti “tubuh sosial” kita.
“Tumor sosial” yang menggerogoti “tubuh sosial” kita telah membuat kita tidak berdaya. Tumor itu adalah pertentangan-pertentangan yang saling mematikan di antara kita hanya karena hasrat materialistik yang begitu parah bercokol dalam pemikiran dan perilaku kita. Sialnya, pertentangan karena hasrat materialistik ini telah pula kita lembagakan dalam institusi-institusi yang kita dirikan di atas justifikasi yang seolah-olah intelektual dan bermoral: Kebebasan dan Demokrasi. Kedua mantra ini telah mencekam pemikiran separuh sadar kita dan telah mendorong kita bertindak untuk menjadi patriot dan pahlawan yang siap mati membela kedua mantra yang membius ini. Saya tentu tidak dalam posisi anti demokrasi dan kebebasan secara subtansial, tetapi anti terhadap ketololan kita mempertuhankan kedua mantra ini.
Saya tidak yakin bahwa masalah-masalah akut dan carut-marut yang kita hadapi murni merupakan gejala sejarah alamiah yang timbul dan tumbuh begitu saja melingkupi perkembangan sosial kita. Saya penganut paham bahwa dunia yang kita hadapi dan alami merupakan hasil usaha dan rekayasa manusia. Persoalannya, rekayasa siapa yang paling kuat, maka rekayasa itu pulalah yang akan eksis dan memimpin. Terkadang, yang benar belum tentu menang dalam satu waktu, tetapi yang benar itu tentu berpotensi untuk menggulung yang salah meskipun untuk suatu saat ia tertindas. Ide dan isme-isme yang kita anut dewasa ini, belum tentu benar, akan tetapi karena mendapat dukungan kuat, ia pun eksis menjadi penata dan pengatur kehidupan sosial politik kita. Sehingga saya begitu heran melihat banyak orang begitu naif memercayai adanya gagasan the end of history dimana kapitalisme menjadi pamungkas sejarah gagasan pengaturan masyarakat dewasa ini. Bagaimana mungkin hal itu dapat dipercayai, sementara kita sendiri percaya bahwa masyarakat tidak pernah statis dan gagasan akan senantiasa terbit-tenggelam memberikan solusi terhadap masalah-masalah sosial yang terus mengalami perubahan.
Permasalahan berlatar urusan perut, kelamin, dan hasrat duniawi lainnnya telah mendera hari-hari kita seolah-olah di sanalah puncak eksistensi kita sebagai manusia di atas dunia ini. Permusuhan-permusuhan dan konflik yang disebabkan oleh hasrat duniawi tersebut nyaris telah menenggelamkan kita dalam situasi tanpa celah keluar dan lama-lama membuat kita terbiasa dengan hal itu sehingga kita nyaman-nyaman saja dengan situasi yang ganjil tersebut. Lihat, perang dan konflik, mulai dari tingkat negara hingga tingkat perorangan meletus karena motif tersebut. Celakanya, sejumlah gagasan intelektual pun berusaha dibangun di atas altar bau amis hasrat materialistik hingga keadaan semacam itu tampak sah di mata kita dan perlu dilestarikan. Bukankah marxisme dan demokrasi liberal (kapitalisme) yang kini banyak dianut oleh umat manusia berdiri di atas altar tersebut?
Jika kita berani sejenak merenung dan menanggalkan kecongkakan intelektual kita, nyatalah bahwa pusat masalahnya adalah kita sedang bertawaf-mengitari untuk semakin dekat dengan berhala materialisme. Seluruh kriteria dan konsep hidup yang kita anut berlandas kepada materi. “Anda tidak ada harganya jika tidak memiliki materi dan Anda tidak akan mampu berbuat apa-apa jika tidak memiliki materi!” Demikianlah kredo hari ini, sehingga seluruh urusan disandarkan kepada materi. Bahkan kehangatan persaudaraan pun berdiri di atas materi. Dalam situasi tatanan yang dibangun di atas penuhanan terhadap materi ini, maka resultannya adalah siapa yang menguasai materi maka dia pulalah yang menjadi Tuhannya. Siapa yang tidak menguasai materi dan tetapi menggantungkan diri terhadap materi, maka dialah yang menjadi hambanya. Bagi yang tidak menyadari hal ini, jelas akan tersesat, seolah-olah merasakan kompleksnya masalah hidup yang ia hadapi. Dan sebenarnya, beginilah situasi yang diinginkan oleh para penguasa materi. Dengan situasi yang serba sesat dan konflik yang mencekam antar manusia yang bersumber pada perebutan materi, para penguasa materi semakin leluasa menancapkan kuku kekuasaannya terhadap manusia. Tidak ada konflik yang tidak menghasilkan kelemahan di satu pihak dan kekuatan di pihak lain. Jika dua pihak berkonflik karena motif-motif material, yang kalah tidak akan peranah rela dan selalu menunggu kesempatan untuk kembali balas dendam dan saat yang sama ia akan membuka tangan untuk menerima bantuan dari pihak ketiga. Di atas konflik sejenis itu, pihak ketigalah yang akan menangguk untung.
Bila kita tarik ke dalam masalah domestik di lingkungan nasional kita, tampaklah apa yang kita sinyalir di atas mendapatkan kebenarannya. Hari ini kesadaran aktual yang dominan memengaruhi cara-cara berpikir, bertindak dan mengatur tatanan hidup kita adalah materialisme. Maka tidak perlu heran, jika ketentraman dan keadilan tidak akan pernah merata kita peroleh dalam hidup kita yang singkat ini. Yang kuat akan selamanya tidak puas hingga ia dapat mendominasi dan memonopoli sumber-sumber materi, sedangkan yang lemah berusaha mati-matian merebut dengan segala cara.
Tampaklah di depan mata kita materialisme ini semakin matang dan mengakar mengatur tatanan hidup kita, tidak saja lokal tetapi juga global. Inilah akar malapetaka yang memangsa kehidupan manusia di muka bumi ini. Rasanya, baru kali ini ada ancaman nyata dalam sejarah umat manusia dimana dampaknya bersifat global akibat kerakusan yang parah yang diciptakan sendiri oleh manusia-manusia rakus itu di atas landasan berpikir materislisme, yaitu momok yang kita kenal belakangan dengan nama global warming (pemanasan global). Anehnya, mengapa mereka menganggap sepi bahwa akar masalahnya tidak bisa dilepaskan dari landasan berpikir yang meterialistik itu? Pertanyaannya kemudian, apakah jalan keluarnya?
Tentu saja kita tidak cukup membentangkan masalah-masalah dasar. Sebagai manusia, kita wajib menyodorkan pemecahan dan mengajak banyak orang untuk tidak berpangku tangan menonton malapetaka yang kita alami dan bangkit bekerja sama memecahkan persoalan. Hendaknya kita sadari bahwa di dunia ini ada sekelompok orang yang berjiwa syaiton yang gembira melihat manusia-manusia lain tenggelam dalam malapetaka yang mereka ciptakan. Hendaknya fakta ini tidak diabaikan. Mereka inilah pemantik perpecahan dan penghasut manusia agar terjerumus ke dalam neraka jahannam materialisme. Akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa Allah telah memberi jaminan: Wa makaruu wa makarallah, wallahu kharul maakirin. “Dan mereka membuat tipu daya, tetapi Allah pun membuat tipu daya. Dan Allah adalah sebaik-baik tipu daya”
Untuk semua masalah yang sudah kita singgung di atas hanya ada satu jalan keluar, yaitu tinggalkan materialisme dan lenyapkan ia. Lalu peluklah agama wahyu yang diturunkan oleh Yang Maha Kuasa sejak Nabi-nabi terdahulu, seperti Nuh, Ibrahim, Musa, Isa hingga Nabi terakhir, Muhammmad Saw. Agama wahyu tersebut diberi nama secara langsung oleh Allah, yaitu Islam yang berarti penyerahan kepada Allah atau juga kedamaian. Kita bersyukur, otentisitas dokumen penting untuk mendalami agama wahyu ini hingga hari ini belum hilang dan selamat dari tangan-tangan jahil manusia berjiwa syaiton. Dokumen itu adalah Alquran. Dari Alquran kita dapat secara langsung mengetahui rahasia-rahasia kehidupan dan segala yang diperlukan untuk hidup damai dan sejahtera di dunia mengikuti garis Tuhan. Di masa-masa Rasulullah menerapkannya, terbukti ia telah mencapai sembilan hal seperti yang ditulis oleh Syeikh Mohd.Iqbal dalam bukunya The Mission of Islam. Kesembilan hal tersebut adalah:
1. Muhammad saw mengemukakan politik dan agama sebagai suatu kesatuan dengan kedaulatan Tuhan sebagai prinsip fundamental negara. Dengan mengakui kemahakuasaan-Nya dalam semua urusan pribadi maupun masyarakat, ia menghilangkan semua sumber pertikaian dari sistem politik;
2. Nabi Islam tersebut telah membuka sebuah lembaran baru dalam sejarah umat manusia dengan memberikan keadilan sosial, toleransi, dan persamaan bagi semua. Pelaksanaan keadilan dibuatnya murah, cepat dan sederhana dan menjamin kebebasan para hakim demi kepentingan semua penduduk negara Islam. Ia memberikan kepada para pengikutnya pengertian kewarganegaraan yang religius dan mengajarkan kepada mereka untuk mentaati perjanjian-perjanjian serta persekutuan-persekutuan;
3. Nabi Muhammad saw membersihkan pemerintahan dari semua upacara yang tidak berguna, kegiatan-kegiatan yang mubazir, ketidakjujuran, dan kesewenang-wenangan. Ia menjadikan pemerintahan suatu badan yang efektif untuk menjamin kebahagiaan bagi manusia. Ia memberikan kekuasaan kepada rakyat untuk mengontrol pelaksanaan tugas-tugasnya untuk mengeritiknya bila diperlukan;
4. Muhammad Saw mencela otokrasi yang begitu banyak mendapat dorongan dari kerajaan-kerajaan Byzantin dan Persia pada zamannya. Para penguasa dibuatnya bertanggungjawab terhadap rakyat yang diperintah mereka. Ia menetapkan bahwa kekuasaan tanpa tanggungjawab tidak dapat diberi kepercayaan;
5. Nabi Islam menetapkan prinsip bahwa kekayaan Negara serta hasil kerja massal harus dinikmati oleh semua warga Negara Islam. Ia menarik pajak dari kaum kaya demi kepentingan kaum miskin;
6. Nabi Muhammad saw menyusun pemerintahan dengan membaginya atas departemen-departemen dan menunjuk para pimpinan badan-badan tersebut. Untuk memilih pejabat-pejabat tersebut ditentukannya syarat-syarat dan kualifikasi seperti ketaatan, kemampuan, serta pengetahuan tentang benda maupun orang-orang;
7. Dalam menekankan perlu adanya suatu badan konsultatif dalam Negara yakni Syura, Muhammad memberikan sumbangan abadi bagi demokrasi serta seni memerintah;
8. Nabi Islam tersebut menyatakan kehidupan manusia sebagai yang paling berharga dari semuanya. Ia memberikan disiplin kepada para tentara Islam dan mengisi mereka dengan semangat kesabaran dan kemurahan hati. Ia memerintahkan bahwa tidak ada darah yang boleh ditumpahkan kecuali dengan alasan yang kuat;
9. Guna saling pengertian yang lebih baik antara si Ciptaan dan Penciptanya, Nabi mengkhotbahkan kesatuan dengan Tuhan tetapi juga kesatuan umat manusia. Dengan itu Nabi telah memberikan sumbangan bagi terbentuknya suatu persaudaraan internasional yang benar.

Sayangnya “harta karun” yang dititipkan Tuhan kepada manusia ini telah disia-siakan begitu saja. Apabila saja manusia menyadari betapa berharganya Islam sebagai rute pembebasan dirinya dari kecamuk dunia yang diciptakan oleh hamba-hamba syaiton, tentu masa depan umat manusia di muka bumi ini lebih menjanjikan.
Padahal Islam secara sistematis telah memberikan landasan praktik pembebasan kepada para penganutnya melalui lima ajaran rukun Islam.
1. Syahadat atau kredo. Kredo seorang muslim adalah keyakinan yang dinyatakan secara lisan dan perbuatan tentang Allah satu-satunya yang eksis, sedangkan selain-Nya (Allah) tidak ada sama sekali. Itulah makna Laa Ilaaha Illallah (tidak ada tuhan selain Allah). Kemudian kredo seorang muslim itu dilengkapi dengan keyakinan terhadap Muhammad sebagai utusan Allah kepada umat manusia agar manusia mengetahui pesan-pesan Allah kepada mereka. Itulah makna Muhammadarrasuulullah. Kredo ini membentuk sikap merdeka, teguh pendirian, dan anti materialisme pada jiwa seorang muslim.
2. Mengerjakan kegiatan shalat. Dengan kegiatan shalat, seorang Muslim secara rutin diingatkan untuk senantiasa tunduk dan bersujud kepada Penciptanya dan juga kepada komitmennya sebagai seorang hamba yang tunduk dan patuh. Dalam sehari semalam setidaknya seorang Muslim melakukan lima kali penyegaran memori kehambaannya. Dengan demikian dapat dijamin dirinya tidak lupa dengan misinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi.
3. Mengerjakan puasa setahun sekali di dalam bulan ramadlan yang telah ditentukan oleh Allah. Puasa mengajarkan kepada seorang Muslim untuk sanggup menguasai dirinya yang selalu didorong oleh hawa nafsu. Hawa nafsu merupakan celah yang diincar oleh syaiton untuk menguasai manusia sehingga kehilangan kesadaran sebagai hamba Allah yang seharusnya berlaku baik dan bertanggung jawab di muka bumi.
4. Mengeluarkan zakat. Mengeluarkan zakat merupakan ajaran sosial-ekonomi yang seimbang. Inti ajaran zakat adalah selain penghambaan kepada Allah, juga dorongan untuk mencari karunia atau rezeki secara halal agar dapat dibersihkan melalui zakat. Ini artinya, mencari rezeki itu merupakan urusan pribadi. Hanya saja, meskipun seseorang telah berhasil mendapatkan rezekinya dengan usahanya sendiri, bukan berarti ia dapat begitu saja mengatakan, “Ini adalah hasil usaha saya sendiri. Karena itu, Anda tidak berhak dengan harta saya.” Perkataan semacam itu jelas menafikan konsep dasar Islam bahwa segala isi bumi dan langit merupakan milik Allah, bahkan manusia pun. Sedangkan manusia hanya sebagai pengguna belaka. Sebagai pengguna, maka tidak boleh melampaui batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh karenanya di dalam Islam ada kriteria-kriteria yang jelas, seperti halal-haram di dalam mempergunakan karunia Allah.

Selain dorongan untuk bekerja mencari rezeki, ajaran zakat pun mengajarkan solidaritas terhadap manusia yang lemah dan membutuhkan. Secara terperinci sasaran zakat telah ditentukan sendiri oleh Allah kepada para mustahiqnya. Solidaritas ini ditunjukkan dengan cara membagi harta kepada mereka dengan takaran yang tidak memberatkan pula. Allah menyatakan amal zakat ini sebagai upaya pembersihan harta yang mendapat ganjaran pahala. Andai saja setiap pemeluk Islam patuh dan ketat di dalam melaksanakan ajaran zakat, niscaya kita tidak lagi melihat pengemis-pengemis dan anak-anak terlantar yang bertebaran di jalanan.
5. Mengerjakan haji sekali seumur hidup. Dalam haji seorang Muslim mendapat kesempatan menapaktilas jejak-jejak sejarah Islam diturunkan sejak Ibrahim dan Ismail. Kita ditunjukkan betapa tidak mudahnya memikul Islam. Ada keharuan saat menyaksikan secara langsung betapa memeluk Islam itu merupakan perjuangan ketabahan, keikhlasan dan lemurnian untuk tunduk kepada Allah Yang Maha agung. Selain itu pun, saat seluruh pemeluk Islam di seluruh penjuru dunia berkumpul dan berjumpa satu sama lain dalam satu tujuan religius yang sama, pemupukan persaudaraan Islam secara global pun sedang berlangsung. Terasa bahwa tidak ada kelebihan derajat antara orang Eropa dengan orang Asia atau Afrika. Demikian pun dengan orang Arab atau Persia. Semuanya larut dalam gelombang pusaran tawaf mengelilingi Ka’bah sebagai pusat rotasi. Seluruh kelas-kelas sosial yang terbangun secara keliru di daerah asal masing-masing, luruh dan tak berguna sama sekali pada saat momen haji.

Andai saja pengalaman dan pemahaman kelima rukun Islam yang telah membentuk keislaman tersebut dapat diterapkan oleh berbagai pihak, tentu kita akan menyaksikan bekerjanya gerakan pembebasan pada pribadi dan lingkungan sosial kita. Jadi benarlah apa yang dikatakan oleh ulama syahid, Baqir Sadar, yang kita perlukan dewasa ini adalah perubahan konsep dan kriteria, sebelum merubah keadaan. Artinya yang kita perlukan adalah menukar kriteria-kriteria materialistik dalam hidup kita dengan kriteria-kriteria yang tunduk kepada Allah, baru dengan demikian kita dapat memulai gerakan perubahan.
Adapun maksud saya mengemukakan pikiran-pikiran semacam ini, yaitu sekedar untuk memberikan sumbangan bagi pembentukan cara pandang kita terhadap tantangan-tantangan eksternal dan mengingatkan kembali bahwa potensi-potensi keyakinan Muslim yang kita miliki dapat menjadi obor penerang jalan kafilah kita yang terhempas di dalam kegelapan zaman. Sebab pembentukan cara pandang sangatlah penting sebelum memulai langkah-langkah yang lebih jauh. Misalnya saja, bagaimanakah kita dapat menyiapkan langkah-langkah untuk menjawab isu amandemen kelima UUD atau pun rencana legislasi UU BHP, sementara cara pandang yang kuat dan mempunyai dasar berpijak yang kokoh luput kita miliki. Oleh karena itu, sekali lagi, cara pandang, kriteria-kriteria, dan ukuran-ukuran sangatlah penting agar sikap yang diambil tidak terbawa arus pandangan-pandangan orang lain yang saling bertempur.
Terakhir saya berharap, semoga buah pikiran yang telah saya kemukakan ini bermanfaat bagi kita semua.

Wabillahittaufiq wal hidayah.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 8 April 2008
Lima Langkah Penanggulangan Kemiskinan[2]

Apabila kita tengok kekayaan alam yang terhampar di negeri kita di mana penduduk telah tinggal di sana selama berabad-abad lamanya, sulit rasanya untuk percaya bahwa penduduk kita dapat dilanda kemiskinan. Tetapi jika kita benar-benar membuka mata, demikianlah adanya, dimana penduduk kita tersebut untuk mencukupi kebutuhan pokoknya saja susah. Ibaratnya, keadaan negeri ini persis seperti pepatah lama: anak ayam mati di lumbung padi. Ironis, benar-benar sungguh ironis.
Sementara itu, sudah berbagai teori pemecahan kemiskinan kita terapkan pada penduduk kita. Tetapi yang kita dapatkan, tak satu pun dari teori yang banyak diimport dari lembaga-lembaga ilmiah asing tersebut dapat secara ampuh memecahkan masalah krusial ini. Yang tampak dari hasil uji coba teori pemecahan kemiskinan itu adalah menajamnya disparitas antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin. Hal itu wajar saja, karena teori yang diimport tersebut sama sekali tidak berbasis pada pengalaman, kasus, dan nilai-nilai hidup yang kita hayati di negeri ini. Karena itu wajar pula jika dampak dari penerapan teori tersebut bersifat parsial dan tidak menyeluruh.
Teori pertumbuhan ekonomi misalnya, sama sekali tidak mencadangkan asumsi tingkat pemerataan barang dan jasa di dalam teori tersebut. Teori tersebut hanya berfokus pada pengejaran angka pertumbuhan semata, terlepas siapa pun dan berapa gelintir orang pun yang menikmati dan menguasai peredaran barang dan jasa. Itulah sebabnya, mengapa kita di dalam kenyataan ada segelintir orang yang menguasai barang dan jasa demikian besarnya, tetapi pada saat yang sama ada puluhan juta orang terancam kelaparan. Asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi otomatis dapat menekan jumlah pengangguran dan orang miskin, dalam kenyataannya tidaklah pasti terjadi demikian. Selama masih tersedia kebebasan dan ambisi pada golongan pengusaha di dalam melipatgandakan keuntungannya sembari memprioritaskan efesiensi usaha, misalnya dengan menyeleksi tenaga-tenaga kerja terampil dari dalam maupun luar negeri atau pun juga melakukan mekanisasi dalam proses produksi yang berarti bukan lagi bersifat padat karya, maka mustahil asumsi akan terserapnya banyak tenaga kerja dalam iklim pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi kenyataan. Apalagi dalam watak globalisasi di mana arus investasi demikian bebasnya dapat keluar-masuk dari satu negara ke negara lain sesuai dnegan kepentingan-kepentingan bisnis, maka meletakkan harapan di dalam mengurangi kemiskinan pada teori pertumbuhan ekonomi menjadi taruhan yang sia-sia saja.
Melihat kenyataan-kenyataan di atas, sudah saatnya kita berani merumuskan sendiri cara-cara pemecahan masalah kemiskinan sesuai dengan tantangan riil yang kita hadapi. Menurut hemat saya, untuk memecahkan problem kemiskinan di tengah-tengah masyarakat kita yang khas, harus melalui empat langkah.





Tabel Peta Tantangan Ekonomi

Daftar Masalah
Jumlah
Sumber
Jumlah Sarjana Menganggur
409.890 (Tahun 2007)
Kompas
Orang kaya Indonesia dengan pendapatan 9-40 milyar/tahun
20.000 (Tahun 2007)
Kompas, 17 April 2008
Jumlah penduduk miskin
37.000.000 (tahun 2007)
BPS


Pertama, penyesuaian struktural. Struktur kepemilikan kekayaan di negeri ini yang sangat timpang, harus berani dirombak. Seperti yang dilaporkan oleh Harian Kompas, 17 April 2008, mengutip hasil penelitian lembaga keuangan global tertentu bahwa di Indonesia terdapat 20.000 orang yang memiliki pendapatan di atas 9 milyar, sementara kita tahu terdapat 37 juta jiwa penduduk miskin menurut ukuran kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS). Apabila merujuk kepada ukuran Bank Dunia, yaitu dapat dikatakan miskin jika pendapatan per hari sebanyak 2 dollar, maka sudah barang tentu angka kemiskinan di Indonesia jauh lebih besar lagi.
Melihat ketimpangan struktur kepemilikan kekayaan penduduk di negeri ini yang sangat timpang, sudah perlu dilakukan perombakan struktur kepemilikan kekayaan untuk mencegah penumpukan kekayaan pada segelintir keluarga atau kelompok bisnis tertentu. Pencegahan penumpukan kekayaan tersebut oleh negara dapatlah dipecahkan dengan menerapkan undang-undang yang mewajibkan setiap orang dengan pendapatan luar biasa tersebut (9-40 milyar) untuk berbagi kepada orang-orang miskin. Misalnya, undang-undang semacam ini dapat dirumuskan sebagai undang-undang social obligation. Jika perusahaan mempunyai Corporate Social Responsibity (CSR), lalu mengapa kepada individu super kaya tidak bisa diterapkan?
Supaya pihak yang terkena undang-undang social obligation tersebut lebih ringan, menurut hemat saya, ia diperkenankan merencanakan, mengatur dan melaksankan sosial obligasinya secara mandiri kepada kelompok penduduk miskin yang sudah didata oleh pemerintah sebagai prioritas sasaran implementasi sosial obligasinya. Dengan demikian diharapkan, terwujudnya partisipasi nyata orang-orang super kaya di dalam memerangi kemiskinan sekaligus mencegah kebencian orang miskin kepada orang-orang kaya yang merupakan sumber konflik sosial yang paling laten.
Kedua, mengusahakan perubahan cara-cara kerja orang-orang miskin. Di level individu, orang-orang miskin sulit bersaing dengan orang yang sudah kaya, tidak saja disebabkan oleh faktor akses semata, tetapi juga faktor cara-cara kerja. Cara-cara kerja orang miskin acapkali tidak efesien dan efektif di dalam mengelola potensi-potensi diri dan lingkungannya untuk modal ekonomi. Dalam hal ini, cara-cara kerja orang miskin mungkin tidak kalah kerasnya dengan orang-orang kaya, tetapi dalam hal efesiensi dan efektivitas kerja, orang-orang miskin ketinggalan jauh. Kita dapat melihat misalnya, berapa banyak yang bekerja keras siang malam, tetapi hasil yang diperoleh hanya untuk menutupi kebutuhan makan sehari-hari saja. Efesiensi dan efektivitas keja mutlak diperlukan. Pekerjaan baru dapat dikatakan efektif dan efesien apabila hasil kerja yang diperoleh sebanding atau bahkan lebih, dari pengorbanan waktu, sumber daya, dan modal lainnya yang dikeluarkan di dalam proses mencapai target kerja. Golongan kaya seperti para pengusaha terlatih menghitung secara rinci antara modal kerja dan keuntungan.
Ketiga, reorganisasi pegawai negeri. Pegewai negeri sebagai petugas negara, sepatutnya dapat melaksanakan tugas-tugas yang diembankan kepadanya dengan efektif dan efesien. Dia dilarang memperkaya diri dengan menyimpangkan wewenang yang dilimpahkan kepadanya.
Dalam konteks Indonesia dewasa ini, sudah mendesak mengorganisir kembali pegawai negeri yang benar-benar bertugas untuk negara. Pegawai negeri yang ada hari ini dominan hanya bermaksud mengejar kekayaan, kekuasaan dan prestise semata. Pegawai-pegawai negeri semacam itu hanya membebani negara saja, karena itu harus dipecat dan direkrut pegawai-pegawai muda yang berjiwa patriotik.
Keempat, di atas semua itu, langkah berikutnya adalah menanamkan dan menumbuhkan dalam kesadaran publik melalui media dan institusi-institusi pendidikan bahwa tanggung jawab sosial sesama manusia itu penting dari pada mengedepankan kepentingan perorangan. Oleh karena itu peranan pendidikan agama sangat diperlukan di dalam memasyarakatkan nilai-nilai sosioreligius ini.
Di dalam agama, bahwa bumi dan langit dan seisinya merupakan milik Tuhan, karena itu tidak seorang pun diperkenankan memonopoli dan menikmatinya sendiri. Manusia hanya meminjam dari Tuhan, karena itu penggunaannya harus memenuhi etika tanggung jawab kepada Tuhan. Di antara bentuk tanggung jawab penggunaannya adalah tidak mengeksploitasinya secara berlebihan dan berbagi karunia kepada orang-orang yang tidak beruntung.
Di Indonesia yang religius, penanaman kesadaran sosioreligius semacam ini tidak akan mendapat tantangan intelektual yang berarti.
Kelima, penegakan hukum tanpa kompromi dan konsisten sehingga dengan demikian tercipta kondisi kepastian hukum. Hukum yang bekerja efektif di dalam masyarakat akan mencegah korupsi sekaligus menciptakan efesiensi anggaran dan efesiensi prosedur bisnis. Efesiensi semacam itu akan menggairahkan dunia usaha dan pada akhirnya tentu dapat mengurangi angka kemiskinan.


[1] Sambutan Ketua Umum PB HMI untuk PLENO II PB HMI, Semarang, 10-13 Apri 2008

[2] Karya tulis yang memenangkan Sayembara Wiranto Mendengar Aspirasi Rakyat dengan hadiah kategori Rp. 3 juta.