Cari Blog Ini

Rabu, 30 Desember 2009

Gusdur Meninggal, Ma!


Saya baru tiba di rumah pukul 23.00 WIB. Sementara anak dan isteri saya sudah semuanya tidur. Jadi, belum sempat tegur sapa, saya pun langsung tidur. Subuh, saya terbangun. Kemudian mandi dan shalat. Setelah mandi, kembali ke kamar tidur. Terlihat isteri saya masih belum juga bangun.

“Ma, bangunlah!” Kalimat itu belum mampu membangunkannya.
Kemudian saya katakan dengan lembut, “Gusdur meninggal, Ma.”
Dia langsung jawab dengan terkejut, “Ha!!!” Nah, berarti dia sudah bangun. Tujuanku tercapai: membangunkannya supaya lekas shalat.

Hikmah yang masih bisa dipetik dari kematian seseorang adalah banyak-banyak memperbaiki diri. Terutama soal hubungan baik dengan Yang Punya Nyawa. Di antara caranya, lekas-lekas shalat subuh agar tidak bangun kesiangan.

Kembali ke Ha!!!-nya isteri saya. Itu menandakan betapa dekatnya Gusdur kepada rakyat biasa. Tatkala ia “pergi”, semua merasa kehilangan. Serasa tidak percaya, seperti Ha!!!-nya isteri saya itu.

Istri saya merupakan profil rakyat biasa. Bukan NU, apalagi pembaca politik kebudayaan Indonesia kontemporer. Saya pastikan, dia mengenal Gusdur dari televisi, radio, dan gosip-gosip. Jadi, Gusdur dia kenal sebagai pribadi yang popular. Selain tentunya, sebagai mantan Presiden.

Bagi orang seperti isteri saya, Gusdur adalah pribadi yang kocak, tapi banyak hal yang bisa dipetik dari kekocakannya. Termasuk ledekan-ledekannya. Di antara yang terkenal bagi isteri saya, misalnya: “Gitu aja kok repot”, “dasar anak TK”, semprotan Gusdur buat DPR kala dia menjabat sebagai Presiden.

Semua itu terngiang-ngiang di telinga rakyat. Kagum sekaligus kocak, tapi benar. Maka tatkala ia “pergi”, rakyat nelangsa, siapa lagi pemimpin yang kocak seperti dia. Siapa lagi yang berbicara seperti bicaranya rakyat yang spontan, pedas, dan lucu itu. Siapa lagi tokoh tingkat tinggi yang bersifat tidak formal, tidak gila hormat (gilhor) seperti yang diinginkan rakyat terhadap pemimpinnya.

Jadi, rakyat kehilangan salah satu bagian dari hidupnya. Rupa-rupanya Gusdur telah menjelma menjadi bagian dari hidup rakyat.

Hick…hick…hick…rakyat menangis dengan kepergianmu, Gus. Weleh…ternyata termasuk saya. Buktinya butiran air membasahi kertas yang sedang saya tuliskan ini: tentang kepergianmu, Gus. Ya Allah, terimalah Gusdur di sisimu, ya. Saya cinta dia. Termasuk anak istriku, juga suka padanya. Nanti kepada anakku yang masih kecil (1,4 tahun) yang masih bicaranya baru bisa Ayah, Bunda, akan kuceritakan tentang seorang di antara manusia Indonesia terhebat: Gusdur si pemberani. Gusdur si tokoh merdeka. Biar si kecil dapat meneladaninya kelak.

Gusdur memang hebat. Gusdur telah memberi dampak pada kehidupan orang-orang di tanah air. Dia wacana rakyat hingga ajal menjemputnya. Pantaslah ia akan dikenang lama oleh rakyat dari berbagai golongan. Termasuk Cina-cina. Dia telah memberi mereka hadiah terindah sebagai warga yang sama-sama terhormat di negeri ini. Kini Imlek dapat rame-rame di mana pun. Tidak hanya di Glodok.

Kala yang ditinggalkan berlomba memberi penghormatan terakhir, saya yakin, itu tidak lagi diperlukannya. Itu tidak berguna bagi Gusdur. Yang masih hidup saja merasa tidak enakan sama dia yang sudah wafat.

Biarpun semua yang masih di dunia melimpahinya mobil mercy, kalung berlian, wangi-wangian, dan tempat terhormat di Taman Makam Pahlawan, semua itu tidak ada artinya lagi bagi dia. Untunglah Gusdur dimakamkan di Jombang, bersampingan dengan kuburan kakeknya, KH. Hasyim Asyari.

Kini dia telah kembali kepada Penciptanya. Hanya amal baik selama di dunia saja yang menolongnya di “sana”. Makanya, semua kita yang kehilangan harus berdoa, semoga amal baiknya diterima di sisi-Nya supaya Gusdur bisa enak-enakan di “dunia-sana”. Tidak modar seperti orang-orang zalim selama di dunia.

Kita yang masih hidup, pasti akan menyusulnya. Entah ketemu apa nggak di “sana:, tergantung amal baik juga, yang jelas menyusulnya: mengalami dicabut nyawa. Salam terakhir kami bagimu, Gus.

Mengungkap Asal-usul Manusia Lewat Gen

SEJARAH manusia mungkin seperti potongan puzzle yang berserak. Temuan temuan yang menyangkut asal usul manusia belum tersambung menjadi sebuah gambar utuh. Pertanyaan ilmiah, seperti di manakah manusia pertama lahir, ke manakah mereka menyebar, belum mendapatkan jawaban tuntas. Setiap kali muncul teori baru misalnya ketika Darwin menulis buku The Descent of Man pada 1871 yang isinya menyebutkan bahwa manusia dan kera berasal dari satu nenek moyang—selalu memicu kontroversi.

Nyaris tak ada bidang ilmu yang lebih sering diperdebatkan daripada ilmu tentang asal usul manusia. Para ahli paleontologi terkemuka bahkan belum menyepakati urutan dasar dari pohon kekerabatan manusia. Teori teori baru muncul dan memperoleh sambutan besar, tapi layu dan hilang ketika dihadapkan pada penemuan penemuan fosil baru. Tak mengherankan bila Robert Locke, redaktur jurnal ilmiah Discovering Archaeology, sebuah terbit­an penting mengenai asal usul manusia, berujar, ”Pencarian terhadap nenek moyang manusia memberikan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Meskipun demikian, perjalanan panjang untuk mendapatkan jawaban atas asal usul manusia tak pernah berhenti.

Salah satu ikhtiar untuk menemukan asal usul manusia dilakukan para ilmuwan Asia yang tergabung dalam Konsorsium Pan Asia Single Nucleotide Polymorphism, dalam naungan Human Genome Organization (Hugo). Pada 11 Desember lalu, mereka mengumumkan hasil riset terbaru tentang peta genetik manusia di Asia. Riset selama tiga setengah tahun itu menelurkan kesimpulan yang berbeda dari teori yang diyakini para ilmuwan selama ini.

”Riset kami menunjukkan hanya ada satu jalur migrasi tunggal ke Asia,” kata Sangkot Marzuki, perintis riset sekaligus Direktur Lembaga Biomolekul Eijkman, dalam konferensi pers yang berlangsung serentak di sepuluh negara Asia. ”Asia Tenggara merupakan pusat penyebaran bangsa dengan penutur bahasa Austronesia di Asia.”

Dengan kesimpulan itu, riset berdasarkan analisis deoxyribonucleic acid (DNA) tersebut membantah teori yang menyebut bahwa ada jalur majemuk migrasi nenek moyang bangsa Asia, yakni melalui jalur utara dan jalur selatan. Teori Out of Taiwan yang menyebut bangsa Asia Tenggara (yang berbahasa Austronesia) berasal dari Taiwan pun terbantahkan. Buktinya, kata Sangkot, ”Keanekaragaman genetik yang makin ke selatan semakin tinggi, sedangkan etnik etnik di kawasan utara Asia lebih homogen.”

Temuan itu tentu saja menjadi salah satu mata rantai penting untuk menjelaskan asal usul manusia. Menurut Sangkot, nenek moyang bangsa Asia bermigrasi dari Afrika sekitar 100 ribu tahun yang lalu. Mereka kemudian menginjakkan kaki di Asia Tenggara sekitar 60 ribu tahun lalu dengan cara menyusuri pantai selatan Afrika, sebelum menyebar ke wilayah Asia lainnya.

Austronesia menjadi sebuah fenomena dalam sejarah migrasi umat manusia karena dalam waktu 3.500 tahun manusia dalam komunitas ini menyebar melampaui tiga perempat pinggang bumi. Mulai Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di timur, membekap 60 derajat bujur bumi, dari Taiwan di belahan utara sampai Selandia Baru di wilayah selatan. Austronesia kini telah melahirkan 1.200 bahasa yang dituturkan oleh hampir 350 juta populasi, yang sebagian besar berada di Kepulauan Nusantara.

Sebelumnya, Stephen Oppenheimer, dokter yang juga pakar genetika asal Oxford University, Inggris, penulis buku Eden in the East pada 1998, telah membuka wacana yang cukup kontroversial dengan memunculkan teori terbaru perihal asal muasal penyebaran bangsa penutur bahasa Austronesia. Rumpun bangsa itu disebutnya bukan datang pertama kali dari Taiwan, seperti teori yang telah diterima luas, melainkan dari Indonesia, atau tepatnya Wallacea, pulau pulau di utara Indonesia atau selatan Filipina, yang menjadi episentrum.

Menurut paleoantropolog Harry Widianto, perdebatan tentang asal mu­asal nenek moyang bangsa Asia masih terus berlanjut. ”Teori Out of Taiwan masih kuat, tapi mulai tergoyahkan,” kata Kepa­la Balai Situs Manusia Purba Sangir­an ini.

Harry mengatakan masih banyak temuan fosil manusia modern di Nu­santara yang diperkirakan hidup sekitar 3.500 tahun lalu. Tapi ada juga fosil manusia modern yang ditemukan di Pacitan sekitar 7.000 tahun lalu. ”Itu membuktikan sudah ada manusia mo­dern di Nusantara (Asia Tenggara).”

Sangkot menolak menyimpulkan secara spesifik bahwa pusat peradaban bangsa Asia pada sekitar 60 ribu tahun lalu itu ada di Indocina atau di Semenanjung Malaya. ”Harus ada riset lebih detail lagi,” katanya. Sangkot hanya memperkirakan pusat peradaban terletak di Laut Cina Selatan (Sundaland) yang sudah tenggelam sekitar 12 ribu hingga 8.000 tahun lalu. ”Menurut saya, itu masuk akal,” katanya.

Penelitian yang dilakukan Sangkot dan kawan kawan diklaim jauh lebih akurat dibanding riset riset sebelumnya yang hanya menggunakan DNA mitokondria atau kromosom Y. ”Kami meng­analisis seluruh kromosom,” ujar­nya.

Peneliti mengambil 54 ribu sampel DNA milik 1.928 individu yang mewakili 73 populasi etnik di 10 negara Asia, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, India, Cina, Korea, Jepang, dan Taiwan. ”Data kami lebih komprehensif,” katanya.

Studi fundamental tentang asal usul manusia di Asia ini lahir secara tak sengaja. Syahdan, sekitar sepuluh tahun yang lalu, Sangkot bertemu dan bercengkerama dengan empat peneliti di Bali. Salah satunya adalah Chen Zhu, yang sekarang menjadi Menteri Kesehatan Cina. Selanjutnya, mereka hanya bertemu dan bertatap muka saban dua tahun sekali.

Baru pada 2004 mereka serius melangkah dalam sebuah penelitian fundamental tentang pemetaan genetik manusia di Asia, mencontoh apa yang telah dilakukan di Eropa. Lahirlah Konsorsium Pan Asia Single Nucleotide Polymorphism yang sepenuhnya dari, untuk, dan oleh bangsa Asia. ”Ini organisasi tanpa bentuk, tapi truly Asia,” kata Sangkot. ”Tidak ada ketua atau pemimpin di dalamnya, hanya ada dewan ­pengarah, tapi bisa berjalan baik.”

Penelitian dengan konsep ini dinilai sebagai model terbaik mengkolaborasi peneliti multinegara. Ilmuwan yang berasal dari negara negara yang kaya akan populasi etnik, seperti Indonesia (lebih dari 500 etnik), dapat bekerja sama sepadan dengan ilmuwan dari pusat teknologi maju.

Profesor Edison Liu, Direktur Genome Institute of Singapura, mengatakan studi ini merupakan batu loncatan, tidak hanya dalam ilmu pengetahuan, melainkan juga dari konsorsium yang terbentuk. ”Sepuluh negara Asia berkumpul, dalam semangat solidaritas, memulai kegiatan bersama untuk mengetahui bagaimana manusia terhubung satu sama lain,” kata Liu dalam rilisnya.

Profesor Carmencita Padilla dari Nation of Health Universitas Filipina menyatakan penelitian ini telah berkembang menjadi sebuah proyek yang bermakna, yaitu, ”Pemahaman asal mu­asal kita,” katanya.

Sangkot mengatakan setiap nega­ra mengeluarkan biaya sendiri untuk meneliti. Memang butuh tenaga ekstra dan biaya mahal. Akibatnya, penelitian butuh waktu lebih dari tiga tahun. Se­kadar ilustrasi, ada populasi etnik di Sulawesi meminta syarat general checkup untuk izin pengambilan sampel.

Mahalnya teknologi juga menjadi kendala riset. Cip yang digunakan untuk menganalisis 50 ribu penanda DNA per individu sekaligus. Harga cip ini di pasar US$ 1.000. Padahal hampir 2.000 individu yang dijadikan sampel. ”Karena ada kerja sama dengan negara lain, kami dapat setengah harga,” kata Sangkot.

Informasi yang diolah di setiap negara lalu dikumpulkan dalam satu basis data yang bisa diakses secara bersama sama. Basis data itu diolah di Korea, yang memiliki sistem komputer yang memang mampu melakukannya. Selama bertahun tahun para peneliti setia untuk tidak mempublikasikan temuan mereka sesuai dengan waktu yang ditentukan bersama.

Penelitian ini masih jauh dari selesai. ”Ini baru base line (dasar) saja,” kata Sangkot. Seandainya saja ada penelitian lanjutan, hasilnya akan bermanfaat, misalnya untuk menangani penyakit genetik, seperti hepatitis dan talasemia. Riset lanjutan juga dapat dipakai menanggulangi penyebaran penyakit infeksi dari binatang. ”Target penelitian biologi molekuler ini diarahkan untuk kesejahteraan rakyat,” kata Sangkot.

Rudy Prasetyo
from tempomagazine