Cari Blog Ini

Senin, 28 Desember 2009

Saat Anak Mengintimidasi Orang Tua

Dapatkah anak mengintimidasi orang tuanya? Apakah Anda sedang membayangkan anak sedang bertindak sebagai polisi yang sedang menginterogasi tersangka, sedangkan si tersangka adalah orang tuanya sendiri? Jika hal itu yang sedang Anda bayangkan, berarti Anda keliru.

Saya gunakan istilah intimidasi karena ada persamaannya, yakni sama-sama bersifat menggertak dan melemahkan sikap si orang tua. Bedanya si anak sedang memanfaatkan rasa sayang dan iba orang tua kepadanya untuk memenuhi tuntutannya. Pernahkah Anda mengalami hal itu?

Kalau Anda masih bingung, baiklah kita sajikan cerita berikut.

Bagus mempunyai seorang batita laki-laki. Batita itu namanya Elyas. Setiap pagi ia membawa Elyas mengitari taman desa dengan naik sepeda motor sebelum ia berangkat ke kantornya di kecamatan. Biasanya acara keliling itu berlangsung sekitar sepuluh menit. Tapi apabila si anak belum juga puas, keliling-keliling bisa lima belas menit.

Karena sudah terbiasa dan si anak ketagihan, suatu ketika Bagus kembali membawa anaknya keliling taman. Sadar bahwa ia punya janji pagi itu dengan seseorang, ia cepat-cepat kembali ke rumahnya. Setiba di rumah, ia mencoba menurunkan anaknya. Tetapi si anak tidak mau dan malah memberontak. Si anak meronta-ronta dan menjatuhkan dirinya dari motor. Untung Bagus sigap. Tangan sang anak dicengkeram sehingga tidak sampai terjatuh. Tapi si anak tidak menghentikan tangisannya dan terus meronta-ronta yang bisa membahayakan dirinya.

Bagus merasa iba kepada anaknya. Kemudian ia kembali membawa si anak keliling taman lagi. Dan…itulah yang ditunggu si anak. Akhirnya intimidasi si anak berhasil. Begitu si anak berhasil, si anak telah punya kartu terhadap sang ayah. Kapan saja ia dibawa keliling sementara ia belum puas, cara yang sama akan ia lakukan. Mengorbankan diri untuk menarik rasa iba sang ayah. Itulah cara khas seorang anak yang masih lemah mengintimidasi orang tua agar memenuhi tuntutannya.

Sebagai orang tua, kita tidak boleh membiarkan sang anak mengintimidasi kita. Sebab hal itu tidak memberikan nilai positif baginya. Selain mengajarinya sikap egois (mementingkan diri sendiri), juga hal itu sedang mengajarinya mencapai tujuan dengan cara paksa dan mengorbankan diri. Termasuk mengajari dirinya bagaimana nikmatnya punya seorang pelayan. Ironisnya, pelayannya adalah orang tuanya sendiri.

Lebih baik berikan dia pengertian bahwa kali ini tidak bisa lama-lama. Sebab Ayah ada urusan yang lebih penting. Besok pagi masih ada kesempatan untuk keliling-keliling taman kembali. Jika pun ia tetap menangis, turunkan saja dari atas motor, lalu serahkan dia kepada Ibunya atau pengasuhnya. Cara itu akan mengajarinya bagaimana bersikap tegas kepada urusan yang lebih penting.

Oleh karena itu, rasa sayang dan iba kepada anak haruslah ditempatkan pada kasus yang tepat.

Hari Gene Jadi Intelektual Informan?

Mengapa hari gene masih ada anak-anak Muslim yang meletakkan diri sebagai intelektual informan bagi bangsa lain? Saya kemukakan ini karena baru saja saya mencermati secara rinci opini seorang bernama Ahmad Najib Burhani di Kompas, 30 November 2009 dengan judul 100 Tahun Muhammadiyah. Saya tidak melihat signifikansi tulisannya itu selain untuk mengajak pembaca untuk melihat wajah Muhammadiyah dalam tiga kategori: puritan, salafis, dan progresif. Puritan, katanya, konservatif dalam beragama, tetapi orientasinya duniawi. Salafis, amat peduli terhadap kode dan ritual keberagamaan, orientasinya semata-mata akhirat. Keselamatan terletak pada keimanan, bukan aktivitas sosial. Tidak tertarik perdebatan teologis karena terlalu intelektualisme. Sedangkan progresif, percaya pada kesesuaian Islam dan Barat dan berusaha mengadopsi nilai dan ilmu dari Barat. Kelompok ini amat peduli dengan teologi dan menjadikan intelektualisme sebagai jalan pembebasan dan keselamatan. (Kompas, 30 November 2009, h. 7)


Pikiran lurus saya hanya bertanya, apa benar dasar yang dibangun pada kategori semacam itu terhadap Muhammadiyah dewasa ini? Apakah Muhammadiyah dapat dibelah secara tegas menurut kategori simplikatif seperti itu? Apakah mereka yang peduli terhadap kode dan ritual keberagamaan tidak tertarik pada debat intelektualisme? Demikian seterusnya? Dan ini yang penting, pengkategorian ini, dari sudut pandang dan untuk kebutuhan siapa? Saya ingin bertanya, apakah Muhammadiyah membutuhkan pola kategori anggotanya dengan pendekatan semacam itu?


Saya tidak ingin lebih lanjut melancarkan gugatan karena model kategori semacam ini tidak begitu dikenal dalam ranah kepentingan rekomendasi kebijakan pengembangan Muslim dan terlalu gampang dideteksi untuk kepentingan kebijakan siapa. Untuk masalah-masalah produk tulisan semacam ini pikiran saya selalu teringat atas peringatan S. Parvez Manzoor, “Klasifikasi didasarkan sepenuhnya pada hirarki tema yang cocok dengan selera kritis pihak luar.”


Saya berani jamin, kategori puritan, salafis, atau progresif bukan berasal dari sudut pandang pihak Muslim. Itu jelas kategori yang dilemparkan oleh pihak luar ke kening dinamika umat Muslim untuk dapat dikenali dengan cara kesukaan mereka. Puritan dan salafis saja sudah bernada pejoratif, sedangkan progresif bernada positif. Positif apabila membebek kepada Barat. Wallahua’lam bishshawab.

Tak Kusangka, Ternyata...

Pas lagi komentari postingan orang, ee..yang muncul blog saya. Kebetulan..blogku masih hidup. Alhamdulillah..