Cari Blog Ini

Rabu, 30 Desember 2009

Gusdur Meninggal, Ma!


Saya baru tiba di rumah pukul 23.00 WIB. Sementara anak dan isteri saya sudah semuanya tidur. Jadi, belum sempat tegur sapa, saya pun langsung tidur. Subuh, saya terbangun. Kemudian mandi dan shalat. Setelah mandi, kembali ke kamar tidur. Terlihat isteri saya masih belum juga bangun.

“Ma, bangunlah!” Kalimat itu belum mampu membangunkannya.
Kemudian saya katakan dengan lembut, “Gusdur meninggal, Ma.”
Dia langsung jawab dengan terkejut, “Ha!!!” Nah, berarti dia sudah bangun. Tujuanku tercapai: membangunkannya supaya lekas shalat.

Hikmah yang masih bisa dipetik dari kematian seseorang adalah banyak-banyak memperbaiki diri. Terutama soal hubungan baik dengan Yang Punya Nyawa. Di antara caranya, lekas-lekas shalat subuh agar tidak bangun kesiangan.

Kembali ke Ha!!!-nya isteri saya. Itu menandakan betapa dekatnya Gusdur kepada rakyat biasa. Tatkala ia “pergi”, semua merasa kehilangan. Serasa tidak percaya, seperti Ha!!!-nya isteri saya itu.

Istri saya merupakan profil rakyat biasa. Bukan NU, apalagi pembaca politik kebudayaan Indonesia kontemporer. Saya pastikan, dia mengenal Gusdur dari televisi, radio, dan gosip-gosip. Jadi, Gusdur dia kenal sebagai pribadi yang popular. Selain tentunya, sebagai mantan Presiden.

Bagi orang seperti isteri saya, Gusdur adalah pribadi yang kocak, tapi banyak hal yang bisa dipetik dari kekocakannya. Termasuk ledekan-ledekannya. Di antara yang terkenal bagi isteri saya, misalnya: “Gitu aja kok repot”, “dasar anak TK”, semprotan Gusdur buat DPR kala dia menjabat sebagai Presiden.

Semua itu terngiang-ngiang di telinga rakyat. Kagum sekaligus kocak, tapi benar. Maka tatkala ia “pergi”, rakyat nelangsa, siapa lagi pemimpin yang kocak seperti dia. Siapa lagi yang berbicara seperti bicaranya rakyat yang spontan, pedas, dan lucu itu. Siapa lagi tokoh tingkat tinggi yang bersifat tidak formal, tidak gila hormat (gilhor) seperti yang diinginkan rakyat terhadap pemimpinnya.

Jadi, rakyat kehilangan salah satu bagian dari hidupnya. Rupa-rupanya Gusdur telah menjelma menjadi bagian dari hidup rakyat.

Hick…hick…hick…rakyat menangis dengan kepergianmu, Gus. Weleh…ternyata termasuk saya. Buktinya butiran air membasahi kertas yang sedang saya tuliskan ini: tentang kepergianmu, Gus. Ya Allah, terimalah Gusdur di sisimu, ya. Saya cinta dia. Termasuk anak istriku, juga suka padanya. Nanti kepada anakku yang masih kecil (1,4 tahun) yang masih bicaranya baru bisa Ayah, Bunda, akan kuceritakan tentang seorang di antara manusia Indonesia terhebat: Gusdur si pemberani. Gusdur si tokoh merdeka. Biar si kecil dapat meneladaninya kelak.

Gusdur memang hebat. Gusdur telah memberi dampak pada kehidupan orang-orang di tanah air. Dia wacana rakyat hingga ajal menjemputnya. Pantaslah ia akan dikenang lama oleh rakyat dari berbagai golongan. Termasuk Cina-cina. Dia telah memberi mereka hadiah terindah sebagai warga yang sama-sama terhormat di negeri ini. Kini Imlek dapat rame-rame di mana pun. Tidak hanya di Glodok.

Kala yang ditinggalkan berlomba memberi penghormatan terakhir, saya yakin, itu tidak lagi diperlukannya. Itu tidak berguna bagi Gusdur. Yang masih hidup saja merasa tidak enakan sama dia yang sudah wafat.

Biarpun semua yang masih di dunia melimpahinya mobil mercy, kalung berlian, wangi-wangian, dan tempat terhormat di Taman Makam Pahlawan, semua itu tidak ada artinya lagi bagi dia. Untunglah Gusdur dimakamkan di Jombang, bersampingan dengan kuburan kakeknya, KH. Hasyim Asyari.

Kini dia telah kembali kepada Penciptanya. Hanya amal baik selama di dunia saja yang menolongnya di “sana”. Makanya, semua kita yang kehilangan harus berdoa, semoga amal baiknya diterima di sisi-Nya supaya Gusdur bisa enak-enakan di “dunia-sana”. Tidak modar seperti orang-orang zalim selama di dunia.

Kita yang masih hidup, pasti akan menyusulnya. Entah ketemu apa nggak di “sana:, tergantung amal baik juga, yang jelas menyusulnya: mengalami dicabut nyawa. Salam terakhir kami bagimu, Gus.

Mengungkap Asal-usul Manusia Lewat Gen

SEJARAH manusia mungkin seperti potongan puzzle yang berserak. Temuan temuan yang menyangkut asal usul manusia belum tersambung menjadi sebuah gambar utuh. Pertanyaan ilmiah, seperti di manakah manusia pertama lahir, ke manakah mereka menyebar, belum mendapatkan jawaban tuntas. Setiap kali muncul teori baru misalnya ketika Darwin menulis buku The Descent of Man pada 1871 yang isinya menyebutkan bahwa manusia dan kera berasal dari satu nenek moyang—selalu memicu kontroversi.

Nyaris tak ada bidang ilmu yang lebih sering diperdebatkan daripada ilmu tentang asal usul manusia. Para ahli paleontologi terkemuka bahkan belum menyepakati urutan dasar dari pohon kekerabatan manusia. Teori teori baru muncul dan memperoleh sambutan besar, tapi layu dan hilang ketika dihadapkan pada penemuan penemuan fosil baru. Tak mengherankan bila Robert Locke, redaktur jurnal ilmiah Discovering Archaeology, sebuah terbit­an penting mengenai asal usul manusia, berujar, ”Pencarian terhadap nenek moyang manusia memberikan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Meskipun demikian, perjalanan panjang untuk mendapatkan jawaban atas asal usul manusia tak pernah berhenti.

Salah satu ikhtiar untuk menemukan asal usul manusia dilakukan para ilmuwan Asia yang tergabung dalam Konsorsium Pan Asia Single Nucleotide Polymorphism, dalam naungan Human Genome Organization (Hugo). Pada 11 Desember lalu, mereka mengumumkan hasil riset terbaru tentang peta genetik manusia di Asia. Riset selama tiga setengah tahun itu menelurkan kesimpulan yang berbeda dari teori yang diyakini para ilmuwan selama ini.

”Riset kami menunjukkan hanya ada satu jalur migrasi tunggal ke Asia,” kata Sangkot Marzuki, perintis riset sekaligus Direktur Lembaga Biomolekul Eijkman, dalam konferensi pers yang berlangsung serentak di sepuluh negara Asia. ”Asia Tenggara merupakan pusat penyebaran bangsa dengan penutur bahasa Austronesia di Asia.”

Dengan kesimpulan itu, riset berdasarkan analisis deoxyribonucleic acid (DNA) tersebut membantah teori yang menyebut bahwa ada jalur majemuk migrasi nenek moyang bangsa Asia, yakni melalui jalur utara dan jalur selatan. Teori Out of Taiwan yang menyebut bangsa Asia Tenggara (yang berbahasa Austronesia) berasal dari Taiwan pun terbantahkan. Buktinya, kata Sangkot, ”Keanekaragaman genetik yang makin ke selatan semakin tinggi, sedangkan etnik etnik di kawasan utara Asia lebih homogen.”

Temuan itu tentu saja menjadi salah satu mata rantai penting untuk menjelaskan asal usul manusia. Menurut Sangkot, nenek moyang bangsa Asia bermigrasi dari Afrika sekitar 100 ribu tahun yang lalu. Mereka kemudian menginjakkan kaki di Asia Tenggara sekitar 60 ribu tahun lalu dengan cara menyusuri pantai selatan Afrika, sebelum menyebar ke wilayah Asia lainnya.

Austronesia menjadi sebuah fenomena dalam sejarah migrasi umat manusia karena dalam waktu 3.500 tahun manusia dalam komunitas ini menyebar melampaui tiga perempat pinggang bumi. Mulai Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di timur, membekap 60 derajat bujur bumi, dari Taiwan di belahan utara sampai Selandia Baru di wilayah selatan. Austronesia kini telah melahirkan 1.200 bahasa yang dituturkan oleh hampir 350 juta populasi, yang sebagian besar berada di Kepulauan Nusantara.

Sebelumnya, Stephen Oppenheimer, dokter yang juga pakar genetika asal Oxford University, Inggris, penulis buku Eden in the East pada 1998, telah membuka wacana yang cukup kontroversial dengan memunculkan teori terbaru perihal asal muasal penyebaran bangsa penutur bahasa Austronesia. Rumpun bangsa itu disebutnya bukan datang pertama kali dari Taiwan, seperti teori yang telah diterima luas, melainkan dari Indonesia, atau tepatnya Wallacea, pulau pulau di utara Indonesia atau selatan Filipina, yang menjadi episentrum.

Menurut paleoantropolog Harry Widianto, perdebatan tentang asal mu­asal nenek moyang bangsa Asia masih terus berlanjut. ”Teori Out of Taiwan masih kuat, tapi mulai tergoyahkan,” kata Kepa­la Balai Situs Manusia Purba Sangir­an ini.

Harry mengatakan masih banyak temuan fosil manusia modern di Nu­santara yang diperkirakan hidup sekitar 3.500 tahun lalu. Tapi ada juga fosil manusia modern yang ditemukan di Pacitan sekitar 7.000 tahun lalu. ”Itu membuktikan sudah ada manusia mo­dern di Nusantara (Asia Tenggara).”

Sangkot menolak menyimpulkan secara spesifik bahwa pusat peradaban bangsa Asia pada sekitar 60 ribu tahun lalu itu ada di Indocina atau di Semenanjung Malaya. ”Harus ada riset lebih detail lagi,” katanya. Sangkot hanya memperkirakan pusat peradaban terletak di Laut Cina Selatan (Sundaland) yang sudah tenggelam sekitar 12 ribu hingga 8.000 tahun lalu. ”Menurut saya, itu masuk akal,” katanya.

Penelitian yang dilakukan Sangkot dan kawan kawan diklaim jauh lebih akurat dibanding riset riset sebelumnya yang hanya menggunakan DNA mitokondria atau kromosom Y. ”Kami meng­analisis seluruh kromosom,” ujar­nya.

Peneliti mengambil 54 ribu sampel DNA milik 1.928 individu yang mewakili 73 populasi etnik di 10 negara Asia, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, India, Cina, Korea, Jepang, dan Taiwan. ”Data kami lebih komprehensif,” katanya.

Studi fundamental tentang asal usul manusia di Asia ini lahir secara tak sengaja. Syahdan, sekitar sepuluh tahun yang lalu, Sangkot bertemu dan bercengkerama dengan empat peneliti di Bali. Salah satunya adalah Chen Zhu, yang sekarang menjadi Menteri Kesehatan Cina. Selanjutnya, mereka hanya bertemu dan bertatap muka saban dua tahun sekali.

Baru pada 2004 mereka serius melangkah dalam sebuah penelitian fundamental tentang pemetaan genetik manusia di Asia, mencontoh apa yang telah dilakukan di Eropa. Lahirlah Konsorsium Pan Asia Single Nucleotide Polymorphism yang sepenuhnya dari, untuk, dan oleh bangsa Asia. ”Ini organisasi tanpa bentuk, tapi truly Asia,” kata Sangkot. ”Tidak ada ketua atau pemimpin di dalamnya, hanya ada dewan ­pengarah, tapi bisa berjalan baik.”

Penelitian dengan konsep ini dinilai sebagai model terbaik mengkolaborasi peneliti multinegara. Ilmuwan yang berasal dari negara negara yang kaya akan populasi etnik, seperti Indonesia (lebih dari 500 etnik), dapat bekerja sama sepadan dengan ilmuwan dari pusat teknologi maju.

Profesor Edison Liu, Direktur Genome Institute of Singapura, mengatakan studi ini merupakan batu loncatan, tidak hanya dalam ilmu pengetahuan, melainkan juga dari konsorsium yang terbentuk. ”Sepuluh negara Asia berkumpul, dalam semangat solidaritas, memulai kegiatan bersama untuk mengetahui bagaimana manusia terhubung satu sama lain,” kata Liu dalam rilisnya.

Profesor Carmencita Padilla dari Nation of Health Universitas Filipina menyatakan penelitian ini telah berkembang menjadi sebuah proyek yang bermakna, yaitu, ”Pemahaman asal mu­asal kita,” katanya.

Sangkot mengatakan setiap nega­ra mengeluarkan biaya sendiri untuk meneliti. Memang butuh tenaga ekstra dan biaya mahal. Akibatnya, penelitian butuh waktu lebih dari tiga tahun. Se­kadar ilustrasi, ada populasi etnik di Sulawesi meminta syarat general checkup untuk izin pengambilan sampel.

Mahalnya teknologi juga menjadi kendala riset. Cip yang digunakan untuk menganalisis 50 ribu penanda DNA per individu sekaligus. Harga cip ini di pasar US$ 1.000. Padahal hampir 2.000 individu yang dijadikan sampel. ”Karena ada kerja sama dengan negara lain, kami dapat setengah harga,” kata Sangkot.

Informasi yang diolah di setiap negara lalu dikumpulkan dalam satu basis data yang bisa diakses secara bersama sama. Basis data itu diolah di Korea, yang memiliki sistem komputer yang memang mampu melakukannya. Selama bertahun tahun para peneliti setia untuk tidak mempublikasikan temuan mereka sesuai dengan waktu yang ditentukan bersama.

Penelitian ini masih jauh dari selesai. ”Ini baru base line (dasar) saja,” kata Sangkot. Seandainya saja ada penelitian lanjutan, hasilnya akan bermanfaat, misalnya untuk menangani penyakit genetik, seperti hepatitis dan talasemia. Riset lanjutan juga dapat dipakai menanggulangi penyebaran penyakit infeksi dari binatang. ”Target penelitian biologi molekuler ini diarahkan untuk kesejahteraan rakyat,” kata Sangkot.

Rudy Prasetyo
from tempomagazine

Selasa, 29 Desember 2009

Inilah Terapi untuk Ketidakstabilan Jiwa Manusia

Surat Al-Ma'arij berbicara tentang jiwa manusia yang suka tidak stabil. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah dan kikir; Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapatkan kebaikan ia amat kikir” (Al-Ma’arij:19-21)

Ayat-ayat di atas menggambarkan satu keadaan jiwa manusia. Bahkan pengungkapan Al-Insan, dengan menggunakan ism ma'rifah menunjukkan kondisi khusus manusia.

Sifat ketidakstabilan jiwa ini digambarkan dengan sifat haluu'an (berkeluh kesah lagi kikir).

Sifat jazuu'an (keluh kesah) muncul saat ia ditimpa kesusahan, sedangkan sifat manuu’an (kikir yang sangat) menampak saat ia mendapat kebaikan.

Sifat-sifat ini merefleksikan kesempitan dan ketidak-stabilan jiwa manusia.

Sifat keluh kesah mendapatkan padanan pada sifat al-hamm wal hazn (gelisah dan sedih), dimana kita diajarkan Rasulullah SAW untuk berlindung dari dua sifat ini.

Kebalikan dari sifat-sifat di atas adalah sifat optimis dan penuh dengan 'izzah (kemuliaan). Keduanya akan memberikan energi bagi kreativitas, inovasi dan daya juang.

Ini dapat dipahami melalui frase "laa khaufun alaihin wa laa hum yahzanun." (Al-Baqarah: 38)

Pada ayat ini tersirat bahwa pemikulan beban kekhalifahan manusia di muka bumi diawali dengan keteguhan dalam memegang Al Huda dari Allah SWT yang akan membuat manusia terlepas dari sifat khawatir/takut dan sifat sedih hati.

Bagaimana Menerapi Jiwa dari Ketidakstabilan

Allah SWT selanjutnya mengecualikan kondisi ketidakstabilan jiwa ini pada rangkaian ayat 22-34 surat Al-Ma’arij. Bahkan mereka yang dikecualikan juga menjadi karakeristik calon penghuni Jannatin Mukramun, yakni mereka (kekal) menjadi penghuni surga lagi dimuliakan.

Lalu siapakah mereka yang beruntung itu yang terbebas dari deraan penyakit ketidakstabilan jiwa? Ternyata mereka adalah orang-orang yang shalat. Tapi shalat seperti apa? Hanya sekedar takbiratul ihram, ruku’ dan sujud itu?

Tidak sekedar itu. Orang yang mengerjakan shalat itu (mushalliin) ada ciri-cirinya. Ini hampir sama dengan Al-Ma’un: 4 yang menyatakan celaka pada orang-orang yang shalat. Bukan maksudnya yang ruku’ dan sujud itu. Tapi shalat yang lalai, riya dan enggan bersedekah.

Nah, orang yang shalat yang terbebas dari penyakit ketidakstabilan jiwa ini pun ada karakteristiknya. Seperti apakah karakteristiknya? Inilah dia:

1. Dawam (senantiasa atau kontinuitas) Menegakkan Shalat (Al-Ma’arij: 23)

Pada ayat lain Allah sampaikan: “Sesungguhnya menanglah (beruntunglah) orang-orang mu’min, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya …” (Al-Mu’minun:1-2); “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah –dzkrilLaahi-. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d:28)

Manusia akan mengalami goncangan jiwa, mana kala shalat tidak menghiasi kehidupannya. Karenanya penegakkan shalat dengan baik akan mengembalikan kestabilan jiwa.

Dengan shalat, jiwa manusia akan terhubung erat dengan Allah SWT, Al-‘Aziiz Al-Hakiim, Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.

2. Bershadaqah (Al-Ma’arij: 24-25)

Bershadaqah atau berderma akan mengukuhkan jiwa dan membuang sifat pengecut dan kikir. Berderma juga akan menghilangkan sifat khauf dan hazn, sebagaimana janji Allah SWT:

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-tarangan, maka mereka mendapat pahala dari sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran -khauf- pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati –hazn-.” (Al-Baqarah:274)

3. Meyakini Hari Pembalasan (Yaumud dien) (Al-Ma’arij: 26-28)

Sifat takut kepada hari pembalasan akan menyampaikan jiwa pada rasa takut yang tepat. Dan ini akan menghindari jiwa dari rasa takut semu yang senantiasa dihembuskan oleh setan ke dalam jiwa manusia.

Rasa takut pada hari adzab Allah membuat jiwa bersegera berbuat kebaikan dan menghindarkan jiwa dari kelalaian.

“ … Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan adzab suatu hari yang (pada hari itu orang-orang bermuka) masam, penuh kesulitan (yang datang) dari Rabb kami …” (Al-Insan:9-10)

4. Menjaga Kemaluan (Al-Ma’arij: 29-31)

Di antara pangkal goyahnya jiwa adalah manakala dorongan syahwat seksual menguasai diri manusia dan penyalurannya bukan pada jalan yang diridhai Allah. Manusia akan jatuh kondisi kejiwaannya menjadi budak nafsu syahwat.

Fenomena perselingkuhan yang marak di dalam masyarakat, indikator masalah ketidakstabilan jiwa.

Jiwa yang tak terkendali berbuat kejahatan, dalam kisah Nabi Yusuf as dikaitkan secara pasti dengan godaan wanita. Dalam kasus Nabi Yusuf as, yaitu istri pembesar Mesir.

“Dan aku tidak membebaskan diriku (berbuat kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan –amara bis suu-, kecuali nafsu –jiwa- yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’” (Al-Ahzab: 30)

Perintah yang sama berlaku bagi wanita beriman diiringkan dengan perintah menutupkan kain kerudung ke dada mereka. (Al-Ahzab: 31)

Demikian sekilas beberapa pengarahan Qurany terkait point menjaga kemaluan.

5. Menunaikan Amanah dan Janji serta Menegakkan Persaksian (Al-Ma’arij: 32-33)

Tatkala seorang manusia teguh melaksanakan amanah, janji dan persaksian –pernyataan kebenaran-, maka ia tengah membangun rasa pasti dalam jiwanya.

Sebaliknya ketika seseorang melalaikan amanah demi amanah, janji demi janji dan persaksian-persaksiannya, maka ia tengah meruntuhkan kepercayaan dirinya sendiri. Ia akan terhempas dalam ketidakpastian jiwa.

Dalam konteks kehidupan berkeluarga, hal ini tentu terkait dengan akad nikah, dimana di dalamnya terangkum perjanjian dan amanah buat bersuami-istri.

Penunaian amanah adalah wujud ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”


6. Menjaga Shalatnya (Al-Ma’arij:34)

Ini menunjukkan betapa hifzhu ash shalah merupakan perbuatan yang sangat signifikan dalam menjaga kestabilan jiwa. Seperti disampaikan di muka, masalah menjaga shalat ini pun disebutkan di point pertama.

Bedanya menjaga shalat dengan senantiasa shalat adalah bila yang pertama, memastikan seluruh syarat sahnya shalat dan sebagainya. Jadi tidak sekedar menegakkan shalat. Harus juga memastikan aspek fiqh dan syariatnya. Sedangkan yang kedua, secara terus menerus shalat, tidak absen apalagi cuti. Sebab bagaimana mungkin ada istilah absen mengabdi kepada Allah.

Nah, sekarang tinggal ngelakuinnya, kan?

Catatan:
Dikembangkan dari gagasan Adi JM

Senin, 28 Desember 2009

Saat Anak Mengintimidasi Orang Tua

Dapatkah anak mengintimidasi orang tuanya? Apakah Anda sedang membayangkan anak sedang bertindak sebagai polisi yang sedang menginterogasi tersangka, sedangkan si tersangka adalah orang tuanya sendiri? Jika hal itu yang sedang Anda bayangkan, berarti Anda keliru.

Saya gunakan istilah intimidasi karena ada persamaannya, yakni sama-sama bersifat menggertak dan melemahkan sikap si orang tua. Bedanya si anak sedang memanfaatkan rasa sayang dan iba orang tua kepadanya untuk memenuhi tuntutannya. Pernahkah Anda mengalami hal itu?

Kalau Anda masih bingung, baiklah kita sajikan cerita berikut.

Bagus mempunyai seorang batita laki-laki. Batita itu namanya Elyas. Setiap pagi ia membawa Elyas mengitari taman desa dengan naik sepeda motor sebelum ia berangkat ke kantornya di kecamatan. Biasanya acara keliling itu berlangsung sekitar sepuluh menit. Tapi apabila si anak belum juga puas, keliling-keliling bisa lima belas menit.

Karena sudah terbiasa dan si anak ketagihan, suatu ketika Bagus kembali membawa anaknya keliling taman. Sadar bahwa ia punya janji pagi itu dengan seseorang, ia cepat-cepat kembali ke rumahnya. Setiba di rumah, ia mencoba menurunkan anaknya. Tetapi si anak tidak mau dan malah memberontak. Si anak meronta-ronta dan menjatuhkan dirinya dari motor. Untung Bagus sigap. Tangan sang anak dicengkeram sehingga tidak sampai terjatuh. Tapi si anak tidak menghentikan tangisannya dan terus meronta-ronta yang bisa membahayakan dirinya.

Bagus merasa iba kepada anaknya. Kemudian ia kembali membawa si anak keliling taman lagi. Dan…itulah yang ditunggu si anak. Akhirnya intimidasi si anak berhasil. Begitu si anak berhasil, si anak telah punya kartu terhadap sang ayah. Kapan saja ia dibawa keliling sementara ia belum puas, cara yang sama akan ia lakukan. Mengorbankan diri untuk menarik rasa iba sang ayah. Itulah cara khas seorang anak yang masih lemah mengintimidasi orang tua agar memenuhi tuntutannya.

Sebagai orang tua, kita tidak boleh membiarkan sang anak mengintimidasi kita. Sebab hal itu tidak memberikan nilai positif baginya. Selain mengajarinya sikap egois (mementingkan diri sendiri), juga hal itu sedang mengajarinya mencapai tujuan dengan cara paksa dan mengorbankan diri. Termasuk mengajari dirinya bagaimana nikmatnya punya seorang pelayan. Ironisnya, pelayannya adalah orang tuanya sendiri.

Lebih baik berikan dia pengertian bahwa kali ini tidak bisa lama-lama. Sebab Ayah ada urusan yang lebih penting. Besok pagi masih ada kesempatan untuk keliling-keliling taman kembali. Jika pun ia tetap menangis, turunkan saja dari atas motor, lalu serahkan dia kepada Ibunya atau pengasuhnya. Cara itu akan mengajarinya bagaimana bersikap tegas kepada urusan yang lebih penting.

Oleh karena itu, rasa sayang dan iba kepada anak haruslah ditempatkan pada kasus yang tepat.

Hari Gene Jadi Intelektual Informan?

Mengapa hari gene masih ada anak-anak Muslim yang meletakkan diri sebagai intelektual informan bagi bangsa lain? Saya kemukakan ini karena baru saja saya mencermati secara rinci opini seorang bernama Ahmad Najib Burhani di Kompas, 30 November 2009 dengan judul 100 Tahun Muhammadiyah. Saya tidak melihat signifikansi tulisannya itu selain untuk mengajak pembaca untuk melihat wajah Muhammadiyah dalam tiga kategori: puritan, salafis, dan progresif. Puritan, katanya, konservatif dalam beragama, tetapi orientasinya duniawi. Salafis, amat peduli terhadap kode dan ritual keberagamaan, orientasinya semata-mata akhirat. Keselamatan terletak pada keimanan, bukan aktivitas sosial. Tidak tertarik perdebatan teologis karena terlalu intelektualisme. Sedangkan progresif, percaya pada kesesuaian Islam dan Barat dan berusaha mengadopsi nilai dan ilmu dari Barat. Kelompok ini amat peduli dengan teologi dan menjadikan intelektualisme sebagai jalan pembebasan dan keselamatan. (Kompas, 30 November 2009, h. 7)


Pikiran lurus saya hanya bertanya, apa benar dasar yang dibangun pada kategori semacam itu terhadap Muhammadiyah dewasa ini? Apakah Muhammadiyah dapat dibelah secara tegas menurut kategori simplikatif seperti itu? Apakah mereka yang peduli terhadap kode dan ritual keberagamaan tidak tertarik pada debat intelektualisme? Demikian seterusnya? Dan ini yang penting, pengkategorian ini, dari sudut pandang dan untuk kebutuhan siapa? Saya ingin bertanya, apakah Muhammadiyah membutuhkan pola kategori anggotanya dengan pendekatan semacam itu?


Saya tidak ingin lebih lanjut melancarkan gugatan karena model kategori semacam ini tidak begitu dikenal dalam ranah kepentingan rekomendasi kebijakan pengembangan Muslim dan terlalu gampang dideteksi untuk kepentingan kebijakan siapa. Untuk masalah-masalah produk tulisan semacam ini pikiran saya selalu teringat atas peringatan S. Parvez Manzoor, “Klasifikasi didasarkan sepenuhnya pada hirarki tema yang cocok dengan selera kritis pihak luar.”


Saya berani jamin, kategori puritan, salafis, atau progresif bukan berasal dari sudut pandang pihak Muslim. Itu jelas kategori yang dilemparkan oleh pihak luar ke kening dinamika umat Muslim untuk dapat dikenali dengan cara kesukaan mereka. Puritan dan salafis saja sudah bernada pejoratif, sedangkan progresif bernada positif. Positif apabila membebek kepada Barat. Wallahua’lam bishshawab.

Tak Kusangka, Ternyata...

Pas lagi komentari postingan orang, ee..yang muncul blog saya. Kebetulan..blogku masih hidup. Alhamdulillah..