Cari Blog Ini

Senin, 18 Januari 2010

Identitas Asli Manusia


Apa yang asli dari identitas kita bahwa pertama-tama kita laki-laki/perempuan, dewasa atau anak-anak, hitam atau putih, dan yang mendasar bahwa kita DICIPTAKAN, bukan TERCIPTA SENDIRI. Karena itu saya yakin ada Tuhan yang menciptakan aku, maka aku bertanggungjawab kepada Dia. Bahwa kita merasa bangsa Indonesia, suku Jawa, alumni universitas tertentu, dll, semua hal itu pada dasarnya adalah hal-hal yang kita ciptakan. Bukan identitas asli kita. Anehnya, mengapa banyak di antara kita mengidentifikasi diri dengan hal-hal yang kita ciptakan sendiri? Dan yang paling aneh, mengapa kita memuja-muja dan menyembah=nyembah hal-hal yang kita ciptakan sendiri? Ini nyaris seperti kelakuan bangsa-bangsa kuno penyembah berhala ciptaannya sendiri.

Selasa, 12 Januari 2010

Hukum Dasar Berkeluarga



• Kalau seseorang sudah menikah, apalagi sudah punya anak, maka proses sukses tidaknya karir dan kehidupannya dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi di dalam kehidupan rumah tangga dan keluarganya. Bila dinamikanya bagus, maka karir dan kehidupannya di luar rumah pasti juga ikut bagus. Setidaknya hal itu meratakan jalan baginya untuk mencapai sukses baik dalam karir, maupun kehidupannya secara luas.
• Banyak orang mencurahkan perhatian pada peningkatan mutu individu dengan meninggalkan pandangan bahwa dinamika seseorang itu tidak bisa dilepaskan dari dinamika yang berlangsung di dalam keluarganya. Mereka menciptakan berbagai pelatihan berdasarkan individu yang terpisah dari situasi keluarga. Menurut saya, pelatihan semacam itu tidak akan sempurna, bahkan hanya membawa kegagalan baru bagi individu tersebut. Tidakkah kita ketahui, semangat dan kejernihan pikiran yang menjadi pra kondisi kesuksesan seseorang, seringkali dipengaruhi oleh situasi yang terjadi di dalam keluarganya.
• Setelah seseorang menikah, hendaknya ia mengubah caranya bekerja dan mengambil keputusan: dari otokratik menjadi kolaboratif plus musyawarah. Apabila hal ini diabaikan, hanya akan membuat dirinya susah di kemudian hari. Satu saja, seorang yang otokratik, tanpa melibatkan istri dalam pengambilan keputusan, selain membuat istri semakin tergantung padanya, juga bagaimana jadinya masa depan keluarga apabila dia mati. Apakah istri semacam itu tidak kalangkabut. Lalu bagaimana dengan konsep suami adalah pemimpin keluarga? Tidak ada masalah yang ditekankan adalah proses dalam pengambil keputusan. Jadi, para suami tidak perlu hawatir soal posisi mereka sebagai pemimpin. Dan bagaimana dengan konsep divisi (pembagian tugas)? Itu pun tidak masalah. Pembagian tugas tidaklah harus diterapkan secara kaku: sehingga suami tidak mau ke “dapur”. Itu tidak benar.

Minggu, 10 Januari 2010

Bangkit tidaknya Indonesia, tergantung orang Jawa!


Pertama-tama saya tidak sedang bermaksud menyulut kebencian pada suku bangsa tertentu. Karena masalah ini, tidak hanya diidap oleh orang Jawa. Toh beberapa orang Jawa dapat mencerminkan sebaliknya, seperti Soekarno. Tapi kalau ditinjau secara umum, maka sifat khas itu terlihat menonjol pada orang Jawa. Apalagi selama 32 tahun Orde Soeharto, maka semakin bersemilah sifat tersebut: tidak Logis, tidak Lugas, tidak Tegas. Sekarang di era SBY, kok hal itu dikembangkan lagi.

Okelah. Sebagaimana kita tahu, dalam era demokrasi-pasar dewasa ini, karena orang Jawa yang paling banyak jumlahnya, jelas merekalah penentu bangsa ini. Sudah pasti pemimpin-pemimpin penting bangsa ini terdiri atas orang-orang jawa.

Sialnya budaya orang Jawa ini, lebih kental "main hati"nya ketimbang main logikanya. Akibatnya, susah untuk berkata: 1+1=2. Padahal, bila Indonesia ingin maju, menurutku dia harus berbudaya LOGIS, LUGAS dan TEGAS. Logis berpikirnya, lugas berkomunikasinya, dan tegas pendirian, sikap dan tindakannya.

Nah untuk urusan semacam ini, bagi Non-Jawa itu masalah sepele. Yang berat itu, bagi orang Jawa.

Karena ini menyangkut syarat untuk bangkit dan maju, maka beresin dulu budaya Logis, Lugas, dan Tegas ini, terkhusus untuk orang Jawa. Jika orang Jawa beres dalam urusan ini, yang Non Jawa akan lancar. Sehingga seluruh Indonesia dapat serentak maju.

Rabu, 06 Januari 2010

Azimat Pemikiran


Pikiran-pikiran yang tersimpan di dalam sebuah buku, tidak saja sebagai anak ruhani, tapi juga azimat pemikiran. Banyak pembaca buku mendapat ilham dari buku. Dan inilah beberapa koleksi buku yang punya pengaruh penting dalam pembentukan pemikiranku. Yang di tengah berwarna biru adalah karyaku sendiri.

Bagi siapa saja yang menginginkan buku-buku itu, dapat menghubungi saya di syahrul.ed@gmail.com atau 021-
23652083.

Selasa, 05 Januari 2010

Bodoh Itu Relatif!


Banyak orang tua yang kebingungan dengan anaknya. Anak telah ambil les ini, les itu, bimbel (bimbingan belajar) ini, bimbel itu, tapi mengapa nilai ujian anak tetap saja buruk. Beberapa orang tua dengan gampang menyalahkan anaknya. “Dasar kamu anak bodoh!” bentak seorang Ibu saat kecewa melihat nilai ujian anaknya.

Apakah orang tua tidak berpikir, bahwa hardikan yang menjatuhkan semacam itu, tidak saja merosotkan mental sang anak, tapi juga menambah alasan bagi anak untuk semakin malas belajar. Kalau pun anak tetap rajin belajar, tetap saja hardikan itu membuat mereka tertekan.

Padahal sebetulnya setiap anak yang lahir dalam keadaan normal, merupakan anak yang cerdas. Selama tidak ada ciri-ciri idiot, otak anak akan mampu menampung segala pengetahuan dan informasi—saya lebih suka memakai istilah ini dari pada pelajaran, karena istilah pelajaran memberikan kesan kewajiban yang rada memaksa, dan setiap yang memaksa, tidak menyenangkan anak—yang dituangkan kepadanya.

Yang menjadi persoalan bukanlah soal kapasitas otak sang anak atau kegeniusan sang anak. Tapi lebih pada apakah sang anak tertarik dengan pengetahuan dan informasi yang kita tuangkan kepadanya.

Nah, terkait dengan soal daya tarik ini, kita harus jeli meneliti mengapa sang anak tidak tertarik pada hal-hal tertentu, tetapi pada saat yang sama tertarik pada hal-hal tertentu lainnya. Di sini terdapat dua faktor yang menyebabkannya.

Pertama, cara kita atau kemasan kita mengenai pengetahuan dan informasi yang kita tuangkan kepadanya. Bisa saja cara dan kemasan hidangan pengetahuan dan informasi yang kita suguhkan tidak menarik selera belajarnya.

Kedua, terkait materi pengetahuan dan informasi itu sendiri yang tidak menarik perhatiannya. Hal ini bisa saja terjadi karena tidak adanya mata rantai dengan simpanan (memori) pengetahuan dan informasi yang telah ia miliki sebelumnya. Kita tahu, otak sang anak terisi dengan pengetahuan dan informasi secara berangsur-angsung.

Selain itu, bisa saja materi pengetahuan dan informasi yang dituangkan kepadanya tidak memiliki asosiasi, bandingan, relasi, dan analogi dengan simpanan (memori) pengetahuan dan informasi yang sudah ia dapatkan sebelumnya. Atau bisa juga menurutnya, pengetahuan dan informasi itu tidak ada kegunaan (utilitas) bagi kehidupan dirinya. Untuk hal ini, seorang guru atau penyaji pengetahuan dan informasi perlu menjelaskan dan memahamkan sang anak bahwa pengetahuan dan informasi tersebut terkait erat dengan kebutuhan hidupnya.

Apabila kedua faktor tersebut ada pada pengetahuan dan informasi yang sedang kita suguhkan, otak si anak akan lekas bekerja untuk menguasainya. Sejauh mana ia berhasil menguasainya, tergantung sejauh mana kemasan hidangan dan meteri pengetahuan dan informasi tersebut menarik minatnya. Begitu pengetahuan dan informasi itu sangat menarik baginya, cepat atau lambat ia akan menguasainya.

Nah, di sinilah baru kita bicara bodoh atau pintar, genius atau tidaknya seorang anak. Tentu yang genius akan lebih cepat menguasai pelajarannya. Tapi itu tidak terlalu masalah. Kadang-kadang apabila minat sang anak telah “menyala” pada suatu materi pengetahuan, maka akan timbul ketekunan dan kegigihan sang anak. Dan itu tinggal menunggu waktu saja bahwa ia akan segera menguasai pelajarannya. Hanya tantangannya adalah kemungkinan munculnya rasa bosan sang anak sebelum ia tuntas menguasai pengetahuan dan informasi yang disuguhkan kepadanya. Untuk mengatasi kemungkinan munculnya kebosanan sang anak, maka ia perlu didampingi, disupport dan diarahkan.

Masih ingatkah Anda kisah Thomas Alva Edison, sang penemu bola lampu listrik. Pada mulanya ia disangka sebagai anak yang bodoh karena rendahnya minat belajarnya. Tapi di kemudian hari ia malah dikenal sebagai manusia yang genius disebabkan banyaknya temuan-temuan ilmiahnya.

Satu hal yang bisa disimpulkan bahwa ketika ia disangka sebagia anak yang bodoh, ia belum menemukan objek ketertarikannya pada pelajaran di sekolahnya itu. Begitu ia menemukan objek ketertarikannya, ia pun seolah melompat menjadi anak yang genius.

Jadi, soal menarik atau tidaknya sebuah materi pengatahuan beserta kemasan penyajiannya, penting menjadi catatan bagi penyelenggara pendidikan. Hendaknya dapat menyajikan pelajaran, baik materinya maupun kemasannya agar menarik minat para siswa, di samping menciptakan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan.

Dewasa ini, orang hanya terfokus untuk menciptakan suasana belajar yang menggembirakan dan menyenangkan, tapi lupa menyajikan materi pelajaran dan kemasan pelajaran yang merangsang minat belajar para siswa.

Untuk menyajikan materi dan kemasan pelajaran yang menarik minat siswa, dapatlah sajian pelajaran itu diracik dengan unsur-unsur berikut:

1.Kontekstual dan aktual
2.Mengandung unsur human interest
3.Mempunyai daya guna dan tepat guna
4.Mempunyai relasi dan mata rantai dengan simpanan (memori) pengetahuan si anak. (Jangan jadikan pelajaran untuk S3 disajikan kepada anak SD)

Jika tips tersebut dapat dilakukan, para orang tua akan bersuka ria dikarenakan melihat anaknya yang gemar dan tekun mempelajari suatu materi pengetahuan. Anak pun akan segera terbebas dari mental bahwa sekolah adalah penjara atau paksaan yang tidak bisa dielakkan demi masa depan mereka yang lebih baik. Sebab fungsi sekolah telah banyak tereduksi dalam persepsi aktual sang anak. Yang masih tersisa, sekolah masih berfungsi menjadi tangga bagi setiap siswa untuk menjalani mobilitas vertikalnya di kemudian hari.