Cari Blog Ini

Selasa, 29 Desember 2009

Inilah Terapi untuk Ketidakstabilan Jiwa Manusia

Surat Al-Ma'arij berbicara tentang jiwa manusia yang suka tidak stabil. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah dan kikir; Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapatkan kebaikan ia amat kikir” (Al-Ma’arij:19-21)

Ayat-ayat di atas menggambarkan satu keadaan jiwa manusia. Bahkan pengungkapan Al-Insan, dengan menggunakan ism ma'rifah menunjukkan kondisi khusus manusia.

Sifat ketidakstabilan jiwa ini digambarkan dengan sifat haluu'an (berkeluh kesah lagi kikir).

Sifat jazuu'an (keluh kesah) muncul saat ia ditimpa kesusahan, sedangkan sifat manuu’an (kikir yang sangat) menampak saat ia mendapat kebaikan.

Sifat-sifat ini merefleksikan kesempitan dan ketidak-stabilan jiwa manusia.

Sifat keluh kesah mendapatkan padanan pada sifat al-hamm wal hazn (gelisah dan sedih), dimana kita diajarkan Rasulullah SAW untuk berlindung dari dua sifat ini.

Kebalikan dari sifat-sifat di atas adalah sifat optimis dan penuh dengan 'izzah (kemuliaan). Keduanya akan memberikan energi bagi kreativitas, inovasi dan daya juang.

Ini dapat dipahami melalui frase "laa khaufun alaihin wa laa hum yahzanun." (Al-Baqarah: 38)

Pada ayat ini tersirat bahwa pemikulan beban kekhalifahan manusia di muka bumi diawali dengan keteguhan dalam memegang Al Huda dari Allah SWT yang akan membuat manusia terlepas dari sifat khawatir/takut dan sifat sedih hati.

Bagaimana Menerapi Jiwa dari Ketidakstabilan

Allah SWT selanjutnya mengecualikan kondisi ketidakstabilan jiwa ini pada rangkaian ayat 22-34 surat Al-Ma’arij. Bahkan mereka yang dikecualikan juga menjadi karakeristik calon penghuni Jannatin Mukramun, yakni mereka (kekal) menjadi penghuni surga lagi dimuliakan.

Lalu siapakah mereka yang beruntung itu yang terbebas dari deraan penyakit ketidakstabilan jiwa? Ternyata mereka adalah orang-orang yang shalat. Tapi shalat seperti apa? Hanya sekedar takbiratul ihram, ruku’ dan sujud itu?

Tidak sekedar itu. Orang yang mengerjakan shalat itu (mushalliin) ada ciri-cirinya. Ini hampir sama dengan Al-Ma’un: 4 yang menyatakan celaka pada orang-orang yang shalat. Bukan maksudnya yang ruku’ dan sujud itu. Tapi shalat yang lalai, riya dan enggan bersedekah.

Nah, orang yang shalat yang terbebas dari penyakit ketidakstabilan jiwa ini pun ada karakteristiknya. Seperti apakah karakteristiknya? Inilah dia:

1. Dawam (senantiasa atau kontinuitas) Menegakkan Shalat (Al-Ma’arij: 23)

Pada ayat lain Allah sampaikan: “Sesungguhnya menanglah (beruntunglah) orang-orang mu’min, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya …” (Al-Mu’minun:1-2); “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah –dzkrilLaahi-. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d:28)

Manusia akan mengalami goncangan jiwa, mana kala shalat tidak menghiasi kehidupannya. Karenanya penegakkan shalat dengan baik akan mengembalikan kestabilan jiwa.

Dengan shalat, jiwa manusia akan terhubung erat dengan Allah SWT, Al-‘Aziiz Al-Hakiim, Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.

2. Bershadaqah (Al-Ma’arij: 24-25)

Bershadaqah atau berderma akan mengukuhkan jiwa dan membuang sifat pengecut dan kikir. Berderma juga akan menghilangkan sifat khauf dan hazn, sebagaimana janji Allah SWT:

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-tarangan, maka mereka mendapat pahala dari sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran -khauf- pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati –hazn-.” (Al-Baqarah:274)

3. Meyakini Hari Pembalasan (Yaumud dien) (Al-Ma’arij: 26-28)

Sifat takut kepada hari pembalasan akan menyampaikan jiwa pada rasa takut yang tepat. Dan ini akan menghindari jiwa dari rasa takut semu yang senantiasa dihembuskan oleh setan ke dalam jiwa manusia.

Rasa takut pada hari adzab Allah membuat jiwa bersegera berbuat kebaikan dan menghindarkan jiwa dari kelalaian.

“ … Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan adzab suatu hari yang (pada hari itu orang-orang bermuka) masam, penuh kesulitan (yang datang) dari Rabb kami …” (Al-Insan:9-10)

4. Menjaga Kemaluan (Al-Ma’arij: 29-31)

Di antara pangkal goyahnya jiwa adalah manakala dorongan syahwat seksual menguasai diri manusia dan penyalurannya bukan pada jalan yang diridhai Allah. Manusia akan jatuh kondisi kejiwaannya menjadi budak nafsu syahwat.

Fenomena perselingkuhan yang marak di dalam masyarakat, indikator masalah ketidakstabilan jiwa.

Jiwa yang tak terkendali berbuat kejahatan, dalam kisah Nabi Yusuf as dikaitkan secara pasti dengan godaan wanita. Dalam kasus Nabi Yusuf as, yaitu istri pembesar Mesir.

“Dan aku tidak membebaskan diriku (berbuat kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan –amara bis suu-, kecuali nafsu –jiwa- yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’” (Al-Ahzab: 30)

Perintah yang sama berlaku bagi wanita beriman diiringkan dengan perintah menutupkan kain kerudung ke dada mereka. (Al-Ahzab: 31)

Demikian sekilas beberapa pengarahan Qurany terkait point menjaga kemaluan.

5. Menunaikan Amanah dan Janji serta Menegakkan Persaksian (Al-Ma’arij: 32-33)

Tatkala seorang manusia teguh melaksanakan amanah, janji dan persaksian –pernyataan kebenaran-, maka ia tengah membangun rasa pasti dalam jiwanya.

Sebaliknya ketika seseorang melalaikan amanah demi amanah, janji demi janji dan persaksian-persaksiannya, maka ia tengah meruntuhkan kepercayaan dirinya sendiri. Ia akan terhempas dalam ketidakpastian jiwa.

Dalam konteks kehidupan berkeluarga, hal ini tentu terkait dengan akad nikah, dimana di dalamnya terangkum perjanjian dan amanah buat bersuami-istri.

Penunaian amanah adalah wujud ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”


6. Menjaga Shalatnya (Al-Ma’arij:34)

Ini menunjukkan betapa hifzhu ash shalah merupakan perbuatan yang sangat signifikan dalam menjaga kestabilan jiwa. Seperti disampaikan di muka, masalah menjaga shalat ini pun disebutkan di point pertama.

Bedanya menjaga shalat dengan senantiasa shalat adalah bila yang pertama, memastikan seluruh syarat sahnya shalat dan sebagainya. Jadi tidak sekedar menegakkan shalat. Harus juga memastikan aspek fiqh dan syariatnya. Sedangkan yang kedua, secara terus menerus shalat, tidak absen apalagi cuti. Sebab bagaimana mungkin ada istilah absen mengabdi kepada Allah.

Nah, sekarang tinggal ngelakuinnya, kan?

Catatan:
Dikembangkan dari gagasan Adi JM