Cari Blog Ini

Jumat, 16 April 2010

Dicari "Ayah" untuk Umat

Dewasa ini, setelah bangsa-bangsa Muslim memperoleh kemerdekaannya (baca: umat) rata-rata lebih dari setengah abad lamanya, nasib mereka secara umum tampaknya tidak pernah membaik secara total. Kemiskinan, keterbelakangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, penindasan baik oleh bangsa sendiri maupun oleh bangsa lain, konflik sosial dan politik, hingga kemerosotan moral masih saja menjadi gejala umum dari umat. Beberapa negara Muslim boleh saja bangga dengan kemakmuran yang mereka peroleh. Tetapi kemakmuran mereka tersebut sangat bergantung dengan teknologi, modal dan sistem yang “dipinjamkan” oleh oleh negara lain kepada mereka, sehingga jika saja negara lain tersebut mengembargo atau menarik sedikit saja teknologi dan modal yang mereka “pinjamkan” itu, segera beberapa negara Muslim tersebut tidak berdaya mengatasinya. Anehnya, para pemimpin negara-negara Muslim tersebut membiarkan saja ketergantungan mereka yang fatal itu tanpa ada upaya radikal dan signifikan untuk mengatasinya.

Memang mengharapkan perbaikan nasib umat kepada pemimpin formal negara seperti Presiden atau Perdana Menteri, rasanya tidak mungkin. Disebabkan sekularisasi budaya yang begitu massif dan nyaris mapan, para pemimpin formal umat umumnya gagal meletakkan diri sebagai representasi aspirasi Muslim yang genuine. Mereka lebih suka menampilkan diri di seberang aspirasi umat akibat latar belakang pandangan politik sekuler mereka yang kuat. Walhasil kepemimpinan mereka terhadap umat tampak ambigu, tidak pernah solid dan sulit diterima secara luas dan memuaskan. Akhirnya yang mengisi kekosongan kepemimpinan umat adalah tokoh-tokoh informal religius seperti ulama. Sayangnya, tokoh-tokoh informal religius ini tidak banyak berdaya mengefektifkan kepemimpinannya di dalam mengemansipasi umat disebabkan dua faktor: pertama, bahwa tokoh-tokoh informal religius tersebut tidak memiliki wewenang yang sah secara undang-undang yang berlaku seperti halnya pemimpin-pemimpin formal negara; dan kedua, banyak dari tokoh-tokoh tersebut tidak memiliki tipe intelektual organis—meminjam istilah Gramsci—dan hanya kuat dalam wilayah ilmu-ilmu Islam tradisional, sehingga mereka mengalami kegagapan baik di dalam mengoperasikan kepemimpinannya secara strategis, maupun ketika berhadapan dengan tantangan intelektual dari musuh-musuh umat. Misalnya saja, dalam menghadapi isu sekularisasi, tokoh-tokoh informal religius tersebut tidak berkutik secara intelektual. Mereka gagal bertarung secara intelektual akibat bacaan dan wawasan mereka yang sempit dan terkungkung dalam wilayah keilmuan Islam tradisional, seperti fiqh, tafsir, hadits, dan serumpunnya.

Persoalan yang pelik ini memang memiliki latar belakang yang panjang. Barangkali sejak logika dan filsafat diasingkan dari kurikulum pendidikan Islam. Padahal modal untuk masuk dalam debat intelektual, seseorang harus menguasai secukupnya dasar-dasar filsafat dan logika. Dampaknya masih terasa pahit hingga hari ini dimana para ulama kita gagap bertarung secara intelektual dengan penantang-penantang intelektual mereka dari latar belakang budaya sekuler. Bahkan sebagian ada yang takluk seperti fenomena Ali Abdur Raziq dan yang terbanyak menyingkir dari gelanggang pertarungan—jika bukan hanya dapat mengumpat-umpat dari pinggir gelanggang.

Akibat dari situasi ini, umat terperangkap dalam kebingungan. Bingung hendak kemana sebaiknya kesetiaan dan kepatuhan mereka diberikan: apakah kepada pemimpin formal atau kepada pemimpin informal. Dalam situasi kebingungan ini, umat terlempar ke dalam kondisi terlantar, kehilangan arah, dan tidak terurus. Masing-masing dari mereka mencari sendiri tempat untuk berlindung. Nasib umat hampir seperti kawanan domba yang kehilangan penggembala, atau dalam istilah yang moderat, umat jatuh menjadi yatim. Dalam keyatiman itu, kita terharu, umat tidak sepenuhnya putus ikatan dengan Islam dan bahkan di antara mereka secara kreatif berjuang melestarikan hubungan spritual mereka dengan Islam meskipun mereka tidak memiliki “ayah” yang melindungi dan mengarahkan jalan mereka. Fenomena kemunculan bank syariah, amil zakat dan wakaf yang masih sporadis, bottom up dan tidak terstruktur secara nasional apalagi global, menunjukkan hal itu.

Penulis tidak berlebihan menganalogikan nasib umat dewasa ini seperti anak yatim disebabkan memiliki korelasi. Lalu dimanakah korelasinya?

Seperti yang kita tahu, keyatiman adalah sebuah kondisi bagi anak yang kehilangan wali terdekatnya, yaitu ayah. Apabila kita bandingkan dengan umat, kondisinya sungguh mirip. Umat tidak memiliki wali yang bertindak melindungi, baik melindungi jiwa maupun harta mereka. Akhirnya, banyak nyawa dan harta kekayaan umat terlantar begitu saja, dan bahkan ada yang secara licik dan kasar mencuri dan menjarahnya tanpa ada perlawanan apa pun dari barisan umat.

Realitas keyatiman umat ini telah lama berlangsung sejak era Khulafa al-Rasyidin berakhir. Dan lebih mencolok lagi, sejak urusan umat dipisahkan secara tegas dengan urusan negara, khususnya di era nation state dewasa ini. Akibatnya adalah umat terisolir, terlemahkan secara politik, dan akhirnya mengalami penguraian.

Seperti yang termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, urai berarti lepas terbuka, bercerai-berai, tidak bersimpul dan tidak padat. Demikian pulalah realitas umat dewasa ini. Karena itu, aksi yang perlu dilakukan untuk memecahkan masalah umat adalah mensenyawakan kembali. Ini mirip pekerjaan seorang ahli kimia: kapan harus mengurai, dan kapan harus mensenyawakan.

Secara faktual umat sebagai pengikut jalan Muhammad merupakan satu kesatuan sosial, ekonomi, budaya, spritual dan politik. Tapi politik berbasis sekularisme telah mengurai umat dari kesatuan ikatannya yang asli. Sebagian unsur dari umat bergerak mengikatkan diri kepada nasionalisme dan paham-paham politik baru di luar Islam. Sebagian lagi mengambang di antara tarikan magnetis nasionalisme dan sejenisnya dengan tarikan Islam. Namun ada juga sebagian yang tetap kuat terikat kepada Islam, kebal dari proses penguraian. Bagian yang terakhir ini amat ditakuti karena berpotensi menarik kembali unsur-unsur umat yang telah bercerai-berai hingga membentuk senyawa umat. Barangkali musuh-musuh politik umat mengerti betul tentang hal ini sehingga mereka berupaya sekuatnya agar proses persenyawaan kembali tersebut tidak pernah terjadi.

Seandainya bukan karena kecemburuan dan kedengkian politik, usaha umat membangun sendiri ikatan mereka itu tentunya sudah lama terwujud. Namun kita menyaksikan, selalu saja upaya semacam itu dihalang-halangi bahkan dipadamkan secara kasar dan kejam, seperti kasus FIS di Aljazair dan HAMAS di Palestina. Padahal jika hal itu dapat mereka wujudkan, sebetulnya di situlah starting point bagi umat untuk dapat bangkit dan berkembang secara alamiah.

Apabila umat mencapai hakikat kemajuan dirinya seperti yang terjadi pada masa Nabi dan Khulafa al-Rasyidin, yang diuntungkan bukan hanya umat, tapi juga kemanusiaan secara umum. Sebab perjuangan eksistensial umat tersebut pada hakikatnya adalah menyalakan kembali aspek-aspek kemuliaan yang diberikan kepada ras manusia seperti persaudaraan dan persamaan hakiki di hadapan Tuhan—hal mana sudah semakin jauh untuk dapat kita nikmati dewasa ini akibat dominasi materialisme di seluruh dunia. Tetapi selalu saja jalan ke arah itu dihalang-halangi oleh musuh-musuhnya.

Untuk melancarkan persenyawaan kembali unsur-unsur umat dan membesarkan daya eksistensialnya, diperlukan kekuatan yang berfungsi melindungi. Kekuatan itu lebih dari sosok barisan tentara pelindung, tetapi sosok ayah yang tidak hanya melindungi, namun juga mengarahkan.

Menemukan sosok ayah untuk umat tersebut pada waktunya akan tiba. Selagi keyatiman itu disadari oleh umat dan mereka ingin melepaskan diri dari derita keyatiman itu, saat itulah sosok ayah untuk umat akan hadir. Tetapi siapakah dan kapankah ayah umat itu akan muncul di saat umat memerlukannya hari ini? Wallahua’lam bishshawab.