Cari Blog Ini

Senin, 14 Juni 2010

Mewujudkan KELUARGA UTAMA


Keluarga Utama adalah misi. Dari sana akan saya mulai. Doakan agar kesabaran terus menyala di dada ini. Bangsa ini sudah terlalu korup. Hanya dari keluarga dan pemuda yang bisa memulainya. Dari keluarga, iatu Keluarga Utama.

Jumat, 16 April 2010

Dicari "Ayah" untuk Umat

Dewasa ini, setelah bangsa-bangsa Muslim memperoleh kemerdekaannya (baca: umat) rata-rata lebih dari setengah abad lamanya, nasib mereka secara umum tampaknya tidak pernah membaik secara total. Kemiskinan, keterbelakangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, penindasan baik oleh bangsa sendiri maupun oleh bangsa lain, konflik sosial dan politik, hingga kemerosotan moral masih saja menjadi gejala umum dari umat. Beberapa negara Muslim boleh saja bangga dengan kemakmuran yang mereka peroleh. Tetapi kemakmuran mereka tersebut sangat bergantung dengan teknologi, modal dan sistem yang “dipinjamkan” oleh oleh negara lain kepada mereka, sehingga jika saja negara lain tersebut mengembargo atau menarik sedikit saja teknologi dan modal yang mereka “pinjamkan” itu, segera beberapa negara Muslim tersebut tidak berdaya mengatasinya. Anehnya, para pemimpin negara-negara Muslim tersebut membiarkan saja ketergantungan mereka yang fatal itu tanpa ada upaya radikal dan signifikan untuk mengatasinya.

Memang mengharapkan perbaikan nasib umat kepada pemimpin formal negara seperti Presiden atau Perdana Menteri, rasanya tidak mungkin. Disebabkan sekularisasi budaya yang begitu massif dan nyaris mapan, para pemimpin formal umat umumnya gagal meletakkan diri sebagai representasi aspirasi Muslim yang genuine. Mereka lebih suka menampilkan diri di seberang aspirasi umat akibat latar belakang pandangan politik sekuler mereka yang kuat. Walhasil kepemimpinan mereka terhadap umat tampak ambigu, tidak pernah solid dan sulit diterima secara luas dan memuaskan. Akhirnya yang mengisi kekosongan kepemimpinan umat adalah tokoh-tokoh informal religius seperti ulama. Sayangnya, tokoh-tokoh informal religius ini tidak banyak berdaya mengefektifkan kepemimpinannya di dalam mengemansipasi umat disebabkan dua faktor: pertama, bahwa tokoh-tokoh informal religius tersebut tidak memiliki wewenang yang sah secara undang-undang yang berlaku seperti halnya pemimpin-pemimpin formal negara; dan kedua, banyak dari tokoh-tokoh tersebut tidak memiliki tipe intelektual organis—meminjam istilah Gramsci—dan hanya kuat dalam wilayah ilmu-ilmu Islam tradisional, sehingga mereka mengalami kegagapan baik di dalam mengoperasikan kepemimpinannya secara strategis, maupun ketika berhadapan dengan tantangan intelektual dari musuh-musuh umat. Misalnya saja, dalam menghadapi isu sekularisasi, tokoh-tokoh informal religius tersebut tidak berkutik secara intelektual. Mereka gagal bertarung secara intelektual akibat bacaan dan wawasan mereka yang sempit dan terkungkung dalam wilayah keilmuan Islam tradisional, seperti fiqh, tafsir, hadits, dan serumpunnya.

Persoalan yang pelik ini memang memiliki latar belakang yang panjang. Barangkali sejak logika dan filsafat diasingkan dari kurikulum pendidikan Islam. Padahal modal untuk masuk dalam debat intelektual, seseorang harus menguasai secukupnya dasar-dasar filsafat dan logika. Dampaknya masih terasa pahit hingga hari ini dimana para ulama kita gagap bertarung secara intelektual dengan penantang-penantang intelektual mereka dari latar belakang budaya sekuler. Bahkan sebagian ada yang takluk seperti fenomena Ali Abdur Raziq dan yang terbanyak menyingkir dari gelanggang pertarungan—jika bukan hanya dapat mengumpat-umpat dari pinggir gelanggang.

Akibat dari situasi ini, umat terperangkap dalam kebingungan. Bingung hendak kemana sebaiknya kesetiaan dan kepatuhan mereka diberikan: apakah kepada pemimpin formal atau kepada pemimpin informal. Dalam situasi kebingungan ini, umat terlempar ke dalam kondisi terlantar, kehilangan arah, dan tidak terurus. Masing-masing dari mereka mencari sendiri tempat untuk berlindung. Nasib umat hampir seperti kawanan domba yang kehilangan penggembala, atau dalam istilah yang moderat, umat jatuh menjadi yatim. Dalam keyatiman itu, kita terharu, umat tidak sepenuhnya putus ikatan dengan Islam dan bahkan di antara mereka secara kreatif berjuang melestarikan hubungan spritual mereka dengan Islam meskipun mereka tidak memiliki “ayah” yang melindungi dan mengarahkan jalan mereka. Fenomena kemunculan bank syariah, amil zakat dan wakaf yang masih sporadis, bottom up dan tidak terstruktur secara nasional apalagi global, menunjukkan hal itu.

Penulis tidak berlebihan menganalogikan nasib umat dewasa ini seperti anak yatim disebabkan memiliki korelasi. Lalu dimanakah korelasinya?

Seperti yang kita tahu, keyatiman adalah sebuah kondisi bagi anak yang kehilangan wali terdekatnya, yaitu ayah. Apabila kita bandingkan dengan umat, kondisinya sungguh mirip. Umat tidak memiliki wali yang bertindak melindungi, baik melindungi jiwa maupun harta mereka. Akhirnya, banyak nyawa dan harta kekayaan umat terlantar begitu saja, dan bahkan ada yang secara licik dan kasar mencuri dan menjarahnya tanpa ada perlawanan apa pun dari barisan umat.

Realitas keyatiman umat ini telah lama berlangsung sejak era Khulafa al-Rasyidin berakhir. Dan lebih mencolok lagi, sejak urusan umat dipisahkan secara tegas dengan urusan negara, khususnya di era nation state dewasa ini. Akibatnya adalah umat terisolir, terlemahkan secara politik, dan akhirnya mengalami penguraian.

Seperti yang termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, urai berarti lepas terbuka, bercerai-berai, tidak bersimpul dan tidak padat. Demikian pulalah realitas umat dewasa ini. Karena itu, aksi yang perlu dilakukan untuk memecahkan masalah umat adalah mensenyawakan kembali. Ini mirip pekerjaan seorang ahli kimia: kapan harus mengurai, dan kapan harus mensenyawakan.

Secara faktual umat sebagai pengikut jalan Muhammad merupakan satu kesatuan sosial, ekonomi, budaya, spritual dan politik. Tapi politik berbasis sekularisme telah mengurai umat dari kesatuan ikatannya yang asli. Sebagian unsur dari umat bergerak mengikatkan diri kepada nasionalisme dan paham-paham politik baru di luar Islam. Sebagian lagi mengambang di antara tarikan magnetis nasionalisme dan sejenisnya dengan tarikan Islam. Namun ada juga sebagian yang tetap kuat terikat kepada Islam, kebal dari proses penguraian. Bagian yang terakhir ini amat ditakuti karena berpotensi menarik kembali unsur-unsur umat yang telah bercerai-berai hingga membentuk senyawa umat. Barangkali musuh-musuh politik umat mengerti betul tentang hal ini sehingga mereka berupaya sekuatnya agar proses persenyawaan kembali tersebut tidak pernah terjadi.

Seandainya bukan karena kecemburuan dan kedengkian politik, usaha umat membangun sendiri ikatan mereka itu tentunya sudah lama terwujud. Namun kita menyaksikan, selalu saja upaya semacam itu dihalang-halangi bahkan dipadamkan secara kasar dan kejam, seperti kasus FIS di Aljazair dan HAMAS di Palestina. Padahal jika hal itu dapat mereka wujudkan, sebetulnya di situlah starting point bagi umat untuk dapat bangkit dan berkembang secara alamiah.

Apabila umat mencapai hakikat kemajuan dirinya seperti yang terjadi pada masa Nabi dan Khulafa al-Rasyidin, yang diuntungkan bukan hanya umat, tapi juga kemanusiaan secara umum. Sebab perjuangan eksistensial umat tersebut pada hakikatnya adalah menyalakan kembali aspek-aspek kemuliaan yang diberikan kepada ras manusia seperti persaudaraan dan persamaan hakiki di hadapan Tuhan—hal mana sudah semakin jauh untuk dapat kita nikmati dewasa ini akibat dominasi materialisme di seluruh dunia. Tetapi selalu saja jalan ke arah itu dihalang-halangi oleh musuh-musuhnya.

Untuk melancarkan persenyawaan kembali unsur-unsur umat dan membesarkan daya eksistensialnya, diperlukan kekuatan yang berfungsi melindungi. Kekuatan itu lebih dari sosok barisan tentara pelindung, tetapi sosok ayah yang tidak hanya melindungi, namun juga mengarahkan.

Menemukan sosok ayah untuk umat tersebut pada waktunya akan tiba. Selagi keyatiman itu disadari oleh umat dan mereka ingin melepaskan diri dari derita keyatiman itu, saat itulah sosok ayah untuk umat akan hadir. Tetapi siapakah dan kapankah ayah umat itu akan muncul di saat umat memerlukannya hari ini? Wallahua’lam bishshawab.

Senin, 18 Januari 2010

Identitas Asli Manusia


Apa yang asli dari identitas kita bahwa pertama-tama kita laki-laki/perempuan, dewasa atau anak-anak, hitam atau putih, dan yang mendasar bahwa kita DICIPTAKAN, bukan TERCIPTA SENDIRI. Karena itu saya yakin ada Tuhan yang menciptakan aku, maka aku bertanggungjawab kepada Dia. Bahwa kita merasa bangsa Indonesia, suku Jawa, alumni universitas tertentu, dll, semua hal itu pada dasarnya adalah hal-hal yang kita ciptakan. Bukan identitas asli kita. Anehnya, mengapa banyak di antara kita mengidentifikasi diri dengan hal-hal yang kita ciptakan sendiri? Dan yang paling aneh, mengapa kita memuja-muja dan menyembah=nyembah hal-hal yang kita ciptakan sendiri? Ini nyaris seperti kelakuan bangsa-bangsa kuno penyembah berhala ciptaannya sendiri.

Selasa, 12 Januari 2010

Hukum Dasar Berkeluarga



• Kalau seseorang sudah menikah, apalagi sudah punya anak, maka proses sukses tidaknya karir dan kehidupannya dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi di dalam kehidupan rumah tangga dan keluarganya. Bila dinamikanya bagus, maka karir dan kehidupannya di luar rumah pasti juga ikut bagus. Setidaknya hal itu meratakan jalan baginya untuk mencapai sukses baik dalam karir, maupun kehidupannya secara luas.
• Banyak orang mencurahkan perhatian pada peningkatan mutu individu dengan meninggalkan pandangan bahwa dinamika seseorang itu tidak bisa dilepaskan dari dinamika yang berlangsung di dalam keluarganya. Mereka menciptakan berbagai pelatihan berdasarkan individu yang terpisah dari situasi keluarga. Menurut saya, pelatihan semacam itu tidak akan sempurna, bahkan hanya membawa kegagalan baru bagi individu tersebut. Tidakkah kita ketahui, semangat dan kejernihan pikiran yang menjadi pra kondisi kesuksesan seseorang, seringkali dipengaruhi oleh situasi yang terjadi di dalam keluarganya.
• Setelah seseorang menikah, hendaknya ia mengubah caranya bekerja dan mengambil keputusan: dari otokratik menjadi kolaboratif plus musyawarah. Apabila hal ini diabaikan, hanya akan membuat dirinya susah di kemudian hari. Satu saja, seorang yang otokratik, tanpa melibatkan istri dalam pengambilan keputusan, selain membuat istri semakin tergantung padanya, juga bagaimana jadinya masa depan keluarga apabila dia mati. Apakah istri semacam itu tidak kalangkabut. Lalu bagaimana dengan konsep suami adalah pemimpin keluarga? Tidak ada masalah yang ditekankan adalah proses dalam pengambil keputusan. Jadi, para suami tidak perlu hawatir soal posisi mereka sebagai pemimpin. Dan bagaimana dengan konsep divisi (pembagian tugas)? Itu pun tidak masalah. Pembagian tugas tidaklah harus diterapkan secara kaku: sehingga suami tidak mau ke “dapur”. Itu tidak benar.

Minggu, 10 Januari 2010

Bangkit tidaknya Indonesia, tergantung orang Jawa!


Pertama-tama saya tidak sedang bermaksud menyulut kebencian pada suku bangsa tertentu. Karena masalah ini, tidak hanya diidap oleh orang Jawa. Toh beberapa orang Jawa dapat mencerminkan sebaliknya, seperti Soekarno. Tapi kalau ditinjau secara umum, maka sifat khas itu terlihat menonjol pada orang Jawa. Apalagi selama 32 tahun Orde Soeharto, maka semakin bersemilah sifat tersebut: tidak Logis, tidak Lugas, tidak Tegas. Sekarang di era SBY, kok hal itu dikembangkan lagi.

Okelah. Sebagaimana kita tahu, dalam era demokrasi-pasar dewasa ini, karena orang Jawa yang paling banyak jumlahnya, jelas merekalah penentu bangsa ini. Sudah pasti pemimpin-pemimpin penting bangsa ini terdiri atas orang-orang jawa.

Sialnya budaya orang Jawa ini, lebih kental "main hati"nya ketimbang main logikanya. Akibatnya, susah untuk berkata: 1+1=2. Padahal, bila Indonesia ingin maju, menurutku dia harus berbudaya LOGIS, LUGAS dan TEGAS. Logis berpikirnya, lugas berkomunikasinya, dan tegas pendirian, sikap dan tindakannya.

Nah untuk urusan semacam ini, bagi Non-Jawa itu masalah sepele. Yang berat itu, bagi orang Jawa.

Karena ini menyangkut syarat untuk bangkit dan maju, maka beresin dulu budaya Logis, Lugas, dan Tegas ini, terkhusus untuk orang Jawa. Jika orang Jawa beres dalam urusan ini, yang Non Jawa akan lancar. Sehingga seluruh Indonesia dapat serentak maju.

Rabu, 06 Januari 2010

Azimat Pemikiran


Pikiran-pikiran yang tersimpan di dalam sebuah buku, tidak saja sebagai anak ruhani, tapi juga azimat pemikiran. Banyak pembaca buku mendapat ilham dari buku. Dan inilah beberapa koleksi buku yang punya pengaruh penting dalam pembentukan pemikiranku. Yang di tengah berwarna biru adalah karyaku sendiri.

Bagi siapa saja yang menginginkan buku-buku itu, dapat menghubungi saya di syahrul.ed@gmail.com atau 021-
23652083.

Selasa, 05 Januari 2010

Bodoh Itu Relatif!


Banyak orang tua yang kebingungan dengan anaknya. Anak telah ambil les ini, les itu, bimbel (bimbingan belajar) ini, bimbel itu, tapi mengapa nilai ujian anak tetap saja buruk. Beberapa orang tua dengan gampang menyalahkan anaknya. “Dasar kamu anak bodoh!” bentak seorang Ibu saat kecewa melihat nilai ujian anaknya.

Apakah orang tua tidak berpikir, bahwa hardikan yang menjatuhkan semacam itu, tidak saja merosotkan mental sang anak, tapi juga menambah alasan bagi anak untuk semakin malas belajar. Kalau pun anak tetap rajin belajar, tetap saja hardikan itu membuat mereka tertekan.

Padahal sebetulnya setiap anak yang lahir dalam keadaan normal, merupakan anak yang cerdas. Selama tidak ada ciri-ciri idiot, otak anak akan mampu menampung segala pengetahuan dan informasi—saya lebih suka memakai istilah ini dari pada pelajaran, karena istilah pelajaran memberikan kesan kewajiban yang rada memaksa, dan setiap yang memaksa, tidak menyenangkan anak—yang dituangkan kepadanya.

Yang menjadi persoalan bukanlah soal kapasitas otak sang anak atau kegeniusan sang anak. Tapi lebih pada apakah sang anak tertarik dengan pengetahuan dan informasi yang kita tuangkan kepadanya.

Nah, terkait dengan soal daya tarik ini, kita harus jeli meneliti mengapa sang anak tidak tertarik pada hal-hal tertentu, tetapi pada saat yang sama tertarik pada hal-hal tertentu lainnya. Di sini terdapat dua faktor yang menyebabkannya.

Pertama, cara kita atau kemasan kita mengenai pengetahuan dan informasi yang kita tuangkan kepadanya. Bisa saja cara dan kemasan hidangan pengetahuan dan informasi yang kita suguhkan tidak menarik selera belajarnya.

Kedua, terkait materi pengetahuan dan informasi itu sendiri yang tidak menarik perhatiannya. Hal ini bisa saja terjadi karena tidak adanya mata rantai dengan simpanan (memori) pengetahuan dan informasi yang telah ia miliki sebelumnya. Kita tahu, otak sang anak terisi dengan pengetahuan dan informasi secara berangsur-angsung.

Selain itu, bisa saja materi pengetahuan dan informasi yang dituangkan kepadanya tidak memiliki asosiasi, bandingan, relasi, dan analogi dengan simpanan (memori) pengetahuan dan informasi yang sudah ia dapatkan sebelumnya. Atau bisa juga menurutnya, pengetahuan dan informasi itu tidak ada kegunaan (utilitas) bagi kehidupan dirinya. Untuk hal ini, seorang guru atau penyaji pengetahuan dan informasi perlu menjelaskan dan memahamkan sang anak bahwa pengetahuan dan informasi tersebut terkait erat dengan kebutuhan hidupnya.

Apabila kedua faktor tersebut ada pada pengetahuan dan informasi yang sedang kita suguhkan, otak si anak akan lekas bekerja untuk menguasainya. Sejauh mana ia berhasil menguasainya, tergantung sejauh mana kemasan hidangan dan meteri pengetahuan dan informasi tersebut menarik minatnya. Begitu pengetahuan dan informasi itu sangat menarik baginya, cepat atau lambat ia akan menguasainya.

Nah, di sinilah baru kita bicara bodoh atau pintar, genius atau tidaknya seorang anak. Tentu yang genius akan lebih cepat menguasai pelajarannya. Tapi itu tidak terlalu masalah. Kadang-kadang apabila minat sang anak telah “menyala” pada suatu materi pengetahuan, maka akan timbul ketekunan dan kegigihan sang anak. Dan itu tinggal menunggu waktu saja bahwa ia akan segera menguasai pelajarannya. Hanya tantangannya adalah kemungkinan munculnya rasa bosan sang anak sebelum ia tuntas menguasai pengetahuan dan informasi yang disuguhkan kepadanya. Untuk mengatasi kemungkinan munculnya kebosanan sang anak, maka ia perlu didampingi, disupport dan diarahkan.

Masih ingatkah Anda kisah Thomas Alva Edison, sang penemu bola lampu listrik. Pada mulanya ia disangka sebagai anak yang bodoh karena rendahnya minat belajarnya. Tapi di kemudian hari ia malah dikenal sebagai manusia yang genius disebabkan banyaknya temuan-temuan ilmiahnya.

Satu hal yang bisa disimpulkan bahwa ketika ia disangka sebagia anak yang bodoh, ia belum menemukan objek ketertarikannya pada pelajaran di sekolahnya itu. Begitu ia menemukan objek ketertarikannya, ia pun seolah melompat menjadi anak yang genius.

Jadi, soal menarik atau tidaknya sebuah materi pengatahuan beserta kemasan penyajiannya, penting menjadi catatan bagi penyelenggara pendidikan. Hendaknya dapat menyajikan pelajaran, baik materinya maupun kemasannya agar menarik minat para siswa, di samping menciptakan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan.

Dewasa ini, orang hanya terfokus untuk menciptakan suasana belajar yang menggembirakan dan menyenangkan, tapi lupa menyajikan materi pelajaran dan kemasan pelajaran yang merangsang minat belajar para siswa.

Untuk menyajikan materi dan kemasan pelajaran yang menarik minat siswa, dapatlah sajian pelajaran itu diracik dengan unsur-unsur berikut:

1.Kontekstual dan aktual
2.Mengandung unsur human interest
3.Mempunyai daya guna dan tepat guna
4.Mempunyai relasi dan mata rantai dengan simpanan (memori) pengetahuan si anak. (Jangan jadikan pelajaran untuk S3 disajikan kepada anak SD)

Jika tips tersebut dapat dilakukan, para orang tua akan bersuka ria dikarenakan melihat anaknya yang gemar dan tekun mempelajari suatu materi pengetahuan. Anak pun akan segera terbebas dari mental bahwa sekolah adalah penjara atau paksaan yang tidak bisa dielakkan demi masa depan mereka yang lebih baik. Sebab fungsi sekolah telah banyak tereduksi dalam persepsi aktual sang anak. Yang masih tersisa, sekolah masih berfungsi menjadi tangga bagi setiap siswa untuk menjalani mobilitas vertikalnya di kemudian hari.