Cari Blog Ini

Rabu, 30 Desember 2009

Mengungkap Asal-usul Manusia Lewat Gen

SEJARAH manusia mungkin seperti potongan puzzle yang berserak. Temuan temuan yang menyangkut asal usul manusia belum tersambung menjadi sebuah gambar utuh. Pertanyaan ilmiah, seperti di manakah manusia pertama lahir, ke manakah mereka menyebar, belum mendapatkan jawaban tuntas. Setiap kali muncul teori baru misalnya ketika Darwin menulis buku The Descent of Man pada 1871 yang isinya menyebutkan bahwa manusia dan kera berasal dari satu nenek moyang—selalu memicu kontroversi.

Nyaris tak ada bidang ilmu yang lebih sering diperdebatkan daripada ilmu tentang asal usul manusia. Para ahli paleontologi terkemuka bahkan belum menyepakati urutan dasar dari pohon kekerabatan manusia. Teori teori baru muncul dan memperoleh sambutan besar, tapi layu dan hilang ketika dihadapkan pada penemuan penemuan fosil baru. Tak mengherankan bila Robert Locke, redaktur jurnal ilmiah Discovering Archaeology, sebuah terbit­an penting mengenai asal usul manusia, berujar, ”Pencarian terhadap nenek moyang manusia memberikan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Meskipun demikian, perjalanan panjang untuk mendapatkan jawaban atas asal usul manusia tak pernah berhenti.

Salah satu ikhtiar untuk menemukan asal usul manusia dilakukan para ilmuwan Asia yang tergabung dalam Konsorsium Pan Asia Single Nucleotide Polymorphism, dalam naungan Human Genome Organization (Hugo). Pada 11 Desember lalu, mereka mengumumkan hasil riset terbaru tentang peta genetik manusia di Asia. Riset selama tiga setengah tahun itu menelurkan kesimpulan yang berbeda dari teori yang diyakini para ilmuwan selama ini.

”Riset kami menunjukkan hanya ada satu jalur migrasi tunggal ke Asia,” kata Sangkot Marzuki, perintis riset sekaligus Direktur Lembaga Biomolekul Eijkman, dalam konferensi pers yang berlangsung serentak di sepuluh negara Asia. ”Asia Tenggara merupakan pusat penyebaran bangsa dengan penutur bahasa Austronesia di Asia.”

Dengan kesimpulan itu, riset berdasarkan analisis deoxyribonucleic acid (DNA) tersebut membantah teori yang menyebut bahwa ada jalur majemuk migrasi nenek moyang bangsa Asia, yakni melalui jalur utara dan jalur selatan. Teori Out of Taiwan yang menyebut bangsa Asia Tenggara (yang berbahasa Austronesia) berasal dari Taiwan pun terbantahkan. Buktinya, kata Sangkot, ”Keanekaragaman genetik yang makin ke selatan semakin tinggi, sedangkan etnik etnik di kawasan utara Asia lebih homogen.”

Temuan itu tentu saja menjadi salah satu mata rantai penting untuk menjelaskan asal usul manusia. Menurut Sangkot, nenek moyang bangsa Asia bermigrasi dari Afrika sekitar 100 ribu tahun yang lalu. Mereka kemudian menginjakkan kaki di Asia Tenggara sekitar 60 ribu tahun lalu dengan cara menyusuri pantai selatan Afrika, sebelum menyebar ke wilayah Asia lainnya.

Austronesia menjadi sebuah fenomena dalam sejarah migrasi umat manusia karena dalam waktu 3.500 tahun manusia dalam komunitas ini menyebar melampaui tiga perempat pinggang bumi. Mulai Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di timur, membekap 60 derajat bujur bumi, dari Taiwan di belahan utara sampai Selandia Baru di wilayah selatan. Austronesia kini telah melahirkan 1.200 bahasa yang dituturkan oleh hampir 350 juta populasi, yang sebagian besar berada di Kepulauan Nusantara.

Sebelumnya, Stephen Oppenheimer, dokter yang juga pakar genetika asal Oxford University, Inggris, penulis buku Eden in the East pada 1998, telah membuka wacana yang cukup kontroversial dengan memunculkan teori terbaru perihal asal muasal penyebaran bangsa penutur bahasa Austronesia. Rumpun bangsa itu disebutnya bukan datang pertama kali dari Taiwan, seperti teori yang telah diterima luas, melainkan dari Indonesia, atau tepatnya Wallacea, pulau pulau di utara Indonesia atau selatan Filipina, yang menjadi episentrum.

Menurut paleoantropolog Harry Widianto, perdebatan tentang asal mu­asal nenek moyang bangsa Asia masih terus berlanjut. ”Teori Out of Taiwan masih kuat, tapi mulai tergoyahkan,” kata Kepa­la Balai Situs Manusia Purba Sangir­an ini.

Harry mengatakan masih banyak temuan fosil manusia modern di Nu­santara yang diperkirakan hidup sekitar 3.500 tahun lalu. Tapi ada juga fosil manusia modern yang ditemukan di Pacitan sekitar 7.000 tahun lalu. ”Itu membuktikan sudah ada manusia mo­dern di Nusantara (Asia Tenggara).”

Sangkot menolak menyimpulkan secara spesifik bahwa pusat peradaban bangsa Asia pada sekitar 60 ribu tahun lalu itu ada di Indocina atau di Semenanjung Malaya. ”Harus ada riset lebih detail lagi,” katanya. Sangkot hanya memperkirakan pusat peradaban terletak di Laut Cina Selatan (Sundaland) yang sudah tenggelam sekitar 12 ribu hingga 8.000 tahun lalu. ”Menurut saya, itu masuk akal,” katanya.

Penelitian yang dilakukan Sangkot dan kawan kawan diklaim jauh lebih akurat dibanding riset riset sebelumnya yang hanya menggunakan DNA mitokondria atau kromosom Y. ”Kami meng­analisis seluruh kromosom,” ujar­nya.

Peneliti mengambil 54 ribu sampel DNA milik 1.928 individu yang mewakili 73 populasi etnik di 10 negara Asia, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, India, Cina, Korea, Jepang, dan Taiwan. ”Data kami lebih komprehensif,” katanya.

Studi fundamental tentang asal usul manusia di Asia ini lahir secara tak sengaja. Syahdan, sekitar sepuluh tahun yang lalu, Sangkot bertemu dan bercengkerama dengan empat peneliti di Bali. Salah satunya adalah Chen Zhu, yang sekarang menjadi Menteri Kesehatan Cina. Selanjutnya, mereka hanya bertemu dan bertatap muka saban dua tahun sekali.

Baru pada 2004 mereka serius melangkah dalam sebuah penelitian fundamental tentang pemetaan genetik manusia di Asia, mencontoh apa yang telah dilakukan di Eropa. Lahirlah Konsorsium Pan Asia Single Nucleotide Polymorphism yang sepenuhnya dari, untuk, dan oleh bangsa Asia. ”Ini organisasi tanpa bentuk, tapi truly Asia,” kata Sangkot. ”Tidak ada ketua atau pemimpin di dalamnya, hanya ada dewan ­pengarah, tapi bisa berjalan baik.”

Penelitian dengan konsep ini dinilai sebagai model terbaik mengkolaborasi peneliti multinegara. Ilmuwan yang berasal dari negara negara yang kaya akan populasi etnik, seperti Indonesia (lebih dari 500 etnik), dapat bekerja sama sepadan dengan ilmuwan dari pusat teknologi maju.

Profesor Edison Liu, Direktur Genome Institute of Singapura, mengatakan studi ini merupakan batu loncatan, tidak hanya dalam ilmu pengetahuan, melainkan juga dari konsorsium yang terbentuk. ”Sepuluh negara Asia berkumpul, dalam semangat solidaritas, memulai kegiatan bersama untuk mengetahui bagaimana manusia terhubung satu sama lain,” kata Liu dalam rilisnya.

Profesor Carmencita Padilla dari Nation of Health Universitas Filipina menyatakan penelitian ini telah berkembang menjadi sebuah proyek yang bermakna, yaitu, ”Pemahaman asal mu­asal kita,” katanya.

Sangkot mengatakan setiap nega­ra mengeluarkan biaya sendiri untuk meneliti. Memang butuh tenaga ekstra dan biaya mahal. Akibatnya, penelitian butuh waktu lebih dari tiga tahun. Se­kadar ilustrasi, ada populasi etnik di Sulawesi meminta syarat general checkup untuk izin pengambilan sampel.

Mahalnya teknologi juga menjadi kendala riset. Cip yang digunakan untuk menganalisis 50 ribu penanda DNA per individu sekaligus. Harga cip ini di pasar US$ 1.000. Padahal hampir 2.000 individu yang dijadikan sampel. ”Karena ada kerja sama dengan negara lain, kami dapat setengah harga,” kata Sangkot.

Informasi yang diolah di setiap negara lalu dikumpulkan dalam satu basis data yang bisa diakses secara bersama sama. Basis data itu diolah di Korea, yang memiliki sistem komputer yang memang mampu melakukannya. Selama bertahun tahun para peneliti setia untuk tidak mempublikasikan temuan mereka sesuai dengan waktu yang ditentukan bersama.

Penelitian ini masih jauh dari selesai. ”Ini baru base line (dasar) saja,” kata Sangkot. Seandainya saja ada penelitian lanjutan, hasilnya akan bermanfaat, misalnya untuk menangani penyakit genetik, seperti hepatitis dan talasemia. Riset lanjutan juga dapat dipakai menanggulangi penyebaran penyakit infeksi dari binatang. ”Target penelitian biologi molekuler ini diarahkan untuk kesejahteraan rakyat,” kata Sangkot.

Rudy Prasetyo
from tempomagazine

Tidak ada komentar: